Lapis Realitas Virtual, Kehampaan Eksistensial

Selasa, 04 November 2025 : 14:17
Jauh sebelum masa pandemi, di halaman budaya Kompas Minggu saya menulis sebuah esai bertajuk “Ilusi Globalisasi, Mantra Visual dan Mimikri yang Mengelabui” (2009), mengungkapkan bahwa kemajuan dunia audiovisual di era digital memang tak selamanya menjadi rahmat. Melekat dalam media-media modern itu sebentuk kecanggihan yang penuh godaan manipulasi; melalui ketajaman mata kamera dan seperangkat teknologi di studio, sebuah peristiwa nyata bisa dikemas sedemikian rupa sehingga hadir lebih estetis, lebih imajinatif-sugestif dari realita yang sebenarnya. 

Kehadiran teknologi informasi memicu perubahan segala lini. Dan gawai adalah keniscayaan tak terelakkan; secara serentak dan seketika dapat menghubungkan manusia dari belahan bumi manapun melalui streaming ataupun suguhan peristiwa secara daring—mengubah konsep ruang dan waktu; disadari atau tidak, menghadirkan realitas baru; sebentuk realitas virtual. 
Seturut itu, Covid-19 merundung masyarakat, berikut penerapan social distancing (pembatasan sosial) dan kewajiban Prokes (prosedur kesehatan). Fenomena pandemi sejagat itu, tak pelak mendorong penggunaan media online-digital (streaming/daring dan zoom) secara masif. Tidakkah hakikatnya kebiasaan baru ini kian menegaskan keberadaan realitas virtual, selain realitas senyatanya yang kasat mata dan realitas imajiner (dunia imajinasi pemicu kreativitas). Pada ghalibnya, realitas virtual bukanlah tiruan keduanya.  

Dunia rekaan virtual yang bahkan lebih nyata dari kenyataan menampilkan sebuah rekayasa audiovisual yang kerap bersifat ‘manipulatif’, mengaburkan batas yang fiksional dan yang faktual. Penyedia layanan aplikasi berlomba-lomba menawarkan ‘dunia fantasia’ tak terbayangkan kepada para pengguna media sosial. 
Misalnya, seseorang kini bisa berduet nyanyi dengan siapa saja melalui gawai lalu ditonton jutaan orang. Dengan mudahnya siapa saja bersalin rupa menjadi tua atau muda, perempuan menjelma laki-laki atau sebaliknya; menyerupai aktor/aktris idamannya. Bahkan dapat menghapus serta mengganti latar belakang foto, berikut hal menakjubkan lainnya. 

Terlebih tampilan audiovisual dalam gawai bersifat ritmis dan sugestif, lambat laun ‘menyulap’ pemirsa, akibat kebiasaan berjam-jam scrolling, dari sang subyek yang merdeka berubah menjadi obyek yang tersandera; melahirkan masyarakat yang kian obsesif dan delutif. 

Di titik ini, tidakkah ingatan kita hanya berfungsi sekadar copy paste dari seluruh suguhan yang dikemas oleh industri pencitraan yang mengejar viral. Lalu dalam keseharian, sebagian diri kita bertindak atau bertingkah-laku semata terpicu oleh motif-motif bawah sadar yang mekanis, jauh dari sikap kritis. 

Berbarengan dengan itu, memori kultural kita sebagai suatu entitas maupun identitas budaya tertentu, ada dalam bayangan kerapuhan, terkikis oleh simbol-simbol yang dicitrakan sebagai sesuatu yang global dan seakan menandakan kekontemporeran yang diidam-idamkan serta kekosmopolitan yang diobsesifkan.

Sebagai masyarakat yang sedang dalam tahapan transisi menuju demokrasi yang sehat, patutlah menyadari bahwa media-media modern, online dan media sosial, cenderung lebih menyuguhkan realitas imajiner, dunia rekaan yang seakan-akan lebih nyata dari kenyataan yang sebenarnya. Citraan-citraan semu ini ‘mencekam’ sebagian masyarakat dengan aneka peristiwa rekayasa yang manipulatif, dipenuhi sosok-sosok ‘fiktif’ yang tiba-tiba menjadi figur-figur publik, serta hal-hal sebaliknya—di mana tokoh dan pelaku sesungguhnya malah terpinggirkan, tak memperoleh pemberitaan atau publikasi yang adil dan semestinya

Media-media modern itu, mengejar viral atau rating, sengaja atau tidak, meringkas fakta menjadi sekuen-sekuen rekaan yang tipis batasnya dengan fiksi. Kemudian yang mengemuka adalah dunia yang serba hitam-putih, serba didramatisir menjadi si pecundang atau si pemenang, sarat suguhan melodramatik.

Percepatan perubahan yang dipicu laju kemajuan teknologi informasi tersebut, terbukti mendorong terjadinya ‘chaostic sosial kultural’, di mana identitas diri yang mempribadi pun turut tertransformasikan menuju sebuah wilayah sosial kultural yang tak berjuntrung atau tak jelas arahnya. Bahkan tak tertutup kemungkinan banyak pribadi-pribadi teralienasi, kehilangan sikap kritis dan terbawa dalam beragam amnesia sosial. Tidak jarang diantaranya kemudian mengalami sebentuk kehampaan eksistensial.

Dengan demikian, nyatalah sudah bahwa disrupsi digital tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi, bekerja/berkarya dan bersosialisasi, tetapi juga memengaruhi cara kita melihat dan mendefinisikan diri sendiri.

