Seminar Internasional Peking University: Wariga dan Pluralisme

Rabu, 15 Oktober 2025 : 17:01

Putu Suasta dikenal luas sebagai budayawan dan aktivis sosial yang lintas disiplin dan lintas dunia. Alumni Universitas Gadjah Mada dan Cornell University, New York ini telah lama terlibat dalam berbagai gerakan kemanusiaan, riset budaya, dan diskursus pembangunan berkelanjutan. Ia pernah menjelajah dari Amerika hingga Antartika, menapaki Asia Tengah hingga India, serta melakukan ziarah spiritual Camino de Santiago di Spanyol dan Portugal—bukan sekali, tetapi dua kali, terakhir menempuh 200 kilometer dari Bilbao hingga Santiago pada tahun 2024.

Dalam lawatannya kali ini ke Republik Rakyat Tiongkok (11 -18 Oktober 2025), Putu Suasta bersama Dr. Wayan Sayoga menghadiri Seminar Internasional LSM dan Kebudayaan di Peking University, dengan tema besar “Pluralisme Budaya dan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan”. Di sela kegiatan ilmiah, keduanya melakukan kunjungan budaya ke Temple of Heaven dan Tembok Besar Tiongkok—dua situs warisan dunia yang menjadi simbol peradaban panjang manusia.

Wawancara berikut memotret pandangan Putu Suasta tentang refleksi peradaban, spiritualitas lintas agama, dan pentingnya menjaga kearifan lokal seperti Wariga sebagai pengetahuan luhur Nusantara yang memiliki nilai universal.

Bli Putu, kunjungan Anda ke Beijing kali ini dalam rangka seminar internasional tentang pluralisme kebudayaan. Apa yang menjadi refleksi utama Anda setelah berdialog dengan para budayawan dan pemerhati pariwisata dari berbagai negara Asia?

Saya melihat bahwa pluralisme adalah fondasi peradaban. Bangsa-bangsa besar di dunia ini tumbuh karena mampu mengelola perbedaan, bukan menyingkirkannya. Peking University mengundang kami berdiskusi tentang bagaimana pariwisata, yang kini menjadi salah satu penggerak utama ekonomi global, harus terpanggil menjadi ruang untuk memperkuat pluralisme, bukan malah mengikisnya.

Saya menyampaikan bahwa pembangunan pariwisata tidak boleh merusak kekayaan budaya dan lingkungan. Kita harus belajar dari bangsa-bangsa yang terlalu cepat membangun, tetapi kehilangan jiwa peradaban mereka. Pluralisme bukan hanya nilai sosial, melainkan juga energi spiritual yang menjaga kehidupan agar tetap berimbang dan beradab.

Dalam refleksi Anda, bagaimana pengalaman melihat situs sejarah besar Tiongkok, seperti Temple of Heaven dan Tembok Besar, memperkaya pemahaman tentang hubungan antara budaya, waktu, dan peradaban?

Berjalan di antara tembok dan menara pengawas Tiongkok yang dibangun hampir dua ribu tahun, saya merasakan bagaimana suatu bangsa memelihara ingatan kolektifnya. Setiap batu di Tembok Besar adalah lambang tekad kolektif. Temple of Heaven, di sisi lain, mengajarkan keseimbangan kosmos antara bumi dan langit, manusia dan alam.

Dua situs ini memperlihatkan bahwa peradaban besar bukan dibangun dalam waktu singkat, melainkan hasil dari spiritualitas yang dihayati bersama. Saya jadi teringat pada Wariga, warisan leluhur Bali—pengetahuan yang berupaya membaca harmoni antara waktu, ruang, dan tindakan manusia. Wariga adalah “local wisdom” yang bernilai universal, sama seperti konsep keseimbangan yang kita temukan di Tiongkok, India, maupun Yunani kuno.

Menarik bahwa Bli mengaitkan Wariga  dengan pluralisme dan peradaban global. Bisa dijelaskan lebih jauh, apa makna Wariga bagi Anda sebagai budayawan Bali?

Wariga itu sejatinya bukan sekadar sistem penanggalan, melainkan ilmu tentang keteraturan kosmos. Ia memuat ajaran tentang keseimbangan alam, irama waktu, dan harmoni antar unsur kehidupan. Jika dibaca secara mendalam, Wariga adalah filsafat ekologis yang menyatukan ilmu astronomi, etika, dan spiritualitas.

