oleh: Hartanto*)
Beberapa waktu yang lalu, Perupa Nyoman Sujana Kenyem menggelar pameran tinggal di Zen1 Gallery Jakarta. Perhelatan yang digelar dari 26 Mei hingga 20 Juni 2025 tersebut bertajuk ; "I AM A TREE”, Whisper of Ecological Awareness from Sayan.
Dalam banyak karya Sujana Kenyem, figur manusia sering menyatu dengan elemen pohon dan pola alamiah yang mengalir. Pendekatan formalisme mendorong penikmat untuk melihat unsur-unsur visual lukisan-lukisannya - seperti garis, warna, tekstur, dan komposisi – sebagai struktur pembentuk makna.
Menurut saya, pameran tunggal “I Am A Tree” karya Nyoman Sujana Kenyem ‘tersisip’ sebuah seruan visual yang kuat akan kesadaran ekologis dan hubungan spiritual antara manusia dan alam. Pameran ini menampilkan puluhan karya terbaru Kenyem yang menggali simbolisme pohon sebagai entitas hidup, bukan sekadar objek lanskap.
Menurut kurator Arif Bagus Prasetyo, Kenyem tidak hanya melukis pohon sebagai bentuk visual, tetapi sebagai subjek aktif yang memiliki jiwa, emosi, dan afeksi. Dalam banyak karyanya, pohon digambarkan menyatu dengan tubuh manusia - sebuah metafora yang menyiratkan bahwa manusia dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Kenyem terlihat sedang merefleksikan perubahan drastis di lingkungan tempat tinggalnya di Sayan, Ubud - dari hutan hijau menjadi kawasan beton. Namun, justru dari kehilangan itulah muncul inspirasi untuk menghidupkan kembali semangat ekologis melalui seni, di tengah arus ‘developmentalis’ yang tak terkendali..
Secara visual, karya-karya Kenyem menampilkan figur antropomorfik - perpaduan manusia dan pohon - yang menyiratkan bahwa pohon memiliki ‘jiwa manusia’ atau sebaliknya. Ini bukan hanya pendekatan estetika, tapi juga spiritual dan filosofis.
Pada lukisan Gerak yang Tumbuh dari Hening, misalnya, garis-garis melengkung dan berputar tampak membentuk siluet sosok manusia yang berbaur dengan cabang-cabang pohon. Komposisi terasa dinamis: bentuk-bentuk melingkar menciptakan kesan gerak dan pertumbuhan.
Palet warna yang lembut namun kontras (misalnya nuansa tanah, hijau, dan oranye kalem) memperkuat kesan organik dan harmonis. Tekstur akrilik di kanvas terlihat halus di beberapa area, namun pola goresan kuas menambah dimensi visual yang kaya.
Semua elemen formal ini disusun sedemikian rupa sehingga komposisi karya tampak utuh dan seimbang, memancarkan harmoni antara figur dan lingkungannya. Perpaduan teknik yang dikembangkan oleh Kenyem – menghasilkan karya yang apik dan enak dinikmati.
Dalam lukisan ini, setiap elemen utama - figur manusia, pohon, gerak, dan latar – dapat dibaca secara simbolik. Figur manusia kecil yang androgini, dengan wajah dan tubuh yang tenang namun ekspresif, bisa dipahami sebagai simbol kemanusiaan universal atau jiwa individu.
Kenyem memang sering menampilkan figur androgini yang seolah menari atau terhanyut dalam alam; dalam konteks karya Gerak yang Tumbuh dari Hening, sosok ini seakan menjadi jembatan antara dunia manusia dan alam. Sementara itu, pohon dalam lukisan melambangkan kehidupan, alam, dan ketahanan.
Sebagaimana dijelaskan, “pohon sebagai simbol kehidupan dan keabadian” lazim ditemukan dalam berbagai budaya. Dalam tradisi Bali sendiri, pohon dipandang sebagai ruang suci yang dihuni roh, lambang kekuatan, dan manifestasi energi ilahi.