Kesadaran Baru 
Pada dunia simulacra kini yang menghamba digitalisasi ini, bagaimanakah kehidupan kreatif kesenian, khususnya susastra, apakah mengalami dinamisasi atau stagnasi? Pada esainya di Kompas Minggu (8/8/2021), Hasan Aspahani mempersoalkan perihal belum mengemukanya inovator dalam ekosistem kesusastraan, utamanya karya puisi. Tulisannya menyiratkan nada prihatin sesuai seruan tajuknya “Wahai, Para Inovator Sastra, di Manakah Kalian?” 

Binhad Nurrohmat, dalam tanggapannya (Kompas Minggu, 22/08/ 2021) “Fundamentalisme Puisi”, juga menyoal ada atau tidaknya serta bagaimana reka-baru (innovation) dalam dunia susastra, seraya mengungkapkan bahwa konteks reka-baru puisi pada masa ini berbeda dengan masa lain, misalnya zaman Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Diungkap pula sejauh mana peran pihak legitimator sebagaimana H.B. Jassin dalam meneguhkan sosok-sosok sastrawan atau penyair ‘terpilih’ itu untuk ditasbihkan menjadi ikon-ikon zaman. 

Di sisi susastra, realitas virtual yang membanjiri keseharian kita dengan labirin kenyataan (melampaui rasa, nalar, dan imajinasi); pada hakikatnya menohokkan tuntutan tentang kebutuhan akan suatu bahasa ungkap baru yang lahir dari suatu cara pandang baru pula. Banyak nilai-nilai yang harus dikaji ulang; segala yang dulu dipandang baku dan memuaskan, kini tak kuasa memenuhi hasrat pencaharian akan kesejatian “kebenaran”. Bahkan dalam peristiwa bahasa pun, yang dulu terbaca mencekam, kini boleh jadi terbaca datar dan wajar saja.

Perubahan cara pandang itu hanya mungkin diraih apabila telah rekah kesadaran baru betapa berlapisnya realita yang dihadapi hari ini. Upaya pencarian dan pembaruan itu tidak cukup hanya dengan mengedepankan inovasi (reka-baru) sebatas penggalian stilistik, estetik, ataupun ragam tematik, melainkan menyarankan pentingnya paradigma baru. 

Rekahnya kesadaran baru itu didasari kenyataan sekaligus pertanyaan, tentang bagaimana rasa kemanusiaan bekerja dalam diri manusia di era digital ini. Ketika peristiwa kematian belum luas ditayangkan dan diviralkan di media sosial, sebuah esai Czeslaw Milosz, pemenang Nobel dari Polandia, yang mengisahkan bagaimana ia menyaksikan seorang gadis remaja Yahudi yang tewas ditembak tentara Nazi, terasa dramatis. Akan tetapi boleh jadi kini tulisan tersebut, jika disimak ulang tak sepenuhnya seberpengaruh dulu. Atau malahan menimbulkan sensasi rasa yang tak jauh beda dengan ketika pemirsa “menikmati” tayangan kekerasan yang setiap hari hadir di televisi atau aneka kanal media sosial. 
Puisi Catetan Th. 1946 atau Kerawang-Bekasi karya Chairil Anwar, atau sajak-sajak pamflet WS Rendra, dan sejumlah puisi penyair kanon lainnya, boleh jadi hadir menyapa khalayak luas era realitas virtual ini dengan sentuhan cita rasa yang tidak sedalam sebagaimana dihayati masyarakat pada era-era sebelumnya. 

Gagas Bernas
Tertaut silang pandang di atas, sebagai catatan bersama, walau karya sastra, cerpen, novel dan puisi itu sebuah dunia rekaan, namun pada dasarnya tidak berjarak dari keseharian. Imajinasi yang utuh dalam karya sastra tersusun dari aneka serpihan pengalaman, remah angan dan juga pengharapan—bagian tak terpisahkan dari cara kita bersikap menghayati hidup dan keseharian. Karya sastra hakekatnya adalah dunia yang kompleks, bukan rumit akibat kerancuan berbahasa ataupun bernalar dalam menghayati lapis demi lapis kenyataan.

Sang sosok “aku” dalam karya sastra tak pelak masih memiliki kemerdekaan, akan tetapi tipisnya batas antara ruang publik dan ruang pribadi pada era digital yang serba virtual ini, menyulitkan siapa pun untuk menjadi sosok individual yang sepenuhnya kuasa merayakan kebebasan penciptaan sebagaimana era sebelumnya.

Sastrawan yang tanggap, dengan kesadaran dan cara pandang baru atas realitas kini yang berlapis itu, barulah terbuka kemungkinan kreatifnya untuk menciptakan karya-karya yang tidak semata dipicu oleh pengalaman berbahasa (intrisik) melainkan juga oleh sensitivitasnya akan suatu percepatan perubahan yang terjadi di dalam lingkungan sosial-globalnya (ekstrinsik). Melalui stilistika-estetika masing-masing yang otentik, serta berkarakter, berupaya mengungkapkan renungannya secara sistematis melalui sarana artistik serta intelektual dalam suatu dialektika di mana ‘sang aku’ dalam karya adalah cerminan masyarakat, pelaku yang sesungguhnya yang mengalami dan menghayati perubahan. (*)

Warih Wisatsana

*) Esai ini adalah pengembangan esai yang telah dimuat di Kompas, dan dipresentasikan pada Dialog Bulan Bahasa, 28 Oktober 2025 di Balai Bahasa Provinsi Bali.


Berbagi Artikel