oleh : Emi Suy
Puisi bukan untuk bertahan selamanya,
tapi karena ia mengandung sesuatu yang tak bisa mati.”
~ Catatan seorang penulis sunyi
Pada akhirnya, puisi mendapat tanggal lahirnya yang sah. Di antara lembar-lembar sejarah bangsa yang ditulis dengan darah dan ide, ada sebaris puisi yang kini diberi tempat: 26 Juli. Tanggal ini bukan sekadar angka dalam almanak, tetapi penanda kelahiran Chairil Anwar penyair yang menggetarkan nadi bahasa dan melampaui batas zaman.
Tentu, puisi tak butuh pengesahan untuk hidup. Ia telah hidup di lorong-lorong sunyi hati manusia, dalam desah napas yang tercekat, dalam arus sungai dan gelegak batin yang tak bisa diteriakkan. Namun sejarah memerlukan penanda seperti bumi yang dilukis peta, seperti pohon yang diberi batu prasasti. Maka lahirlah Hari Puisi Indonesia.
Inisiatif ini muncul dari kesadaran kolektif, bukan oleh satu nama, tetapi oleh sejumlah penyair dan pemikir. Gagasan ini berawal dari percakapan Rida K Liamsi dan Agus R. Sarjono sepulang dari acara Hari Puisi di Vietnam. Lalu gagasan itu dibawa kepada Asrizal Nur dan Kazzaini Ks, dan dibincangkan lebih serius bersama Maman S. Mahayana dan Ahmadun Yosi Herfanda di Korea Selatan. Sepulangnya dari sana, mereka sepakat membentuk Tim Tujuh: Rida K Liamsi, Agus R. Sarjono, Maman S Mahayana, Ahmadun Yosi Herfanda, Asrizal Nur, Kazzaini Ks, dan Jamal D. Rahman. Tim ini bertugas merumuskan dan mewujudkan ide Hari Puisi Indonesia.
Puncaknya, pada 22 November 2012, digelar Pertemuan Penyair Indonesia (PPI #1) di Pekanbaru semacam Focus Group Discussion yang mempertemukan penyair dari seluruh Nusantara, dari Aceh sampai Papua. Dari forum inilah lahir tiga kesepakatan:
1. Indonesia perlu hari puisi sebagai penanda kebangsaan dan eksistensi penyair dan karya-karyanya.
2. Nama "Hari Puisi Indonesia" dipilih, bukan "Nasional", karena merujuk pada semangat universal sebagaimana Hari Puisi Dunia dari UNESCO.
3. Tanggal 26 Juli dipilih, bertepatan dengan hari lahir Chairil Anwar, bukan hari wafatnya. Karena merayakan adalah merayakan kehidupan, bukan kematian.
Pada hari yang sama, dibacakanlah Teks Deklarasi Hari Puisi Indonesia oleh Sutardji Calzoum Bachri, didampingi 40 penyair dari berbagai provinsi. Dalam deklarasi itu, puisi disebut sebagai naskah asli bangsa ini. Bahkan Sumpah Pemuda diakui sebagai puisi pertama yang melahirkan Indonesia. Maka, puisi adalah akar dari imajinasi kebangsaan.
Sejak itu, Hari Puisi Indonesia dirayakan tiap tahun, baik oleh Yayasan Hari Puisi di Jakarta maupun komunitas-komunitas sastra di berbagai daerah. Perayaan ini menyatukan penyair, pelajar, guru, tokoh masyarakat, duta besar, bahkan Wakil Presiden RI. Tahun 2016, Bapak Jusuf Kalla hadir dalam perayaan tersebut.
Serangkaian acara digelar: Pesta Puisi Rakyat, Sayembara Buku Puisi, Anugerah Kepenyairan Adiluhung, hingga seminar nasional dan internasional. Hari Puisi Indonesia telah menjadi simpul persatuan, ruang ekspresi, serta jembatan kultural yang memperkuat kebhinekaan.
Tahun 2025 menjadi momentum bersejarah. Perayaan ke-13 Hari Puisi Indonesia mengusung tema: “Puisi Lahir Tak Pernah Mati.” Tema ini menegaskan bahwa puisi akan selalu lahir, karena ia tumbuh dari semangat yang tak pernah mati semangat untuk menyuarakan, menyentuh, dan menggerakkan.
Tahun ini juga, Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan RI direncanakan menetapkan 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia secara resmi, sejajar dengan Hari Sumpah Pemuda dan hari-hari bersejarah lainnya. Untuk menyambutnya, akan digelar acara akbar Menyongsong Prosesi Penetapan Hari Puisi Indonesia pada Sabtu, 26 Juli 2025, pukul 15.00–23.00 WIB di Plaza Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Tapi mari kembali ke puisi.