Saya melihat Wariga sebagai bukti bahwa leluhur Nusantara sudah memiliki sistem berpikir kosmik yang sangat maju. Ia sejajar dengan kebijaksanaan Timur lain seperti I Ching di Tiongkok atau kalender Maya di Amerika Tengah. Maka ketika saya berbicara tentang pariwisata berkelanjutan, saya selalu berpijak pada pemahaman bahwa kita tidak hanya menjual keindahan alam, tetapi juga mewariskan tatanan nilai dan pengetahuan yang menjaga keseimbangan bumi.

Kita tahu bahwa Bli juga seorang peziarah lintas bangsa yang menempuh Camino de Santiago. Bagaimana pengalaman spiritual di Eropa itu berhubungan dengan gagasan Anda tentang pluralisme dan peradaban?

Camino de Santiago adalah perjalanan spiritual yang universal. Walau berakar dalam tradisi Katolik, para peziarahnya datang dari berbagai agama dan bangsa. Di sana saya menyaksikan bagaimana manusia, dari latar budaya berbeda, bisa berjalan bersama dalam sunyi, menempuh ribuan langkah dengan tujuan yang sama: menemukan makna.

Dalam perjalanan itu, saya menemukan kesamaan dengan tradisi Bali Tirta Yatra. Di keduanya, ziarah adalah jalan penyucian diri—lahir dan batin. Tidak ada sekat agama di antara para peziarah; yang ada hanya rasa saling memahami. Itulah pluralisme sejati: bukan teori sosial, melainkan pengalaman spiritual langsung tentang kesetaraan manusia di hadapan alam dan Tuhan.

Apa yang paling berkesan dari ziarah Anda itu, terutama saat menempuh ratusan kilometer di usia yang tidak muda lagi?

Setiap langkah adalah doa. Saya belajar tentang ketekunan dan kesabaran. Bayangkan, berjalan di tengah hujan, melewati lembah dan gunung selama berhari-hari. Kadang tubuh letih, tapi hati penuh syukur. Di situ saya menyadari bahwa kekuatan sejati manusia bukan pada ototnya, tapi pada batinnya.

Pengalaman itu juga mempertemukan saya dengan peziarah lain dari seluruh dunia. Kami berbagi makanan, tawa, kisah hidup. Tidak ada perbedaan warna kulit atau keyakinan. Hanya rasa persaudaraan manusia yang tumbuh dari kebersamaan dalam langkah-langkah kecil yang sederhana tapi tulus.

Apakah pengalaman lintas budaya dan lintas spiritual itu memberi pelajaran untuk kehidupan masyarakat Bali dan Indonesia kini?

Sangat banyak. Saya kira Indonesia, dan Bali khususnya, mesti belajar dari pengalaman universal tentang bagaimana menjaga akar sambil membuka diri. Kita memiliki warisan besar, dari Tri Hita Karana hingga Wariga, yang semuanya mengajarkan keseimbangan. Tapi warisan itu akan kehilangan makna bila tidak diterapkan dalam kehidupan modern.

Kita bisa membangun pariwisata modern, tapi harus tetap berakar pada nilai-nilai adiluhung. Jangan sampai “kemajuan” membuat kita tercerabut dari spiritualitas dan etika lingkungan yang menjadi kekuatan utama Bali. Peradaban itu bukan sekadar infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur batin.

Jika disarikan, apa pesan utama dari seluruh perjalanan lintas bangsa dan lintas masa yang Anda tempuh selama ini?

Bahwa manusia sejatinya adalah peziarah di semesta ini. Setiap perjalanan, baik di dunia luar maupun di dalam diri, adalah proses pembelajaran menuju keseimbangan. Saya belajar dari Tembok Besar Tiongkok, dari Camino de Santiago, dari gunung-gunung di Himalaya, bahkan dari kampung-kampung kecil di Bali — semuanya mengajarkan hal yang sama:

Bahwa peradaban tumbuh karena manusia mampu mendengar bisikan alam dan menghargai kebersamaan. Dan pluralisme bukan sekadar konsep, melainkan sikap hidup — cara kita memandang dunia dengan rasa hormat, welas asih, dan tanggung jawab.

