Seni Instalasi ‘Transient-Continuous’ Karya Made Djirna Jadi Ikon Pameran Perdana Ubud Art Ground

Senin, 14 Juli 2025 : 19:57

Di tengah lanskap hijau dan keheningan Kedewatan, Ubud, seniman kontemporer Made Djirna menghadirkan sebuah karya instalasi yang bukan hanya menarik, tetapi juga menggelitik kesadaran bertajuk ‘Transient-Continuous (Numpang Lewat–Berkelanjutan).’

Djirna ‘membangun’ perahu dan naga dari bahan-bahan alami seperti kayu, batu, tanah liat, dan serat yang menurutnya menyimpan jejak alam, sejarah, dan ingatan—sekaligus menjadi penanda hubungan manusia dengan lingkungan tempat ia tumbuh.

 Karya ini tidak hanya berdiri sebagai objek seni, melainkan menjadi ruang pengalaman. Perahu yang membawa sejumlah gelondongan kayu menjadi simbol perjalanan, transisi, dan kelahiran kembali—juga menggambarkan manusia yang mengusung beban masa lalu.

Pada bagian lain, terdapat bangunan bertingkat dengan kain Dewata Nawa Sanga warna-warni yang mengilustrasikan masa kini yang terus bertransformasi secara dinamis, sebagaimana Bali yang memimpikan keberlanjutan dengan berpijak pada tradisi yang kuat.

Sementara itu, naga—makhluk mitologis yang dipercaya sebagai pelindung alam semesta—mewakili kekuatan spiritual untuk menyongsong masa depan gemilang yang selalu diimpikan setiap generasi.

Djirna juga menghadirkan instalasi di dalam ruang pamer Gudang Kayu. Karya-karya di luar dan dalam ruang tersebut merupakan refleksi dari buana agung (makrokosmos) dan buana alit (mikrokosmos), yang mencerminkan realitas kosmik Bali bahwa manusia adalah bagian kecil dari semesta, tetapi memiliki kekuatan untuk memengaruhi sekaligus diubah oleh lingkungan sekitarnya.

 “Betapa penting menjaga harmoni dengan alam, menghormati tradisi, menghadapi tantangan masa depan, dan berserah diri kepada Tuhan,” ujar Djirna tentang karyanya, yang juga merupakan pengembangan dari Numpang Lewat di Museum ARMA Ubud.

Menurut Djirna, manusia selalu numpang lewat dalam suatu ruang dan waktu yang menjadi wadah bertumbuh dan berkembang, baik sebagai individu, pasangan, keluarga, kelompok, suku, bangsa, maupun warga dunia.

Karya Djirna ini merupakan bagian dari pameran perdana Ubud Art Ground (UAG) di Batu Kurung Estate, Kedewatan, Ubud yakni sebuah ruang seni dan budaya bertaraf internasional, yang diinisiasi oleh Yayasan Satya Djaya Raya.

 Pameran perdana bertema ‘Parallels: Legacies in Flux’ ini menghadirkan puluhan karya dari 71 seniman dari Bali dan Tiongkok yang mengeksplorasi bagaimana budaya keduanya menavigasi perubahan zaman melalui pendekatan yang menghormati sekaligus merekonstruksi warisan seni rupa.

Pameran telah dibuka pada Jumat, 11 Juli 2025, yang ditandai dengan ‘pengurip-urip’ yakni menorehkan tiga warna tridatu merah, putih, dan hitam di ujung instalasi Made Djirna yang dilakukan di antaranya oleh Wakil Dubes RI di Beijing Parulian George Andreas Silalahi, Penglingsir Puri Agung Ubud Tjokorda Gde Putra Sukawati, Wakil Konjen Tiongkok di Denpasar Zhu Yu, dan pemilik Lyman Group Osbert Lyman.

Kurator Farah Wardani mengatakan pameran yang menampilkan karya dari 51 seniman ini mengangkat dinamika warisan tradisi dan lahirnya seniman muda kontemporer pascapandemi Covid-19, yang menggali kembali akar identitas serta praktik budaya di sekitar mereka.

Seniman-seniman muda tampil sebagai generasi reflektif—tidak hanya mencipta bentuk visual baru, tetapi juga menafsir ulang nilai-nilai tradisi melalui pendekatan kontemporer.