Saya mengenal puisi bukan dari buku atau panggung, tapi dari hidup itu sendiri: dari ibu yang diam-diam menahan air mata sambil menanak nasi, dari bapak yang menjahit caping gunung dalam dingin malam, dari tetangga yang kehilangan anak karena demam tanpa sempat ke puskesmas. Dari kemiskinan yang tidak minta dikasihani, tapi juga tidak bisa diabaikan. Semua itu adalah puisi. Belum dituliskan, tapi menggema.
Ketika saya akhirnya menulis, itu bukan karena saya penyair, tapi karena saya tidak tahu cara lain untuk tetap hidup. Dalam puisi, saya menemukan ruang untuk mengubah tangis menjadi nyanyian, kekalahan menjadi ketabahan, kehilangan menjadi nyala yang tak padam.
Puisi tidak tunduk. Ia tidak bisa dimiliki atau dimonopoli. Tidak berlutut pada selera pasar, tidak menjilat kekuasaan. Ia adalah ruang yang bebas untuk mempertanyakan kuasa, mendengarkan sunyi, dan menyelamatkan yang luput dari narasi besar. Puisi tak selalu indah. Kadang marah. Kadang gelap. Tapi selalu jujur.
Maka jangan heran jika masih ada orang yang menulis puisi. Karena selama dunia belum adil, selama manusia masih merasa sepi, selama cinta masih menuntut makna puisi akan selalu dibutuhkan.
Dalam Hari Puisi, kita juga merayakan sesuatu yang sangat khas: persaudaraan kata persaudaraan yang tumbuh dari bait, dari luka, dari cahaya yang kita bagi bersama. Kita saling menyapa, bukan hanya sebagai tubuh, tapi sebagai puisi. Tidak ada penyair besar tanpa puisi-puisi kecil yang jujur. Kita tumbuh dari pertemuan yang kadang gaduh, kadang sunyi, tapi selalu tulus.
Sebagai perempuan, saya tahu puisi adalah alat perlawanan. Ia memberi suara pada tubuh yang dipaksa diam, pada sejarah yang dilupakan. Dalam puisi, saya menanam benih-benih lembut dari suara ibu saya, nenek saya, teman-teman saya, dan semua perempuan yang tak diajari bahwa mereka boleh bermimpi. Saya tidak menulis untuk dilihat. Saya menulis untuk menyuarakan yang tidak terlihat.
Bahasa dalam puisi bukan hanya alat komunikasi ia adalah medan pertempuran. Kita bertarung melawan klise, melawan kepalsuan, melawan narasi-narasi yang menindas pengalaman kecil. Penyair sejati adalah mereka yang memilih kata seperti memilih luka yang hendak dibuka, lalu disembuhkan perlahan. Puisi menyelamatkan bukan dengan solusi, tapi dengan pemahaman.
Membaca puisi adalah membaca diri. Ia bukan cermin datar, tapi cermin yang memperlihatkan sisi terdalam dari kita: kenangan yang kita sembunyikan, harapan yang kita tutup-tutupi, doa yang pernah kita bisikkan diam-diam.
Menulis puisi adalah menyulam yang terkoyak. Kadang hasilnya kasar, kadang tak rapi, tapi justru di situ kejujurannya. Puisi tidak menyelamatkan saya dari dunia. Tapi ia menemani saya menghadapinya.
Dan puisi tidak pernah selesai. Bahkan ketika titik terakhir telah ditulis, ia masih bergema dalam ingatan, dalam pembaca, dalam waktu-waktu sepi yang datang tanpa izin.
Epilog: Hari Puisi, Hari Manusia
Hari Puisi adalah hari manusia. Hari ketika kita kembali ke kata, ke rasa, ke makna. Ketika segalanya tampak runtuh, puisi tetap berdiri. Ia tidak menjanjikan keselamatan, tapi menawarkan pengertian. Dan kadang, itu jauh lebih menyelamatkan.
Emi Suy adalah nama pena dari Emi Suyanti, lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979. Ia dikenal konsisten menyuarakan spiritualitas, luka, dan keperempuanan melalui puisi-puisinya yang lirih dan reflektif untuk menjadi pembelajaran bersama. Nama Emi Suy tercatat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2018), serta Apa Siapa Perempuan Pengarang Indonesia (Kosa Kata Kita, 2024).
Karya-karyanya antara lain: Tirakat Padam Api ( kumpulan puisi, 2011), Alarm Sunyi (kumpulan puisi, 2017), Ayat Sunyi (kumpulan puisi, 2018), Api Sunyi (kumpulan puisi, 2020), Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (kumpulan puisi, 2022), Interval (kumpulan esai, 2023), dan Algoritma Kesunyian (kumpulan puisi bersama Riri Satria, 2023). Puisinya hadir di berbagai media ternama nasional seperti Kompas, Media Indonesia, Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Jawa Pos, dan Pikiran Rakyat, serta lebih dari 200 antologi bersama penyair Indonesia lainnya. Selain bersastra, Emi aktif sebagai pendiri Komunitas Jejak Langkah, ikut serta mendirika Jagat Sastra Milenia (JSM). Saat ini, Emi Suy bergiat di komunitas Kosakata Jakarta Barat.