Indra Lesmana, Sanggar Musik, dan Taksu Bali

Senin, 20 Januari 2020 : 16:04
MUSISI jazz Indra Lesmana telah lima tahun hijrah ke Bali dan memilih tinggal di Jl. Waribang, tak jauh dari Pantai Sanur. Setiap pagi, dalam tempo 5 menit, dia bisa mencapai pesisir, menikmati debur ombak, dan indahnya matahari terbit.

Di tempat itulah dia merintis sanggar musik untuk menggembleng para pemilik talenta seni.

Ia mengaku sudah lama jatuh cinta kepada Bali, khususnya Sanur, karena merasakan aura yang menenangkan hati ketika berlama-lama di kawasan pantai yang masih kental dengan adat istiadat dan budaya Bali itu.

Ia seakan memeroleh kedamaian jiwa yang tidak bisa dirasakan di tempat lain. Juga, ketika masih tinggal di Jakarta.

Di Pulau Dewata, Indra ingin melanjutkan lembaga pendidikan musik yang telah dirintis begawan jazz, Jack Lesmana, ayahandanya. Sekitar awal 1980-an di Jakarta, ayahnya bermitra dengan seorang pengusaha mendirikan Farabi for Music Jack Lesmana.

Sejumlah musisi yang menjadi alumni di antaranya Dewa Budjana, Aksan Sjuman, Anto Hoed, Riza Arshad, Tohpati, dan Gilang Ramadhan.

Indra ikut membantu ayahnya menjalankan kursus tersebut hingga Jack berpulang pada 1988. Ketika itu, Indra yang baru 21 tahun merasa berat melanjutkan peran sebagai ‘kepala sekolah’ yang memiliki murid cukup banyak.

Kemudian ia mengubah konsep belajar musik yang lebih asyik bernama Indra Lesmana Workshop.

Dalam workshop ini Indra leluasa ‘menjodohkan’ beberapa siswa untuk membuat grup berdasarkan tingkatan kemajuan siswa. Ia juga mudah memindah siswa ke kelompok yang lebih cocok.

“Konsep ini lebih pas bagi calon musisi yang ingin bisa perform ketimbang kelamaan berlajar dalam kelas,” kata Indra.

Program itu kini ia terapkan di Sanggar Musik Indra Lesmana di Bali yang dikelola bersama istrinya, Hon Lesmana dan berkolaborasi dengan sahabatnya, Ida Bagus Gede Sidharta Putra dari Santrian Group yang juga Founder Sanur Village Festival (SVF).

Sanggar ini baru memiliki puluhan siswa untuk kelas gitar, piano, dan vokal yang beberapa di antaranya telah mengikuti resital sebagai ajang ujian pada akhir Juli 2019.

Sanggar ini terus berbenah dengan melengkapi kelas bas dan drum agar para siswa bisa dipasangkan untuk membuat grup. Inilah yang Indra sebut sebagai percepatan, tetapi tetap membekali siswa dengan penguasaan teori, keterampilan, dan wawasan tentang musik.

Siswa juga diajak berinteraksi dengan seni dan budaya Bali atau bahkan berkolaborasi dengan seni tradisi tersebut. Setelah itu, sanggar akan membuka kelas penciptaan agar siswa bisa membuat aransemen hingga membuat lagu sendiri.

“Sanggar ini ingin melahirkan musisi yang siap perform dan berkarya,” kata Indra. Ia pun menyiapkan infrastruktur daring dan aplikasi berbasis android agar peminat dari luar Bali bisa menjadi siswa sanggar.

Ia berharap tahun ini belajar secara online sudah bvisa dimulai. Untuk ujian atau resital Indra berharap dukungan program corporate social responsibility (CSR) untuk mendatangkan guru penguji ke tempat asal siswa. Atau, bisa pula siswa datang ke Bali untuk mengikuti resital sembari berwisata.

Keinginan Indra untuk berbagai pengalaman bermusik juga tercermin dari sejumlah workshop terbuka dengan mendatangkan sejumlah musisi kawakan. Secara berkala ia juga menggelar Mostly Jazz Bali yang juga akan menjadi wahana bagi para siswa untuk unjuk kebolehan.

Konser dan jam session bisa dinikmati di kedai kopi Mostly Jazz Brew di Jl. Danau Tamblingan Sanur sambil menikmati racikan kopi Indra.

Indra Lesmana (Foto: Hon Lesmana)
Pada 2016 lampau telah diawali dengan Sanur Mostly Jazz Festival yang diharapkan menjadi cikal bakal festival jazz pantai yang memiliki daya tawar menghadirkan penikmat musik jazz dan wisatawan.

Puncak festival ini, Indra menyajikan repertoar Surya Sewana yang terinspirasi ritual para pedanda menyongsong terbit mentari.

Ketika itu Indra bersama gitaris Dewa Budjana dan beberapa musisi serta penabuh gamelan bali tampil sebelum subuh hingga terbit matahari. Penontonnya kebanyakan wisatawan asing yang mengaku mendapatkan kejutan dari konser berlatar belakang pantai saat cakrawala mengembang fajar.

Begitulah, Indra mengaku mendapatkan pengayaan spiritual selama tinggal di Bali. Ia merasa lebih dewasa sebagai manusia dengan pemahaman esensi kehidupan yang semakin mendalam melalui pertemuan dengan berbagai tokoh lintas agama.

Taksu atau spirit Bali juga mengalirkan inspirasi, termasuk ketika Gunung Agung meletus. Indra bersama Hon dan tim beberapa kali menyalurkan bantuan ke tenda-tenda pengungsi.

Peristiwa itu seolah membawanya ke pusaran energi dari erupsi gunung yang kemudian melahirkan komposisi untuk Indra Lesmana Project (ILP). Sebagai musisi jazz, Indra enjoy saja memainkan genre musik metal progresif.

Ia menyebut ILP bukan grup band, tetapi sebuah gerakan kemandirian untuk mendorong kreativitas musik.

Keberadaan Indra di Bali juga mewarnai pemanggungan musik di Sanur Village Festival. Ia bertanggung jawab menghadirkan musisi dari luar Bali yang lima tahun belakangan menaikkan standar kualitas musik di panggung utama festival yang kini masuk tahun keempatbelas.

Pada festival 21-25 Agustus 2019 lalu SVF mengangkat tema Dharmaning Gesing atau memuliakan bambu yang dimanifestasikan dengan berbagai perangkat tanaman ini untuk menghias arena.

Pada sesi musik, Indra berkolaborasi dengan grup musik jegog yang menggunakan bahan bambu pimpinan seniman Nyoman Winda.

Sejak mukim di Bali pada November 2014, Indra memang mencurahkan perhatian khusus bagi perkembangan jazz melalui edukasi dan regenerasi, tentu tetap dengan aktivitas manggung, termasuk bersama grup lawasnya, Krakatau.

Ia ingin menyediakan ajang pembelajaran bagi talenta muda dan mempersiapkannya bertarung di belantika musik yang sesungguhnya. (ems)
Berbagi Artikel