Sukma Rupa Wayan Naya di Damping Gallery

Kamis, 09 Januari 2020 : 23:04
SENI RUPA tradisional Bali semakin mengeliat. Kekhawatiran banyak pihak tentang suramnya perkembangan seni lukis jenis ini dipatahkan dengan semakin seringnya digelar pameran dan melibatkan sejumlah seniman dalam pameran besar biennale seni rupa tradisional Bali. Puncaknya, pada 26 November-5 Desember 2010 silam digelar pameran tunggal karya Wayan Naya bertajuk Sukma Rupa di Damping Gallery, Ubud, Bali.

Pameran tunggal seni rupa tradisional Bali memang sangat jarang dilakukan, karena kebanyakan seniman tidak cukup waktu mengumpulkan karya untuk dipamerkan. Wayan Naya mengatakan sebuah karya minimal diselesaikan dalam waktu tiga pekan. Jika ukuran besar bisa tiga sampai enam bulan. Namun, dengan kemauan dan tekad yang tinggi Naya berhasil mewujudkan keinginan berpameran tunggal dengan bantuan Wayan Sutarma, pemilik galeri.

Wayan Naya lahir di Banjar Kutuh, Petulu, 18 Mei 1972. Ia mulai belajar melukis sejak kelas tiga sekolah dasar di bawah asuhan seniman Mangku Made Bartha. Selain itu, juga dari lingkungan seniman di Banjar Kutuh Kaja, tempat dia tinggal. Keahlian lain Naya adalah melukis desain kimono, kaos, dan perlengkapan pakaian bali.

Naya juga banyak belajar dari karya-karya dari seniman besar seperti I Gusti Nyoman Lempad dan Ida Bagus Made Poleng. Seperti halnya warga Bali pada umumnya, keterlibatannya dalam berbagai kegiaan adat juga menambah khazanah imajinasi dalam karya Naya. Dia terbiasa ngayah (gotong royong) di banjar, membuat wadah (perlengkapan ngaben) maupun terlibat pembuatan ornamen di pura.


Tak heran jika karya Naya banyak menampilkan objek kehidupan sehari-hari orang Bali yang kental dengan ritual agama, mitologi, seni pertunjukan, serta aneka kegiatan lainnya Dia sangat tekun mengamati aktivitas warga di lingkungan desa dan tergerak untuk melukisnya di atas kanvas. Perkembangan zaman pun dia abadikan di kanvas dengan memasukkan ikon-ikon modern.

Naya termasuk salah satu eksponen pelukis tradisional Bali yang tampil pada era 1980-an. Pengamat seni rupa dan kurator Agus Dermawan T memasukkan angkatan ini sebagai generasi Pita Prada (Kreativitas Emas). Sebagai pelukis tradisional yang hidup di era modern Naya memiliki banyak tangan yang mampu dan mau mengerjakan banyak hal dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.

Agus menilai Naya memiliki kekuatan sungging yang rinci dan apik. Selain itu, sensibilitasnya dalam menyusun komposisi, kesadaran atas ruang dan jarak, serta kemampuannya menggarap setiap objek begitu tekun dan teliti. Jadilah karya lukisan Naya memiliki kekuatan pribadi.

Wayan Naya hidup di tengah evolusi seni lukis Ubud yang kaya aliran dan gaya. Sebagai pelukis Wayan Naya tentu mengamati pergulatan seni yang terjadi di lingkungannya yang memberikan stimulasi, komparasi, dan tantangan. Menurut Agus di tengah hutan belantara seni lukis Ubud, lukisan-lukisan Wayan Naya ibarat pohon besar yang batang, cabang, ranting dan daun-daunnya memancarkan sinar terang. Akar-akarnya menjanjikan pertumbuhan.

Membangun Benteng Seni Budaya
Pada 2008 silam sekitar 30 seniman penekun seni lukis tradisi Bali membentuk Sanggar Pudak Bali. Mereka sebagian besar berdomisili di Banjar Kutuh Kaja, Ubud. Kelompok ini berniat menghidupkan aktivitas melukis, berkreativitas, mengembangkan inovasi, memperbanyak pameran, dan tentu saja meningkatkan kesejahteraan masing-masing.

Wayan Sutarma, Pemilik Damping Gallery (Foto: Ema S.)

Adalah Wayan Sutarma, pemilik Damping Gallery yang mengayomi dan mengelola sanggar ini agar bisa mewujudkan keinginan bersama tersebut. Ia mendirikan Damping Gallery, yang diambil dari nama ayahnya, almarhum Made Damping, pada 2006 sebagai panggilan jiwa melanjutkan perjuangan sang ayah untuk melestarikan dan memajukan seni rupa tradisi Bali.

Sutarma kelahiran 19 Mei 1973 ini pernah kuliah di jurusan arsitektur Universitas Udayana. Namun, kesibukannya di berbagai aktivitas seni rupa membuat tugas akhirnya terbengkalai. Kendati begitu, dia tetap mengasah kepekaannya mendesain properti di antaranya galeri dan Kubu Kutuh Villa yang dia kelola. 

Sutarma rutin menyambangi seniman, memberikan dorongan dan memilih karya terbaik untuk dipamerkan, juga untuk diikutikan lelang di dalam maupun luar negeri. Sutarma menjaga hubungan baik dengan seniman maupun kolektor agar tetap memberikan simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Karena kebiasaan mencermati lukisan, membuat dia menjadi salah satu referensi untuk urusan memilih karya berkualitas. Beberapa pameran besar termasuk bienale seni rupa tradisional Bali juga menyertakan koleksi Damping Gallery.

Ke depan, dia menaruh harapan besar agar sanggar bisa melahirkan karya terbaik dan bisa mengembalikan masa keemasan seni lukis tradisi. Untuk pameran tunggal Wayan Naya, Sutarma mengumpulkan 31 karya selama 10 tahun belakangan ini dengan tujuan untuk apresiasi dan tidak dijual. ”Mudah-mudahan pameran ini menginsipirasi dan memotivasi seniman lain untuk menggelar pameran tunggal seni lukis trradisi yang selama ini jarang digelar,” kata Sutarma.(Ema S.)
Berbagi Artikel