Simbol yang Sunyi: Antara Matematika, Algoritma, dan Puisi

Jumat, 26 Desember 2025 : 08:02
Ilustrasi dibuat dengan AI

oleh: Riri Satria

Ada satu kesadaran yang pelan-pelan tumbuh dalam diri saya, sering kali tanpa saya rencanakan: bahwa persamaan matematika, algoritma dan computer code, serta puisi, sesungguhnya berbagi satu hakikat yang sama. Ketiganya adalah upaya manusia untuk menjinakkan sesuatu yang kompleks, luas, dan sering kali tak terkatakan, ke dalam rangkaian simbol yang tampak sederhana di atas kertas atau layar.

Pada pandangan pertama, ketiganya seperti berasal dari dunia yang sama sekali berbeda. Matematika diasosiasikan dengan ketepatan dan objektivitas, algoritma dengan logika dan efisiensi, sementara puisi dianggap wilayah rasa, ambiguitas, dan subjektivitas. Namun semakin lama saya berinteraksi dengan ketiganya, semakin kabur batas itu, di mana yang tersisa justru satu kesamaan mendasar: ketiganya adalah bahasa pemampatan (compression).

Sebuah persamaan matematika, misalnya persamaan diferensial sederhana dapat merangkum perilaku sistem fisik yang sangat kompleks: gerak planet, aliran fluida, atau dinamika populasi. Di balik simbol-simbol ringkas itu tersembunyi dunia yang kaya dan berlapis. Ini dikenal sebagai “the unreasonable effectiveness of mathematics in the natural sciences” di mana keajaiban simbol abstrak mampu menangkap struktur realitas dengan presisi yang nyaris tinggi.

Hal serupa terjadi pada algoritma dan computer code. Sepotong kode yang terlihat singkat bisa mengatur jutaan interaksi seperti rekomendasi yang kita lihat, jaringan yang kita gunakan, bahkan keputusan-keputusan penting dalam hidup modern. Pemrograman pada hakekatnya sebuah praktik yang tidak hanya soal membuat mesin bekerja, tetapi tentang menulis teks yang dapat dipahami manusia (setidaknya sesama programmer). Dalam pengertian ini, kode bukan sekadar instruksi teknis, melainkan juganarasi logis tentang bagaimana suatu dunia kecil seharusnya berjalan.

Dan di sinilah puisi masuk, bukan sebagai pengecualian, melainkan sebagai saudara dekat. Sebuah puisi pendek, dengan pilihan kata yang hemat yang dikenal dengan istilah "The economics of words" , mampu menyimpan emosi, pengalaman, dan konflik batin yang tidak mungkin dijelaskan secara panjang lebar tanpa kehilangan daya. 

Puisi, seperti persamaan dan kode, tidak menjelaskan segalanya, melainkan menunjuk, menyiratkan, dan mengandalkan kecerdasan pembaca untuk membuka lapisan maknanya.

Saya mulai melihat bahwa ketiganya bekerja dengan prinsip yang sama yaitu abstraksi. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, abstraksi bukanlah penyederhanaan yang dangkal, melainkan pemilihan struktur yang esensial. Peradaban maju karena kemampuannya menciptakan abstraksi yang tepat, bukan karena menghindari kompleksitas. Persamaan, algoritma, dan puisi sama-sama berani meninggalkan detail permukaan demi menangkap pola yang lebih dalam.

Namun ada kesamaan lain yang lebih halus, dan mungkin lebih manusiawi di mana ketiganya menuntut disiplin sekaligus kepekaan. Menulis persamaan yang baik membutuhkan intuisi, sama seperti menulis puisi yang jujur membutuhkan struktur. Kode yang elegan sering kali terasa “indah” bagi mereka yang memahaminya bukan karena ia sentimental, tetapi karena ia tepat, bersih, dan tidak berlebihan. 

Pada titik ini, batas antara sains dan seni terasa semakin artifisial. Ini bagaikan menyatukan jurang antara “dua kebudayaan” yaitu sains dan humaniora, yang sering dianggap saling tidak memahami. Tetapi pengalaman personal saya justru menunjukkan bahwa jembatan di antara keduanya selalu ada, dan sering kali dibangun dari simbol-simbol sunyi yang kita tulis.

Mungkin yang membedakan ketiganya bukanlah hakikatnya, melainkan cara kita membacanya. Persamaan dibaca dengan logika, kode dengan eksekusi, puisi dengan perasaan. Namun semuanya menuntut satu sikap yang sama yaitu kesediaan untuk berhenti sejenak, membaca dengan cermat, dan menerima bahwa makna tidak selalu hadir di permukaan.

Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa manusia dalam berbagai bidang selalu melakukan hal yang sama berusaha memahami dunia yang terlalu besar untuk digenggam langsung. Persamaan matematika, algoritma, dan puisi adalah cara-cara kita mengatakan, dengan rendah hati bahwa inilah upaya manusia merangkum semesta, meski kami tahu ia tak pernah sepenuhnya muat dalam simbol.

Dan mungkin, justru di situlah keindahannya. Kompleksitas yang sederhana!

(Desember 2025)


Riri Satria lahir di Padang, 14 Mei 1970, adalah Ketua Jagat Sastra Milenia. Puisinya telah diterbitkan dalam buku kumpulan puisi tunggal: “Jendela” (2016), “Winter in Paris” (2017), “Siluet, Senja, dan Jingga” (2019), “Metaverse” (2022), “Algoritma Kesunyian” (2023, bersama penyair Emi Suy), “Login Haramain” (2025), serta lebih dari 80 buku kumpulan puisi bersama. Riri juga menulis esai dan telah diterbitkan dalam beberapa buku: “Untuk Eksekutif Muda” (2003), trilogi “Proposisi Teman Ngopi” (2021) yang terdiri tiga buku “Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital”, “Pendidikan dan Pengembangan Diri”, dan “Sastra dan Masa Depan Puisi”; serta kumpulan esai sastra “Jelajah” (2022). Saat ini Riri adalah Komisaris Utama PT. ILCS Pelindo Digital, sereta dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia


Berbagi Artikel