Tari, Puisi, Aksara Badani

Kamis, 26 Juni 2025 : 20:00

oleh: Hartanto*)

Membaca kumpulan puisi Prof. Dibia yang terhimpun dalam buku Kumpicak (Kumpulan Puisi Kecak)  ini – sangat menarik bagi saya. Sebab, menurut saya, transformasi atau alih wahana dari tari ke puisi tidaklah mudah.

Tentu, penulis mesti memahami hal-ihwal seni tari tersebut, baik dari sudut estetika, maupun praksis dan teoritis. Memang bisa saja seorang penyair terinspirasi keindahan tari tanpa ia memahami tarian tersebut – namun ada baiknya, ia ‘mengalinya’ lebih dalam dulu.

Demikian juga manakala Prof. Dibia menulis puisi yang terinspirasi oleh seni tari.  Sudah tentu, beliau sangat memahami obyek atau ‘bahan baku’ proses kreatifnya dalam menulis puisi. Pasalnya, beliau adalah budayawan dan maestro seni sekaligus Guru Besar koreografi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Sebab, mengalihkan tarian menjadi puisi membutuhkan observasi yang mendalam, sensitivitas terhadap gerakan dan emosi, serta keterampilan untuk menggambarkan semuanya dalam kata-kata. Prof Dibia melakukannya dalam proses penciptaan buku setebal 66 halaman ini. Itu dikerjakannya antara tahun 2023 hingga 2024.

Proses ini memungkinkan kita untuk menangkap esensi tarian dan menyampaikannya melalui medium yang berbeda, menciptakan pengalaman artistik yang baru – melalui kata. Dan Prof. Dibia yang sudah puluhan tahun bergelut di dunia pendidikan, khususnya seni pertunjukan, memiliki kapasitas ini.

Sebaliknya, alih wahana dari Puisi ke bidang seni lain juga sudah lama dilakukan. Pada tahun 1848, puisi karya penyair Victor Hugo yang berjudul “Ce qu'on entend sur la montagne”  (“What we hear on the mountain”, Apa yang kami dengar di gunung ) menginspirasi Franz Liszt, komposer Austria-Hongaria – untuk menciptakan karya musik orchestra.

Karya Franz Liszt tersebut, berjudul sama dengan puisi Victor Hugo. Karya ini juga merupakan puisi simfoni Liszt yang terpanjang. Pembaca bisa menikmati karya ini di : https://www.youtube.com/watch?v=fO76XNy6bQo&list=RDfO76XNy6bQo&start_radio=1

Setelah itu, di tahun 1894 puisi bertajuk L'Après-midi d'un faune (the afternoon of a faun /Siang Hari Seorang Faun) karya penyair Stéphane Mallarmé - menginspirasi composer Claude Debussy mencipta karya puisi simfoni untuk orchestranya ; Prelude to the Afternoon of a Faun.

Selanjutnya, karya ini dipentaskan di Paris 22 Desember 1894. Untuk menikmati karya ini, bisa disimak di : https://www.youtube.com/watch?v=G1ENfvllOiw. Atau di : https://www.youtube.com/watch?v=fx6i7sXcRqo

Karya Debussy kemudian menjadi dasar untuk tari balet Afternoon of a Faun yang dikoreografi oleh Vaslav Nijinsky dan versi barunya dilanjutkan oleh Jerome Robbins. Mengutip dari Ensiklopedi Britannca, karya ini merupakan salah satu karya Debussy yang paling terkenal.

Ini dianggap sebagai titik balik dalam sejarah musik seni Barat, serta sebagai mahakarya komposisi Impresionis. Maksudnya disebut impresionistik adalah meliputi harmoni statis, penekanan pada warna-warna instrumental.

Selain itu, juga menciptakan permainan warna musik yang amat indah, melodi yang tidak memiliki gerakan yang diarahkan, ornamen permukaan yang mengaburkan atau menggantikan melodi, dan penghindaran bentuk musik tradisional.

