Kisah Hidup Sylvia Plath: Benarkah Puisi Itu Dapat Menyembuhkan dan Membebaskan?

Rabu, 16 Juli 2025 : 13:26

Oleh: Riri Satria*)

Sylvia Plath. sumber foto: www.poetryfoundation.org

Selama beberapa hari terakhir ini, di sela-sela tugas, saya membaca buku ini, The Journals of Sylvia Plath 1950-1962. Sebuah buku catatan harian seorang perempuan penyair asal Amerika yaitu Sylvia Plath (1932-1963). Buku ini merupakan catatan pribadi Sylvia Plath yag diedit oleh Karen V. Kukil, seorang kurator penerbitan buku biografi. Di samping buku ini, saya juga punya dan sudah baca tiga buku Sylvia Plath, yaitu Ariel, The Bell Jar, serta The Collected Poems of Sylvia Plath.

Kalau dibaca pada buku catatan harian ini, di samping kita jadi mengetahui latar belakang lahirnya puisi dari tangan beliau, maka kita juga dapat membaca pahitnya jalan kehidupan Sylvia Plath dan bahkan mengalami depresi. Sylvia plath meninggal secara tragis karena bunuh diri pada tahun 1963 dengan meracuni dirinya dengan karbon monoksida, walaupun sebagian pihak masih meragukan ini. Lebih mengejutkan lagi ketika kita mengetahui bahwa Sylvia Plath pernah mencoba bunuh diri pada usia muda pada tahun 1953.

Padahal kalau ditelisik soal prestasi, Sylvia Plath adalah seorang perempuan penyair yang berprestasi dan memiliki banyak pencapaian.  Dia peraih Glasscock Poery Prize, Fulbright Scholarship di University of Cambridge, serta Pulitzer Prize for Poetry pada tahun 1982 yang diberikan secara anumerta. Dia juga lulusan Boston University. Bahkan ketika muda Sylvia Plath meraih Scholastic Art and  Writing Awards pada tahun 1947 di Boston, AS. Ini menunjukkan bahwa Sylvia Plath adalah penyair yang hebat. 

Namun menjadi menarik untuk mengkaji dengan bercermin kepada kehidupan Sylvia Plath ini, apakah benar membuat puisi atau menulis itu secara umum adalah semacam escape dari persoalan diri untuk selfhealing, menyembuhkan, dan membebaskan? Dapatkan menulis puisi atau menulis secara umum justru semakin menambah tingkat depresi seseorang? Atau jangan-jangan dengan semakin membuat puisi maka seseorang itu bisa saja semakin depresi? Sebuah pertanyaan yang menarik untuk dijawab melalui riset yang mendalam. 

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa pernikahannya dengan Ted Hughes yang juga seorang penyair adalah salah satu faktor yang ikut menumpuk banyak persoalan para diri Sylvia Plath sehingga menjadi menderita depresi. Beberapa pihak membangun hipotesis terkait kehidupan Sylvia Plath ini, apakah justru di tangan Sylvia Plath, alih-alih sebagai escape, menyembuhkan atau membeaskan, justru puisi menjelma menjadi katalisotor mempercepat depresi dirinya? Semakin dia menulis, semakin dia depresi. Apakah mungkin puisinya menjadi amplifier untuk memperbesar depresi itu sendiri?

Dalam literatur kita jua mengenal jenis puisi yang bisa membangkitkan perasaan depresi atau kesedihan yang mendalam. Puisi-puisi ini biasanya menggunakan bahasa yang melankolis, memiliki tema kehilangan, penderitaan, rasa sakit, sert nada yang suram. Puisi jenis ini sering disebut puisi bertema kesedihan, semakin ditulis dan dibaca, semakin meimbulka kesedihan, ujungnya depresi. Membaca serta menulis puisi eperti ini bisa menjadi cara untuk mengeksplorasi emosi dan perasaan, namun juga bisa memicu perasaan depresi atau kecemasan semakin bertumpuk. Jiika ketika membaca atau meenuli sebuah puisi lalu merasa terpengaruh secara negatif oleh puisi-puisi tersebut, penting untuk mencari dukungan dari orang terdekat atau profesional jika diperlukan. Berarti ada sesuatu pada puisi tersebut yang berdampak negatif kepada diri kita. Namun puisi juga bisa menjadi alat terapi untuk membantu seseorang melepaskan emosi negatif dan memproses pengalaman traumatis, namun sebaiknya dilakukan dengan bimbingan seorang ahli, psikolog misalnya.

Nah, buat saya ini buku yang menarik, membuat kita mengetahui banyak sisi kehidupan manusia dengan produk seni seperti puisi, yang mungkin memang sulit untuk dipahami. Mungkin bagi Sylvia Plat puisi memang membebaskan, tetapi benar-benar membebaskan dia dari kehidupan yang fana ini.

RIRI SATRIA

Riri Satria lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, adalah Ketua Jagat Sastra Milenia (JSM) di Jakarta. Puisinya sudah diterbitkan dalam 4 buku  puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), dan “Metaverse” (2022), di samping lebih dari 60 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Riri Satria juga aktif menulis esai atau tulisan singkat, dan sudah diterbitkan dalam  dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda: Paradigma Baru dalam Perubahan Lingkungan Bisnis” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi”; serta kumpulan esai sastra bertajuk “Jelajah” (2022). Saat ini Riri Satria adalah Staf Khusus Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam) RI  bidang Digital, Siber dan Ekonomi Digital, lalu Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Solusi Digital, serta dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.

Berbagi Artikel