Gerak atau dinamika dalam lukisan – yang diisyaratkan oleh judul “Gerak yang Tumbuh” – dapat diartikan sebagai simbol semangat, kelahiran kembali, atau kehidupan yang tumbuh dari keheningan.
Keheningan latar belakang (“hening”) itu sendiri menyiratkan ruang meditatif dan kemungkinan tak terbatas; karya ini mengajak penikmat merenungkan bagaimana dari sunyi tumbuh energi dan makna. Laku meditasi, memang acap menghasilkan misteri energy dalam diri.
Secara keseluruhan, simbolisme lukisan menautkan figur manusia dengan pohon dan gerak sebagai satu kesatuan spiritual, menggambarkan keterkaitan mendalam antara diri manusia dan alam yang suci. Karena memang simbolisme dalam seni rupa adalah penggunaan lambang atau gambar yang mewakili ide atau konsep tersirat.
Menurut saya, karya-karya Kenyem kali ini juga mengandung aspek ekspresionis, yaitu penekanan ekspresi emosi dan jiwa. Ciri utama gaya ekspresionisme adalah penyaluran emosi yang kuat lewat warna dan bentuk.
Pada karya Kenyem, meski subjeknya terkesan tenang atau kontemplatif, komposisi dan warna menciptakan suasana intens emosional. Penggunaan warna hangat dan garis tegas yang dinamis menimbulkan getaran batin yang dalam.
Judul “Gerak yang Tumbuh dari Hening” sendiri mengisyaratkan suatu ledakan batin yang muncul dari keheningan – sebuah pengalaman emosional atau spiritual yang lahir dari suasana teduh. Lewat komposisi yang intens dan simbolis ini, Kenyem mengekspresikan perasaan keagungan, ketenangan yang mendalam, dan sekaligus keajaiban alam.
Teknik goresan kuas yang halus namun ekspresif dan palet yang ekspresif memperlihatkan kebebasan artistik Kenyem dalam mewujudkan nuansa emosional. Dengan demikian, meskipun figur di lukisan terlihat sederhana dan mendekati abstraksi, karya ini mengomunikasikan perasaan intens tentang keterhubungan manusia dengan alam dan jiwa.
Dalam bentang visual yang sunyi namun sarat makna, Sujana Kenyem juga mengetengah karya bertajuk "Tiga Lubang Pohon Kehidupan" - sebuah karya monumental yang bukan hanya menampilkan pohon sebagai objek estetika, tetapi juga sebagai arsitektur kosmik tempat manusia bersarang dan berkontemplasi. Dengan medium akrilik di atas kanvas berukuran 200 x 140 cm, Kenyem sekali lagi menegaskan kekuatan naratif dari bahasa visual yang halus, repetitif, dan reflektif.
Tiga pohon besar menjulang dalam latar yang tampak seperti dinding batu purba - retakan-retakan, guratan warna, dan tekstur tanah yang menggambarkan waktu sebagai medan yang tak terhitung. Batang-batang pohon itu kokoh, bercabang rumit, seperti jaringan syaraf semesta. Di dalam tubuh-tubuh pepohonan itu terdapat tiga lubang, masing-masing dihuni oleh sosok manusia.
Lubang-lubang itu bukan sekadar kekosongan. Mereka adalah rahim eksistensial, tempat manusia bersandar pada alam, sekaligus menandai jarak dan kedekatannya dengan kehidupan itu sendiri. Dalam lubang-lubang itu, manusia tampak kecil, bahkan nyaris tenggelam dalam keheningan visual. Mereka duduk, berpikir, atau diam - seolah mempraktikkan laku spiritual dalam ruang yang nyaris tidak terlihat dunia luar.
Dalam banyak kebudayaan, pohon adalah simbol kehidupan, keterhubungan, dan transformasi. Kenyem tidak hanya menghadirkan simbol ini secara visual, tetapi menjadikannya sebagai ruang kesadaran kolektif.
Pohon bukan lagi sekadar objek alam, tetapi subjek yang mengamati, dinamis dan merawat. Tafsir saya, manusia tidak berdiri di samping pohon; ia tinggal di dalamnya, sebagai bagian dari jaring-jaring kehidupan yang lebih besar.
