Sebuah Percakapan dengan Putu Suasta
oleh Dian Dewi Reich
Ketika Putu Suasta berbicara, kisah-kisah mengalir seperti sungai — masing-masing membawa arah, pengalaman, dan maknanya sendiri. Hidupnya adalah perjalanan panjang dan berliku: politik, seni, aktivisme, dan pencarian tanpa akhir tentang apa artinya menjadi manusia.
Dalam suaranya, selalu ada denyut seseorang yang terus belajar dari setiap gerak kehidupan di sekitarnya. “Artikel-artikel yang saya tulis belakangan ini akhirnya menjadi sebuah buku,” katanya santai.
“Tujuh puluh tulisan dikumpulkan dalam satu volume. Buku berikutnya akan lebih ringan, mungkin bahkan lucu — pengalaman yang berbeda. Setiap kali saya bertemu seseorang, selalu ada hal untuk dicatat. Saya tulis, saya buat semacam skenario, dan jadilah sebuah artikel. Selalu ada cerita.”
Bagi Suasta, pertemuan bukan sekadar sosial; itu adalah proses kreatif dan spiritual. “Itu eksplorasi,” ujarnya. “Begitulah cara kita menemukan kekayaan perspektif — sesuatu yang tidak bisa didapat hanya dari buku.”
Karya terdahulunya, Bali Dalam Transisi (Bali within Transition), menelusuri pertanyaan-pertanyaan yang sama melalui lanskap budaya, politik, dan identitas yang terus bergeser — bagaimana Bali dan masyarakatnya berevolusi sambil tetap berakar pada spiritualitasnya. Ketiga bukunya, termasuk Bali Dalam Transisi, Wariga Cermin Kehidupan, dan karya terbarunya Kata Kata Kehidupan, diterbitkan oleh Udayana University Press.
Menulis Sebagai Warisan
Ia tertawa mengingat bagaimana hidup selalu membawanya ke wilayah-wilayah yang tak terduga. “Akhir-akhir ini saya jadi semacam spesialis obituari,” katanya sambil tersenyum. “Saya sudah menulis lebih dari sembilan. Mungkin karena faktor usia.”
Namun bagi Suasta, obituari bukan sekadar berita kematian — melainkan potret kehidupan. “Saya mulai dari hal-hal progresif yang telah dicapai seseorang,” jelasnya. “Bagaimana mungkin mereka pergi secepat itu? Dunia membutuhkan orang-orang seperti mereka. Mereka memanggil saya spesialis, tapi sebenarnya, obituari itu harus dicetak dan dibaca. Bukan bunga yang penting — tapi tulisan. Warisan yang mereka tinggalkan. Itulah yang membutuhkan kata. Itulah yang bermakna.”
Akar Seni dan Gerakan
“Kami dulu tulang punggung seni,” kenangnya. “Saya sering frustrasi dengan para seniman — mereka seharusnya saling mendukung. Saya sebenarnya tidak punya urusan dengan lukisan. Seni tidak membuat saya hebat. Saya seorang politisi. Tapi saya bertemu para tokoh besar — pekerjaan saya mempertemukan saya dengan keagungan — seperti Affandi, Abdullah, Goenawan.”
Suaranya hangat oleh kenangan.
“Waktu itu, semangat revolusi kebudayaan adalah seni dan perdamaian. Kami menciptakan gerakan untuk mendukung penelitian AIDS. Wianta menyumbangkan empat puluh lukisan — ia punya gagasan dan tindakan, karya konseptual.” Suasta tertawa mengenang energi liar dan kreatif dari masa itu.
“Nyoman Erawan membuat panggung dua puluh meter, lukisan lima puluh meter — skalanya gila! Saya suka itu. Ruatan bumi — ia menanam padi di atas sungai di Art Centre. Luar biasa. Tanpa otoritas, tanpa bobot politik yang signifikan, itu tak akan terjadi. Mereka tidak ingin berdebat dengan saya — jadi mereka beri saya apa yang saya mau, termasuk Art Centre.”
Bagi Suasta, seni dan politik tak terpisahkan — keduanya saling menghidupkan. “Seni adalah gerakan,” katanya. Ia menyamakan garis pada kanvas dengan perjuangan bertahan hidup di dunia politik. “Ada perjuangan dalam setiap garis — keyakinan, pendirian. Seni harus bersatu dengan intelektualitas. Seni, politik, lingkungan hidup, dan keadilan sosial — semuanya adalah gerakan.”
Dan dengan empati yang lahir dari dunia seni, ia menegaskan, “Saya mencintai seni; seni menjadi dunia aktivisme bagi saya.”
Politik, Alam, dan Empati
Ketika Suasta berbicara tentang politik, kata-katanya tidak pernah kering atau teknis — selalu kembali pada alam dan ritmenya.
“Politik berarti demokrasi, keterbukaan, representasi, transparansi,” katanya. “Agar orang tidak menjadi arogan. Ini soal praktik etika. Saya mendirikan banyak LSM. Jaringan saya luas. Banyak orang yang tertolong — mereka yang menghadapi ketidakadilan. Mungkin saya tidak sering ke pura, tapi inilah cara saya berdoa.”
Bagi Suasta, politik bukan soal posisi — melainkan tentang empati dan proses menjadi manusia yang lebih peka. “Perjuangan dan pengorbanan — itu jalan menuju damai,” ujarnya. “Kalau hanya diam di rumah, tidak bergerak, nanti kena diabetes atau GERD,” katanya sambil tertawa. “Kamu harus bergerak.”