Selanjutnya, tentang Puisi yang terinspirasi dari seni tari, pernah ditulis oleh Joseph Brodsky, penyair yang meraih penghargaan Nobel sastra pada tahun 1987. Brodsky menulis sebuah puisi yang berjudul "How splendid late at night" untuk Mikhail Baryshnikov, penari balet paling terkenal di dunia saat itu.

Berdasarkan puisi itu, digelar pertunjukan tunggal Brodsky/Baryshnikov. Repertoar tersebut  disutradarai oleh Alvis Hermanis, direktur New Riga Theatre di Latvia. Untuk menikmati kolaborasi Brodsky/ Baryshnikov ini, bisa simak di : https://www.youtube.com/watch?v=FAp4W3T7IbI

Mengutip perbincangan pada tahun 1987, antara Marcia DeSanctis, yang saat itu menjadi produser ABC, dengan Brodsky – dikatakan,  puisi ini menggambarkan keagungan Baryshnikov saat menari malam hari. Memang, kedua seniman ini memiliki persahabatan yang mendalam.

Dijelaskan juga oleh Marcia, Brodsky sering menggambarkan keindahan dan kekuatan tarian Baryshnikov dalam karya-karya puisinya. Karya karya Brodsky tersebut menunjukkan bagaimana seni tari bisa menjadi sumber inspirasi yang mendalam bagi seorang penyair.

Kolaborasi  antara Brodsky dan Baryshnikov menunjukkan bagaimana dua bentuk seni yang berbeda—puisi dan tari—bisa saling menginspirasi dan memperkaya. Puisi Brodsky memberikan dimensi baru pada penampilan Baryshnikov, sementara gerakan Baryshnikov memberikan visualisasi yang hidup pada kata-kata milik Brodsky.

Selain itu, ada juga penyair Meksiko Ramon Lopez Velarde. Ia, sangat mengagumi keindahan gerak tubuh ballerina Anna Pavlova, saat menari. Karena sangat kagum pada Ballerina tersebut, Penyair Ramon menulis puisi untuknya. Judul puisinya ; “Anna Pavlova”. Untuk menikmati tarian Anna yang bikin Velarde kagum : https://www.youtube.com/watch?v=kbuDijEaHpU

Penyair Umbu Landu Paranggi almarhum juga sangat kagum pada maestro tari Legong Kraton dari banjar Kedaton Denpasar maka beliau menulis puisi untuk maestro tari tersebut, Ni Ketut Reneng. Judul puisinya : “Ni Reneng”. Dalam buku ini, Prof. Dibia juga menulis puisi untuk ; Tuan Tepis (Walter Spies), Wayan Limbak, dan I Wayan Serog, Keith Terry, Rina, Sardono, dan Ayahanda nya.

Begitulah catatan yang ada tentang alih wahana antara musik, puisi, dan tari. Sejak jaman klasik, jelas tercatat, inpirasi lebih banyak bermula dari puisi, ke musik, lantas ke tari (ballet). Puisi ke music juga bisa kita nikmati kolaborasi Paul McCartney dan penyair Allen Ginsberg, dalam puisinya : ‘The Ballad of American Skeletons’. Ini bisa kita simak di : https://www.youtube.com/watch?v=Yr5Y4XQO7xQ

Dalam catatan saya, hanya penyair Joseph Brodsky, Umbu Landu Paranggi, dan Ramon Lopez Velarde, juga penyair Warih Wisatsana, GM Sukawidana, serta Nyoman Wirata yang mencipta puisi berdasarkan tarian dan kepiawaian penari/ ballerina seperti Mikhail Baryshnikov, dan  Anna Pavlova dalam menari ballet. Atau Ni Ketut Reneng, Ni Polog, Ida Wayan Padang, Gde Geruh dan lain sebagainya dalam tari Bali.