Gaya lukis Kenyem yang dikenal dengan detail titik-titik kecil atau garis pendek yang padat menciptakan kesan ritualistik dalam proses berkarya. Ini bukan teknik yang terburu-buru, melainkan hasil dari penghayatan panjang terhadap waktu dan ruang. Dalam konteks ini, tiap garis dan pola menjadi semacam mantra visual - doa diam-diam yang ditanamkan ke dalam kanvas.
Tekstur latar belakang yang menyerupai tembok gua atau bebatuan menciptakan kesan arkeologis, seolah-olah lukisan ini bukan sekadar citra, tapi artefak hidup yang digali dari ingatan bumi.
"Tiga Lubang Pohon Kehidupan" tidak berbicara dengan suara keras. Ia memilih bahasa keheningan sebagai medium komunikasi. Namun justru dalam sunyi itulah muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapa kita di hadapan alam? Apakah kita hidup di dalam kehidupan, atau sekadar menumpang lewat di tubuh semesta?
Karya ini mengingatkan bahwa mungkin jawaban atas pertanyaan eksistensial itu tidak ada di luar, melainkan di dalam lubang pohon, tempat manusia duduk sendiri, menyatu dengan akar dan batang, mendengarkan waktu lewat daun-daun kering, atau kambium yang terus melingkar setiap waktu.
Dalam perspektif fenomenologis, karya-karya Kenyem dapat dipandang sebagai pengalaman tentang tubuh yang hadir dalam ruang estetik. Figur manusia di sini tidak hanya objek pasif, melainkan perantara indria yang menghadirkan ruang sunyi dan gerak.
Sosok manusia, tampak terlelap di ruang abstrak, namun menyatu dengan lingkungan – mengaburkan batas antara tubuh dan sekitarnya. Penikmat lukisan diajak membayangkan keberadaan tubuhnya sendiri di dalam ruang lukisan ini: apakah penikmat ikut merasakan keheningan dan kelenturan yang terlukis?
Komposisi yang membuka “ruang hening” di sekeliling figur dapat dilihat sebagai metafora lapangan kosong batin tempat gerak akan kehidupan. Dengan demikian, pengalaman fenomenologis dari lukisan lukisan Kenyem adalah menyadari, tubuh (baik gambar maupun penikmat) sebagai entitas yang terhubung dengan ruang spiritual. Kenyem seolah berkata: tubuh tidak hanya berdiri di antara elemen, melainkan menjadi bagian dari harmoni ruang tersebut.
Selanjutnya, coba kita simak karya Kenyem yang bertajuk "Cahaya yang Bersembunyi di Ujung Rimba" (2024). Kita coba menyimaknya dari pendekatan formalistik, simbolik, dan tematik. Karya ini berukuran 350 x 150 cm, media Akrilik di atas kanvas dan bertahun 2024.
Karya ini menggambarkan sebuah lanskap hutan yang rapat dan mendalam, penuh pohon tak berdaun dengan batang halus dan padat garis. Di antara cabang dan dahan, tersembunyi figur-figur manusia kecil yang bergelantungan, berjalan, atau terdiam. Di kejauhan, tampak kilauan cahaya berwarna terang dan kontras, seolah menjadi pusat energi tersembunyi.
Dalam pameran bertema "I Am a Tree" ini, para penikmat diajak merefleksikan identitas, eksistensi, dan hubungan spiritual antara manusia dan alam. Sujana Kenyem, menjawab tema ini dengan penuh kedalaman visual dan simbolik melalui karyanya berjudul Cahaya yang Bersembunyi di Ujung Rimba (2024). Karya ini selain menggambarkan lanskap hutan, juga menyiratkan pencarian batin manusia akan cahaya, makna, dan jati diri.
Garis-garis lengkung dan ritmis mendominasi visual, menciptakan jaringan seperti akar atau pembuluh darah yang kompleks. Komposisi yang padat dan datar memperkuat kesan sesak, seolah penonton diajak masuk ke dalam rimba batin. Warna biru dan abu-abu menegaskan keteduhan dan kedalaman, sementara cahaya putih terang di kejauhan menjadi titik tumpu kontras yang mencuri perhatian.