Pameran ini menjadi ruang pertemuan lintas generasi, menghadirkan dialog antara karya para perintis yang telah membentuk wacana seni rupa Indonesia, termasuk mereka yang telah tiada, dengan gelombang baru yang tengah mencari pijakan dalam lanskap seni yang terus mengalir.

Farah secara khusus memilih Djirna, salah satu seniman senior dari Sanggar Dewata Indonesia, sebagai figur sentral dalam pameran ini.

Kata dia Djirna bukan hanya representasi kesinambungan nilai-nilai tradisi dalam seni rupa, tetapi juga sosok perekat antar-generasi yang melalui pencapaian dan konsistensinya berhasil menjembatani eksplorasi budaya Bali dengan ekspresi kontemporer.

Farah menempatkan puluhan karya dari 51 seniman Bali melalui lima pendekatan:

1. Prelude: A Master’s Touch: Menampilkan karya instalasi luar ruang dari maestro Made Djirna bertajuk ‘Transient Continuous/Numpang Lewat-Berkelanjutan’, yang merespons area Gudang Kayu.

2. Continuum: Menampilkan beragam karya tentang legasi dan perubahan masyarakat Bali dari perupa Bali berbagai generasi.

3. Spectrum: Menampilkan karya sejumlah perupa kontemporer yang menafsirkan tradisi dengan individualitas dan konteksnya masing-masing

4. Tradition Today: Beragam karya dari sejumlah perupa generasi baru yang menafsirkan tradisi dalam pendekatan kontemporer.

5. Legacies in Flux: A Timeline: Menampilkan sejumlah karya maestro tradisi Bali dengan linimasa sejarah seni rupa.

“Pameran ini tidak hanya menampilkan karya, tapi juga membuka percakapan tentang legasi, perubahan masyarakat, dan inovasi dalam seni yang berpijak pada tradisi,” tutur Farah Wardani.

Sementara itu, kurator Prof. Qiu Ting (Dekan School of Chinese Painting dari Central Academy of Fine Arts (CAFA), Beijing) menghadirkan 20 seniman dengan karya yang berbasis teknik lukisan tinta tradisional guohua dalam bentuk dan narasi kontemporer.

“Kolaborasi antara CAFA dan UAG merupakan ruang lintas budaya yang mempertemukan dua tradisi visual besar Asia. Pameran ini mendorong generasi seniman muda untuk membaca ulang warisan dengan cara baru yang relevan terhadap masa kini,” kata Prof. Qiu Ting.

 Yulia Kurniawan Direktur Yayasan Satya Djaya Raya mengatakan kehadiran UAG merupakan bentuk komitmen yayasan terhadap pendidikan dan pelestarian budaya. 

“Warisan budaya bukanlah sesuatu yang statis, tetapi terus berkembang bersama zaman melalui tangan-tangan seniman yang visioner,” kata Yulia.

Direktur Ubud Art Ground Yuanita Savitri mengatakan UAG bukan sekadar ruang seni, melainkan ekosistem dialog yang menghubungkan seniman, pemikir, dan publik dalam ruang yang saling terhubung antara tradisi dan keberanian berekspresi.

"Insiatif ini diharapkan menjadi pengalaman seni yang hidup, reflektif, dan berdampak lintas generasi dan budaya," kata Yuanita.

Kata Yuanita di lokasi tersebut akan dibangun art center seluas 2.000 m² yang diproyeksikan menjadi tuan rumah residensi seniman, forum edukatif, serta laboratorium gagasan seni lintas budaya dan generasi.

Yuanita menambahkan UAG bakal aktif mendorong kolaborasi lintas budaya dan lintas generasi, menciptakan ekosistem seni yang berkelanjutan, dan menjadi pusat pertukaran pemikiran, praktik seni, serta eksplorasi kreatif yang berakar pada konteks lokal namun terbuka secara global.

Pameran yang terbuka untuk publik ini akan berlangsung hingga 10 Agustus 2025 yang diisi dengan tur kuratorial, diskusi bertema 'Contemporary Translations of Traditional Art', workshop, pasar artisan, dan pertunjukan budaya yang membuka ruang interaksi antara seniman dan masyarakat. (RLS/ID)

Berbagi Artikel