Selain itu,  Almarhum penyair Umbu Landu Paranggi juga menulis puisi untuk penari Ni Reneng. Seingat saya GM Sukawidana juga menulis puisi untuk Ni Polok. Bli Nyoman Wirata juga pernah mencipta puisi untuk Ni Reneng. Penyair Warih Wisatsana  menulis puisi bertajuk ; Tarian terakhir.  Pak Prof. Dibia, dalam antologi puisinya seri “Puitika Tari” juga banyak menulis puisi tentang penari. Itulah batas ingatan saya, maaf jika ada teman penyair yang terlewat.

Mungkin, demikian juga di tanah air – tidak banyak puisi yang terinspirasi dari tarian -  dan lebih banyak tarian yang terinspirasi dari puisi atau karya sastra lainnya. Tapi saya yakin, pasti ada penyair kita yang menulis puisi tentang tari dan penari. Dalam beberapa antologi puisi karya Prof. Dibia (seri Puitika Tari) – bisa kita simak karya sastra nya yang terinspirasi dari seni tari atau penarinya.

Pada antologi puisi kali ini, Prof Dibia memberi judul : Kumpulan Puisi Kecak (Kumpicak). Puisi-puisi Prof. Dibia, bagi saya, tak hanya ‘kumpulan estetika’ semata, tapi juga hal-ihwal kesejarahan, kosmologi, etnologi, dan makna simbolis tari bali  - khususnya yang berkait dengan Cak dan Sanghyang di buku ini.

Seperti kita ketahui, Wayan Limbak adalah pencipta  tari Kecak. Sekitar tahun 1930an, ia bersama Walter Spies, seorang koreografer dan pelukis asal Jerman, memodifikasi tarian Sanghyang menjadi tari Kecak yang saat ini kita kenal.

Dalam modifikasi tarian tersebut, Limbak dan Spies menyisipkan sebuah cerita yang diambil dari epos Ramayana. Beberapa penari, dilibatkan untuk menarasikan wiracarita Ramayana itu, khususnya saat Hanoman dan pasukannya membantu Rama melawan Rahwana.

Pada mulanya tari Cak berkait erat dengan tari Sanghyang, yang ditarikan manakala ada wabah, atau menurut jadwal ritual keagamaan. Ketika itu, Cak dikategorikan sebagai tarian sakral. Limbak dan Spies memodifikasi menjadi tarian profan.

Mungkin, tujuan Walter Spies agar para wisatawan bisa menikmati tari Cak -- yang kemudian menjadi Kecak, tanpa menunggu kegiatan ritual keagamaan atau adanya wabah. Dan Spies memang seorang seniman yang piawai juga dalam seni lukis, musik, dan pemikiran.

Selanjutnya, saya tak hendak mengkaji soal tari, sebab itu bukan kapasitas saya. Saya hanya ingin menginterpretasi beberapa karya dalam Kumpicak ini.  Mari kita simak puisi bertajuk Cak.

 

Cak

Gamelan suara

teriak bunyi manusia

menggema dari balik gelap

serupa suara gamelan.

Dada dada telanjang

telapak tangan bergetar

tumpah dari belahan candi bentar

melingkar di pohon api bersinar terang.

Ada decak suara ritmis

ada juga alunan suara melodis

disuarakan ratusan laki-laki

duduk bersila menyilang kaki.

Konon gamelan suara

menjadi pilihan para warga

berkat pawisik semesta

tak memberkahi alat suara.

Gamelan suara

ritme jiwa bunyi berpola

japa nada kepada Hyang Widhi

doa suara manusia di bumi.

 

Puisi ini mengangkat tradisi Bali yang kaya akan elemen budaya dan spiritual. “Gamelan suara” atau Chorus, yang merupakan ciri khas dari Tari Kecak, diambil sebagai inti dari puisi ini. Ini menunjukkan bahwa seni pertunjukan tradisional, penting dalam kehidupan masyarakat Bali.

Penggunaan gamelan suara yang dipilih oleh warga "berkat pawisik semesta" selain mencerminkan penghormatan dan keterhubungan dengan alam serta kepercayaan spiritual, juga merupakan upaya membentuk identitas kolektif.