Akhirnya, bagaimana Bli melihat masa depan Bali dan Indonesia dalam konteks kebudayaan global?

Saya optimistis. Bali dan Indonesia punya potensi besar sebagai pusat kebudayaan spiritual dunia, asalkan kita mampu menjaga harmoni antara modernitas dan tradisi. Warisan leluhur seperti Wariga, Tri Hita Karana, dan kearifan hidup gotong royong adalah modal besar untuk berkontribusi bagi dunia.

Namun kita juga harus berani melakukan introspeksi. Jangan sampai pariwisata dan ekonomi kreatif membuat kita lupa pada akar peradaban. Tugas generasi kita adalah menjembatani yang lama dan yang baru, agar semesta tetap seimbang dan manusia tetap memiliki arah di tengah perubahan yang cepat ini.

Bli Putu, kunjungan Anda ke Beijing kali ini dalam rangka seminar internasional tentang pluralisme kebudayaan. Apa yang menjadi refleksi utama Anda setelah berdialog dengan para budayawan dan pemerhati pariwisata dari berbagai negara Asia?

Saya melihat bahwa pluralisme adalah fondasi peradaban. Bangsa-bangsa besar di dunia ini tumbuh karena mampu mengelola perbedaan, bukan menyingkirkannya. Di Peking University, kami berdiskusi tentang bagaimana pariwisata, yang kini menjadi salah satu penggerak utama ekonomi global, justru harus menjadi ruang untuk memperkuat pluralisme itu, bukan malah mengikisnya.

Saya menyampaikan bahwa pembangunan pariwisata tidak boleh merusak kekayaan budaya dan lingkungan. Kita harus belajar dari bangsa-bangsa yang terlalu cepat membangun, tetapi kehilangan jiwa peradaban mereka. Pluralisme bukan hanya nilai sosial, melainkan juga energi spiritual yang menjaga kehidupan agar tetap berimbang dan beradab.

Dalam refleksi Anda, bagaimana pengalaman melihat situs sejarah besar Tiongkok, seperti Temple of Heaven dan Tembok Besar, memperkaya pemahaman tentang hubungan antara budaya, waktu, dan peradaban?

Berjalan di antara tembok dan menara pengawas Tiongkok yang dibangun hampir dua ribu tahun, saya merasakan bagaimana suatu bangsa memelihara ingatan kolektifnya. Setiap batu di Tembok Besar adalah lambang tekad kolektif. Temple of Heaven, di sisi lain, mengajarkan keseimbangan kosmos antara bumi dan langit, manusia dan alam.

Dua situs ini memperlihatkan bahwa peradaban besar bukan dibangun dalam waktu singkat, melainkan hasil dari spiritualitas yang dihayati bersama. Saya jadi teringat pada Wariga leluhur Bali—warisan pengetahuan yang berupaya membaca harmoni antara waktu, ruang, dan tindakan manusia. Wariga adalah “local wisdom” yang bernilai universal, sama seperti konsep keseimbangan yang kita temukan di Tiongkok, India, maupun Yunani kuno.

Menarik bahwa Bli mengaitkan Wariga dengan pluralisme dan peradaban global. Bisa dijelaskan lebih jauh, apa makna Wariga bagi Anda sebagai budayawan Bali?

Wariga itu sejatinya bukan sekadar sistem penanggalan, melainkan ilmu tentang keteraturan kosmos. Ia memuat ajaran tentang keseimbangan alam, irama waktu, dan harmoni antar unsur kehidupan. Jika dibaca secara mendalam, Wariga adalah filsafat ekologis yang menyatukan ilmu astronomi, etika, dan spiritualitas.

Saya melihat Wariga sebagai bukti bahwa leluhur Nusantara sudah memiliki sistem berpikir kosmik yang sangat maju. Ia sejajar dengan kebijaksanaan Timur lain seperti I Ching di Tiongkok atau kalender Maya di Amerika Tengah. Maka ketika saya berbicara tentang pariwisata berkelanjutan, saya selalu berpijak pada pemahaman bahwa kita tidak hanya menjual keindahan alam, tetapi juga mewariskan tatanan nilai dan pengetahuan yang menjaga keseimbangan bumi.

Kita tahu bahwa Bli juga seorang peziarah lintas bangsa yang menempuh Camino de Santiago. Bagaimana pengalaman spiritual di Eropa itu berhubungan dengan gagasan Anda tentang pluralisme dan peradaban?