Menurut Interpretasi saya, hutan dalam karya ini bukan sekadar lanskap alam, melainkan metafora batin manusia: kompleks, gelap, dan menyimpan rahasia. Pohon-pohon tinggi adalah tubuh-tubuh spiritual yang menjadi saksi waktu. Manusia hadir dalam ukuran kecil, nyaris tenggelam dalam semesta hutan, menandakan posisi eksistensial yang rendah hati dan menyatu. Cahaya yang tersembunyi menjadi simbol pencerahan, pengetahuan, atau harapan yang tidak mudah dicapai.
Karya ini memperlihatkan bahwa untuk menemukan ‘cahaya’, manusia perlu menyusuri rimba hidupnya - dengan melewati cabang-cabang pengalaman, menghindari jebakan ego, dan merunduk dalam kerendahan hati. Dalam semangat tema "I Am a Tree", tubuh manusia tidak hanya berdampingan dengan pohon, tetapi menjelma menjadi bagian dari pohon itu sendiri - diam, menyerap, dan tumbuh perlahan.
Cahaya yang Bersembunyi di Ujung Rimba ini merupakan cerminan puitis dari perjalanan spiritual manusia dalam konteks alam. Melalui pendekatan visual yang kompleks dan simbolik, Sujana Kenyem mengajak kita menyadari bahwa menjadi pohon bukan hanya tentang menjadi bagian dari alam, tetapi tentang memahami hakikat eksistensi - bertumbuh dalam keheningan dan mencari terang di balik keremangan.
Pandangan posthumanisme menantang batas antara manusia dan alam, mendesak kita memikirkan manusia sebagai bagian alam yang lebih luas. Karya-karya Kenyem pada pameran tunggalnya ini merefleksikan konsep tersebut dengan gamblang: manusia dan pohon melebur tanpa perbedaan yang tegas, figur menjadi ‘manusia-pohon’ hibrida.
Melalui penggabungan ini, karya-karya Kenyem mengilustrasikan gagasan bahwa manusia tidak eksklusif menaklukkan alam, melainkan turut bersatu dengannya. Sebagaimana dikemukakan, posthumanisme “mendecentrasikan manusia dari posisi pusat, terbuka pada lingkungan dan hak asasi makhluk hidup lainnya”.
Karya Kenyem secara visual mengaburkan hierarki antara manusia dan pohon; keduanya setara, saling menopang. Dalam konteks ini, lukisannya mengajak kita untuk melihat tubuh manusia tidak lagi sebagai subjek otonom semata, melainkan sebagai bagian aktif dari kehidupan alam. Gerak yang tumbuh dari hening itu menjadi ekspresi pasca-humanistis tentang kesatuan ekosistem: tubuh, roh, dan alam bergerak bersama sebagai satu kesadaran.
Selanjutnya, mari kita telisik karya Kenyem yang berjudul Lahir Kembali (2024). Pada karya ini, Sujana Kenyem mempersembahkan citraan visual yang penuh makna tentang hubungan manusia dengan alam. Kenyem menggugat batas tegas antara manusia dan alam. Ia membayangkan eksistensi yang tidak lagi terpusat pada manusia (non-anthropocentric),
Lewat pendekatan simbolik dan spiritual, lukisan ini menampilkan pohon sebagai tubuh hidup yang tidak hanya menopang eksistensi manusia, tetapi juga menyiratkan proses regenerasi, perlindungan, dan kebangkitan kesadaran ekologis.
Dengan medium akrilik di atas kanvas berukuran 90 x 100 cm, karya ini menjadi tafsir kontemporer atas tema keberadaan, kelahiran, dan keterhubungan antara manusia dan alam. Komposisi visual dalam karya ini menampilkan sebuah pohon besar di tengah bidang lukisan dengan batang yang membentuk siluet tubuh manusia.