“Gamelan suara” dalam puisi ini diibaratkan sebagai suara manusia (Chorus) yang “menggema serupa gamelan”, juga mencerminkan bagaimana elemen-elemen budaya dapat menggambarkan keindahan dan kompleksitas kehidupan manusia.

Pada puisi ini juga saya temui Simbolisme Spiritual. Coba simak Frasa ; "japa nada kepada Hyang Widhi" dan "doa suara manusia di bumi". Menurut saya, kalimat ini menekankan aspek spiritual dari tarian ini, menghubungkan performa fisik dengan doa dan permohonan kepada kekuatan yang lebih tinggi, Hyang Widhi.

Penggunaan kata-kata seperti "menggema," "bergetar," "melingkar," dan "bersinar terang" menciptakan imaji yang kuat dan hidup, membantu pembaca merasakan atmosfer dan energi dari tarian ini.

Masih menurut saya, imaji dalam puisi ini sangat kuat, dengan deskripsi suara gamelan yang menggema dan visualisasi dari penari yang melingkar di sekitar pohon api. Ini menciptakan pengalaman yang imersif bagi pembaca.

Elemen-elemen seperti "pohon api bersinar terang" dan "Ada decak suara ritmis”, “ada juga alunan suara melodis” menurut saya, juga memiliki makna simbolis yang dalam, menggambarkan cahaya spiritual dan komunikasi dengan yang ilahi.

Mungkin, karena kekuatan spiritual itulah maka seni pertunjukan ini cepat di kenal di dunia internasional. Hingga kini tari Cak tetap eksis di dunia seni Budaya maupun kepariwisataan. Maestro Sardono W. Kusumo juga pernah membawa tarian ini ke tingkat internasional.

Lebih lanjut,  mari kita simak puisi yang berjudul ; Tari Sanghyang. Puisi ini selain mendiskripsikan pementasan tari tersebut -- menurut interpretasi saya, juga menyinggung esensi tarian Sanghyang, yang digunakan dalam konteks religius dan spiritual,

 

Tari Sanghyang

Di bulan-bulan gesang

tatkala penghuni bumi meradang

dihadang bayang-bayang tak biasa

rasa takut datang menyerang

membuat hidup terasa gamang.

Setiap menjelang malam

keberanian diri terasa padam

terbawa bayang-bayang hitam

dari desti-desti jahanam.

Kajeng Kliwon hari keramat

saat tepat untuk doa sesambat

memohon kepada dewata di langit

ajimat kuat penghalau roh jahat

peruwat duka nestapa jagat.

Di sandikala yang suci

asap putih mengepul di atas pasepan

kemenyan berbau harum semerbak

kumandang kidung puja-puji semarak

bergantian dengan suara cak menghentak

samar-samar doa mantra pendeta

khusyuk memohon dewata di sorga

semoga turun memberkati bumi.

Para penari sanghyang

sontak rebah tak sadar diri

raganya ditinggali roh-roh suci

bidadari atau kuda sorgawi

kembali ke negeri Hyang.

 

Puisi berjudul Tari Sanghyang ini menggambarkan pentingnya menjaga dan menghormati tradisi spiritual Bali di tengah arus deras kehadiran wisatawan manca negara ke Bali – dengan berbagai pengaruhnya.

Baik yang positip maupun negatip. Melalui deskripsi ritual Sanghyang, puisi ini menekankan keberlanjutan dan relevansi praktik-praktik adat dalam kehidupan masyarakat modern. Masyarakat Bali tentunya berharap, para wisatawan menghormati adat istiadat setempat.

Sepertinya, penyairnya  menyoroti ritual keagamaan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan dunia ilahi, menunjukkan hubungan yang mendalam antara manusia dan alam semesta dalam konteks spiritual.

Banyak elemen ritual yang digambarkan dalam puisi ini memiliki simbolisme yang kuat. Misalnya, "asap putih mengepul di atas pasepan" melambangkan kesucian dan "ajimat kuat penghalau roh jahat" sebagai perlindungan spiritual.