Camino de Santiago adalah perjalanan spiritual yang universal. Walau berakar dalam tradisi Katolik, para peziarahnya datang dari berbagai agama dan bangsa. Di sana saya menyaksikan bagaimana manusia, dari latar budaya berbeda, bisa berjalan bersama dalam sunyi, menempuh ribuan langkah dengan tujuan yang sama: menemukan makna.

Dalam perjalanan itu, saya menemukan kesamaan dengan tradisi Bali Tirta Yatra. Di keduanya, ziarah adalah jalan penyucian diri—lahir dan batin. Tidak ada sekat agama di antara para peziarah; yang ada hanya rasa saling memahami. Itulah pluralisme sejati: bukan teori sosial, melainkan pengalaman spiritual langsung tentang kesetaraan manusia di hadapan alam dan Tuhan.

Apa yang paling berkesan dari ziarah Anda itu, terutama saat menempuh ratusan kilometer di usia yang tidak muda lagi?

Setiap langkah adalah doa. Saya belajar tentang ketekunan dan kesabaran. Bayangkan, berjalan di tengah hujan, melewati lembah dan gunung selama berhari-hari. Kadang tubuh letih, tapi hati penuh syukur. Di situ saya menyadari bahwa kekuatan sejati manusia bukan pada ototnya, tapi pada batinnya.

Pengalaman itu juga mempertemukan saya dengan peziarah lain dari seluruh dunia. Kami berbagi makanan, tawa, kisah hidup. Tidak ada perbedaan warna kulit atau keyakinan. Hanya rasa persaudaraan manusia yang tumbuh dari kebersamaan dalam langkah-langkah kecil yang sederhana tapi tulus.

Apakah pengalaman lintas budaya dan lintas spiritual itu memberi pelajaran untuk kehidupan masyarakat Bali dan Indonesia kini?

Sangat banyak. Saya kira Indonesia, dan Bali khususnya, mesti belajar dari pengalaman universal tentang bagaimana menjaga akar sambil membuka diri. Kita memiliki warisan besar, dari Tri Hita Karana hingga Wariga, yang semuanya mengajarkan keseimbangan. Tapi warisan itu akan kehilangan makna bila tidak diterapkan dalam kehidupan modern.

Kita bisa membangun pariwisata modern, tapi harus tetap berakar pada nilai-nilai adiluhung. Jangan sampai “kemajuan” membuat kita tercerabut dari spiritualitas dan etika lingkungan yang menjadi kekuatan utama Bali. Peradaban itu bukan sekadar infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur batin.

Jika disarikan, apa pesan utama dari seluruh perjalanan lintas bangsa dan lintas masa yang Anda tempuh selama ini?

Bahwa manusia sejatinya adalah peziarah di semesta ini. Setiap perjalanan, baik di dunia luar maupun di dalam diri, adalah proses pembelajaran menuju keseimbangan. Saya belajar dari Tembok Besar Tiongkok, dari Camino de Santiago, dari gunung-gunung di Himalaya, bahkan dari kampung-kampung kecil di Bali — semuanya mengajarkan hal yang sama:

Bahwa peradaban tumbuh karena manusia mampu mendengar bisikan alam dan menghargai kebersamaan. Dan pluralisme bukan sekadar konsep, melainkan sikap hidup — cara kita memandang dunia dengan rasa hormat, welas asih, dan tanggung jawab.

Akhirnya, bagaimana Bli melihat masa depan Bali dan Indonesia dalam konteks kebudayaan global?

Saya optimistis. Bali dan Indonesia punya potensi besar sebagai pusat kebudayaan spiritual dunia, asalkan kita mampu menjaga harmoni antara modernitas dan tradisi. Warisan leluhur seperti Wariga, Tri Hita Karana, dan kearifan hidup gotong royong adalah modal besar untuk berkontribusi bagi dunia.

Namun kita juga harus berani melakukan introspeksi. Jangan sampai pariwisata dan ekonomi kreatif membuat kita lupa pada akar peradaban. Tugas generasi kita adalah menjembatani yang lama dan yang baru, agar semesta tetap seimbang dan manusia tetap memiliki arah di tengah perubahan yang cepat ini. (ws)

Berbagi Artikel