Dan seperti biasa, ia beralih ke analogi — pelajaran naluriah yang lahir dari kehidupan. “Kamu bisa belajar politik dari menonton National Geographic,” katanya. “Lihat kerbau atau bison — kalau anaknya terlalu lambat, ia dimakan. Itu siklus bertahan hidup. Alam sudah mengajarkan: saat lahir, kamu harus bisa berlari. Kamu harus tumbuh. Saat musim berganti, suhu berubah — sesuatu terbangun.”
Ia berhenti sejenak, menatap jauh. “Sama halnya dengan sungai. Ada ikan yang membungkus dirinya dalam lumpur dan tidur selama enam bulan, lalu hidup kembali saat waktunya tiba. Kita harus beradaptasi, mengalir mengikuti irama alam. Dalam politik pun sama — kita harus lentur, mengikuti musim kehidupan. Kita tidak bisa mengubah siapa diri kita, tapi kita bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan. Itulah guru terbesar kita.”
“Bahkan hewan pun punya empati,” tambahnya lembut. “Anomali terjadi di alam. Keajaiban juga.”
Ritme Baru Bali
Suasta melihat Bali sebagai organisme hidup — terus menyesuaikan diri, menyeimbangkan tradisi dan kehidupan modern.
“Orang Bali sekarang lebih terbuka dan efisien,” katanya. “Dulu, upacara Odalan bisa berlangsung dari malam hingga pagi, lalu malam lagi. Sekarang banyak orang bekerja, jadi ritualnya dipadatkan. Keluarga menyesuaikan agar bisa menyeimbangkan dua tanggung jawab.”
Namun bagi Suasta, perubahan bukanlah kehilangan. “Sekarang di pura, orang berdiskusi — tentang keluarga, leluhur, makna,” jelasnya. “Agama di Bali menjadi lebih intelektual, lebih kolaboratif. Dulu satu orang yang mengurus Odalan, sekarang dikerjakan bersama. Ada lebih banyak kerja sama. Ekonomi agraris dulu stabil — sekarang lebih dinamis. Orang bepergian lebih jauh. Ibu saya pergi ke India dan Tiongkok.
Perjalanan-perjalanan itu memberi warna baru bagi Bali — membuka dialektika.”
Dalam refleksi budayanya — termasuk dalam Wariga Cermin Kehidupan, karyanya yang menafsirkan sistem kosmologis Bali sebagai cermin kehidupan sehari-hari — Suasta menunjukkan bagaimana tradisi dan transformasi dapat berdialog, saling menerangi satu sama lain.
Keluarga di Pusat Kehidupan
Di tengah kehidupan publiknya — seni, politik, kerja sosial — Suasta selalu kembali pada yang paling pribadi: keluarga.
“Saya senang bersama keluarga,” katanya lembut. “Sebagai anak sulung, saya bertanggung jawab atas adik-adik saya. Kalau mereka bahagia, saya bahagia. Setelah ayah meninggal, saya kirim ibu dan adik perempuan saya ke India dan Tiongkok. Keluarga harus kuat dan gembira. Sekarang hanya ibu yang masih bersama kami — itu sebabnya saya tinggal di Bali, untuk fokus pada kesejahteraan mereka.”
Bagi Suasta, memberi adalah keterampilan. “Memberi itu perlu dilatih,” katanya. “Banyak orang punya uang tapi tidak terlatih untuk memberi. Saat kamu berbuat baik, kamu menanam benih. Dengan restu orang tua, cahaya bisa menembus kegelapan.”
Berjalan Bersama Sejarah
Kemudian, Suasta merenungkan apa yang ia sebut “politik internal” — upaya membangun harmoni dalam keluarga. “Untuk membuat istri saya lebih bahagia,” katanya sambil tersenyum, “saya bereskan dulu urusan keluarganya. Politik keluarga harus selaras dengan cara yang baik.”
Setelah bertahun-tahun aktivisme, perjalanan, dan bahkan ziarah di Camino de Santiago, Suasta kini mencari kedamaian. “Saya mundur dari empat perusahaan. Saya tidak ingin berurusan dengan urusan bisnis yang rumit lagi. Saya ingin hidup dan menulis dengan tenang.”
Ia tersenyum lagi — antara humor dan kebijaksanaan. “Ketika saya berjalan, saya berjalan bersama sejarah. Banyak orang berjalan bersama saya. Mereka tidak hanya melihat saya — mereka melihat sejarah di belakang saya.”
Kata untuk Kehidupan
Kini langkahnya menuju bab baru — menulis dengan lebih ringan, namun tanpa kehilangan ketajaman. Dalam buku terbarunya Kata Kata Kehidupan, Suasta berbagi hal-hal yang belum pernah ia ungkapkan sebelumnya: tentang keluarga, hubungan, pekerjaan, dan hari-hari biasa yang membentuk kehidupan.
“Saya menulis dengan lebih santai sekarang,” katanya. “Tapi bukan berarti saya berhenti menggigit. Saya tetap bicara jujur — tentang kehidupan. Hidup bukan teori — tapi praktik, setiap hari.”
Kata Kata Kehidupan bukan kumpulan renungan lembut. Ia adalah percikan dari perjalanan panjang seorang pemikir yang telah melihat dunia dari berbagai sisi — dan kini memilih berbicara dari pusat dirinya sendiri.
Pengalaman yang dibagikan adalah warisan monumental Putu Suasta — sebuah gerakan yang terus bergerak, terus memberi. Pada akhirnya, apa yang diwujudkan Suasta bukan sekadar seniman, politisi, atau penulis — tetapi seorang pencari. Ia percaya bahwa gerakan — pikiran, kasih, dan kebudayaan — adalah yang membuat hidup tetap hidup.
Dan dalam kata- katanya, kita mendengar irama yang tak terputus antara yang pribadi dan kolektif, duniawi dan sakral. “Kita semua sedang menjelajah,” katanya. “Kita semua bagian dari gerakan.”
Berbagi Artikel