Cabang-cabangnya menjalar kompleks dan ritmis seperti nadi atau jaringan saraf otak. Di dalam rongga batang pohon tersebut, tampak sosok manusia kecil berpakaian merah yang duduk di atas semacam alas hijau, seolah baru lahir atau sedang bermeditasi. Latar belakang didominasi oleh warna biru terang dengan aksen merah dan hitam, menyerupai belantara imajinatif yang padat dan berdenyut.
Dari segi bentuk, garis-garis halus dan padat yang membentuk tekstur batang pohon memberi kesan keteguhan dan detail, mengundang perhatian mendalam terhadap struktur dan alur hidup. Warna biru yang luas menciptakan suasana terbuka dan kontemplatif, sementara percikan merah memberi aksen kehidupan dan energi. Tubuh pohon bukan hanya latar, tetapi menjadi subjek utama - sebuah tubuh metaforis yang menyatukan manusia dan alam.
Figur manusia kecil di dalam batang pohon dapat ditafsirkan sebagai simbol kelahiran kembali—baik dalam arti spiritual maupun ekologis. Ia muncul dari rahim pohon, menandakan kesatuan mendalam antara manusia dan bumi.
Pohon di sini adalah ibu, rahim, dan tempat pulang. Struktur bercabang di bagian atas menyerupai otak atau sistem saraf, yang memperkuat narasi bahwa pohon bukan hanya makhluk hidup, tetapi juga entitas sadar yang menyimpan memori dan pengetahuan.
Sementara dari perspektif ekofeminisme, pohon dapat dilihat sebagai metafora tubuh perempuan - subur, melindungi, dan melahirkan kehidupan. Sosok manusia kecil yang dilindungi di dalam rongga pohon menyerupai janin dalam rahim, merepresentasikan hubungan maternalis antara alam dan manusia. Dalam konteks ini, "lahir kembali" menjadi simbol dari pemulihan hubungan spiritual dan etis yang selama ini diabaikan oleh sistem patriarki dan eksploitasi alam.
Karya "Lahir Kembali" bukan sekadar lukisan tentang pohon, tetapi sebuah mediasi visual tentang transformasi eksistensial manusia. Sujana Kenyem menawarkan ruang reflektif yang mendalam: bahwa manusia bukan entitas terpisah dari alam, melainkan bagian dari siklus kehidupan yang lebih luas.
Dalam era krisis iklim dan alienasi ekologis, karya ini menyerukan kebutuhan untuk kembali - bukan ke masa lalu, tetapi ke dalam tubuh alam yang kita lupakan sebagai asal. Di sanalah, mungkin, kita bisa benar-benar lahir kembali.
Melalui karya Lahir Kembali, Sujana Kenyem tidak hanya merespons tema I Am a Tree secara estetis, tetapi juga secara filosofis dan politis—menghadirkan kemungkinan identitas baru yang tumbuh dari akar kesadaran ekologis, spiritualitas hutan, dan penghormatan pada kehidupan.
Lebih lanjut, yang juga menarik adalah karya tiga dimensi Kenyem yang berjudul Untitled 2 (2023). Patung Untitled 2 menghadirkan sosok antropomorfik bergaya minimalis, dengan bentuk menyerupai manusia berpose membentangkan tangan dan kaki lebar-lebar, menyerupai huruf “X” atau gestur tubuh yang terbuka. Tubuh berwarna putih dengan kepala dan kaki berwarna hitam legam. Tidak ada wajah atau detail anatomi, menciptakan kesan anonim dan universal.
Secara formal, karya ini menekankan kesederhanaan bentuk dan kontras warna. Tidak ada ornamen atau rincian yang rumit. Bentuknya simetris dan stabil, menciptakan efek keseimbangan dan harmoni visual. Kontras warna hitam-putih bukan hanya estetis, tetapi juga membentuk ritme visual yang lugas dan kuat. Bagi Clive Bell kritikus seni asal Inggris tentang formalism, karya ini memiliki "significant form", yakni kekuatan ekspresi yang muncul dari bentuk itu sendiri, bukan narasi.