Metafora yang apik juga dipergunakan oleh penyairnya untuk menggambarkan kondisi emosional dan spiritual. Misalnya, "keberanian diri terasa padam" dan "bayang-bayang tak biasa" mencerminkan ketakutan dan kekhawatiran manusia dalam menghadapi ancaman supranatural.

Selain itu, banyak elemen ritual yang digambarkan dalam puisi ini memiliki simbolisme yang saya suka. Misalnya, " samar-samar doa mantra pendeta//khusyuk memohon dewata di sorga “ melambangkan kesucian dan "ajimat kuat penghalau roh jahat" sebagai perlindungan spiritual. Saya menilai, kadar mistis puisi ini sangatlah kuat.

Pada detailnya, puisi bertajuk Sanghyang ini bisa dilihat sebagai seruan untuk pelestarian tradisi spiritual di tengah tantangan perkembangan zaman. Frasa seperti "memohon lindungan Hyang Kuasa" dan “peruwat duka nestapa jagat”, menarik untuk disimak.

Frasa ini menunjukkan pentingnya kepercayaan dan spiritualitas dalam menghadapi tantangan era modern. Pada sisi lain, beberapa penggemar tari menilai, manakala menikmati tari Sanghyang Dedari – lantas teringat tari Legong Kraton. Entah ada hubungannya atau tak.

Begitulah indahnya seni tari di Bali. Seorang pengamat Budaya menuturkan - ada kesan bahwa meskipun karya tari Bali terkesan abstrak, nir kata-kata – namun ada ‘narasi’. Esensinya adalah puisi.

Menurutnya, menikmati tari Bali, sama dengan menikmati puisi.  Pemikiran ini penting untuk memahami perwujudan dalam tari. Puisi adalah cara untuk memfasilitasi transformasi atau alih wahana tersebut.

Sehubungan dengan ‘narasi’  pada seni tari Bali, maka saya memberanikan diri menempatkan tari Bali sebagai puisi. Jadi, sangatlah menarik manakala Prof. Dibia melakukan alih wahana dari seni tari (seni pertunjukan) ke puisi.

Mengapa ? sebab tari juga merupakan daya ungkap ‘narasi’ yang terhimpun dari  aksara badani’, yakni ; ‘Mudra’ dan ‘Dasa Aksara’. Tentu, untuk menyuguhkan keindahan ‘narasi’ yang enak ditonton, diperlukan kekayaan  ‘kosa gerak’ yang indah dan brilian.

Mengapa saya menyamakan Tari dan Puisi? Sebab, keduanya sama-sama wahana dalam menyampaikan gagasan, imajinasi, intelektualitas, dan daya estetika. Seperti kita ketahui, kalau puisi bisa kita pahami secara tekstual.

Sementara itu, seni tari bisa kita pahami narasi nya secara visual, melalui ‘kosa gerak’ yang terhimpun dari ‘Aksara Badani’. Tubuhlah wahana ‘berbahasa’ dalam seni tari. Keduanya sama-sama wahana menyampaikan ekspresi dan produk pemikiran. Hanya ‘media’ penyampaiannya yang berbeda.

Begitulah sekilas ulasan saya pada antologi puisi Kumpicak karya Prof. Dibia ini. Alih Wahana dari seni tari ke puisi sangatlah menarik. Sebab, Prof. Dibia memang pakarnya dalam soal seni tari. Tentu, banyak pengetahuan tentang seni tari yang bisa kita petik dari buku ini.

Sebagai penutup, ada baiknya saya petik puisi Prof. Dibia yang bertajuk : Body Tjak //Ritme music badan dan kecak//nada-nada suara Barat dan Timur//diramu, diadu, dan dipadu mesra//gerak tari Bali dan modern Amerika//dipadukan dengan rasa penuh cinta//kemuliaan keduanya dijaga//…

(Dari berbagai sumber.)



 

Berbagi Artikel