Meskipun tidak memiliki detail representasional, gestur terbuka dari patung ini menyiratkan makna simbolik tentang penerimaan, kelapangan batin, atau bahkan transformasi identitas. Warna putih dapat dimaknai sebagai kesucian, permulaan, atau kesadaran baru, sedangkan kepala hitam menjadi kontras yang mencerminkan kerahasiaan, ketidaktahuan, atau mungkin pengalaman terdalam dari jiwa manusia. Tanpa wajah, sosok ini menjadi cerminan siapa pun—universal dan inklusif.
Dalam konteks seni minimalis, Untitled 2 mengedepankan dan penghilangan narasi. Karya ini tidak mengarahkan pemaknaan tertentu, tetapi membuka kemungkinan kontemplasi bebas dari penikmat. Seniman Amerika Donald Judd pernah menyatakan bahwa seni minimal menolak “illusory space” (ruang ilusi) dan lebih mengedepankan kehadiran langsung di ruang nyata. Patung ini mewujudkan prinsip tersebut—hadir secara kuat dan jelas di hadapan kita, tanpa perlu menjadi "representasi".
Pendekatan fenomenologis melihat bahwa tubuh adalah pusat pengalaman dan persepsi. Dalam konteks ini, Untitled 2 menjadi figur tubuh tanpa identitas, mengundang pengalaman langsung penonton terhadap keberadaan fisik dan ruang. Bentuk patung yang seukuran manusia dan posisinya yang terbuka menciptakan kemungkinan dialog dengan tubuh penonton—seolah mengajak ikut “membuka diri” atau “membebaskan beban”.
Diposisikan di depan karya dua dimensi Sujana yang penuh detil dan kompleksitas pohon, patung ini berfungsi seolah menjadi “penyaring” visual. Ia menyederhanakan, memperlambat, dan mengarahkan perhatian kita pada gestur paling dasar: kehadiran. Mungkin inilah tubuh manusia setelah menyatu dengan pohon, menjadi simbol kesadaran baru yang tak lagi terbebani identitas atau ego.
Untitled 2 adalah contoh karya tiga dimensi yang berhasil memadukan kekuatan formalis dengan kedalaman makna simbolik. Kesederhanaannya justru menjadi kekuatannya. Dalam konteks praktik artistik Sujana Kenyem, karya ini bisa dibaca sebagai wujud tubuh yang telah “dilucuti” dari kerumitan dan kembali pada keheningan esensial - sebuah tubuh yang “lahir kembali” dalam bentuk paling murni.
Ini, menurut saya, parallel dengan pendapat Ernst Cassirer dalam bukunya “The Symbolic Forms”. Cassirer memandang manusia sebagai animal symbolicum, dan ini sangat relevan untuk membaca karya Kenyem yang penuh simbol alam, tubuh, dan cahaya sebagai metafora spiritual dan eksistensial.
Menyimak karya-karya Sujana Kenyem pada pameran I am A Tree ini, secara konseptual (bukan visual) bisa saya padankan dengan beberapa perupa internasional diantaranya adalah ; Giuseppe Penone (Italia). Penone, bagian dari gerakan Arte Povera, banyak membuat karya yang menggabungkan tubuh manusia dengan elemen pohon dan alam.
Dalam salah satu karya Panone yang terkenal, ia mengukir bentuk lengan manusia ke dalam batang pohon, menyiratkan keterhubungan organik manusia dengan alam. Sementara itu pada Kenyem, kreativitasnya ‘mengolah’ pohon sebagai entitas hidup yang setara dengan manusia. Gestur tubuh dan pohon yang saling menyatu. Ini, mungkin yang meahirkan pemikiran Kenyem bahwa tubuh manusia tumbuh dari dan bersama alam.
Selain itu ada Ana Mendieta (Kuba/Amerika Serikat). Mendieta dikenal karena karya “earth-body art” yang menautkan tubuhnya ke alam secara simbolik dan spiritual. Dalam seri Silueta, ia meninggalkan jejak tubuh di tanah, pasir, dan rumput sebagai bentuk ritual keterhubungan manusia dengan alam semesta dan leluhur. Kesamaan dengan Kenyem: Tubuh sebagai simbol spiritual yang larut ke dalam alam. Pendekatan kontemplatif terhadap tubuh dan bumi. Karya sebagai ruang refleksi dan relasi kosmis.
Selain itu, ada Andy Goldsworthy (Inggris), Andy maupun Kenyem sama-sama merambah wilayah Kesunyian dan siklus alam. Andy Goldsworthy menggunakan elemen alam (daun, batu, es) untuk membuat karya site-specific yang sering bersifat sementara.
Ia menangkap bagaimana bentuk dan pola alami menyiratkan keheningan, kesementaraan, dan keteraturan semesta. Keduanya, Andy dan Kenyem, sama-sama mengeksplorasi estetika alam dan keheningan sebagai basis ekspresi. Selain itu, juga penciptaan struktur yang tampak “alamiah” dan intuitif – hingga menyentuh wilayah kesadaran ekologis dan spiritual.
Kesederhanaan bentuk, namun dengan resonansi spiritual dan sosial, mungkin juga bisa jadi merupakan kesamaan proses kreatif Kenyem dan perupa Antony Gormley (Inggris). Aspek padanan yang lain adalah eksplorasi Tubuh sebagai ruang dan pengalaman.
Gormley membuat patung-patung tubuh manusia sebagai “ruang persepsi” - seolah tubuh menjadi tempat di mana ruang, waktu, dan eksistensi berpotongan.
Ia juga mengaburkan batas antara tubuh individu dan semesta. Kesamaan lain dengan Kenyem, tubuh tidak digambarkan sebagai individu spesifik, melainkan simbol universal. Yang paling menonjol mengenai kesamaan Kenyem dan Gormley adalah tentang ketertarikan pada keheningan, ruang batin, dan keterhubungan eksistensial.
Jika harus menyebut satu tokoh utama yang paling dekat dengan ‘roh kekaryaan’ dari Kenyem, maka Giuseppe Penone dan Ana Mendieta adalah dua nama yang paling kuat. Keduanya tidak hanya memvisualisasikan tubuh dan alam, tetapi juga mengangkat spiritualitas, harmoni ekologis, dan kesenyapan sebagai bagian dari bahasa seni.Jadi, sangat menarik dan akan sangat kuat secara wacana dan visual manakala memadankan karya Kenyem dengan Penone (dari aspek pohon dan tubuh) dan Mendieta (dari aspek tubuh dan spiritualitas alam).
Barangkali,untuk menelisik pemadanan tersebut secara lebih detil, diperlukan referensi lintas teori seni kontemporer dari buku Theories and Documents of Contemporary Art - Kristine Stiles & Peter Selz. Buku ini penting karena mencakup teori-teori dari perupa dan pemikir seni abad 20–21. Berguna untuk membandingkan gagasan Kenyem dengan perupa internasional seperti Ana Mendieta, Joseph Beuys, atau Giuseppe Penone. Selamat Sukses berpameran bli Nyoman Sujana Kenyem.
Hartanto, pernah bekerja sebagai wartawan majalah Matra. Kini, tetap jadi Redaktur Khusus Matranews.id. Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Jogyakarta ini menulis puisi sejak SMP. Karyanya dimuat di Bali Post, NusaTenggara, Suara Karya, Suara Pembaharuan, majalah Tempo, majalah Hai, majalah Ceria, majalah kebudayaan BASIS, majalah Femina, tabloid Wanita Indonesia, TATKALA Co. Id, NUSA Bali, Bali Politika dan Jurnal Kebudayaan CAK. Beberapa puisinya di terjemahkan oleh penyair Amerika Thomas Hunter, dan dimuat dibeberapa majalah terbitan Perancis. Puisinya terbit dalam antologi Ladrang (Wianta Foundation-1995). Antologi Dendang Denpasar, Nyiur Sanur (2012), Antologi puisi bersama “Ibunda Tercinta” (2021), Antologi Puisi bersama “Blengbong” (2021). Penghargaan: Bali Dwipantara Natha Kerthi Nugraha dari ISI Denpasar. sebagai Penyair dan Maecenas Senirupa (2023). Hingga kini, acap menulis beberapa pengantar buku Sastra, Senirupa, dan Seni Budaya lainnya.