Napak Toya. Seni sebagai Resonansi Krisis Air

Jumat, 12 Desember 2025 : 10:12
Foto: ist

Napak Toya hadir sebagai salah satu program penutup Subak Spirit Festival 2024, sebuah inisiatif bersama Kementerian Kebudayaan serta Kitapoleng untuk mengangkat filosofi subak sebagai warisan pengetahuan yang hidup. Setelah festival tahun lalu menyoroti keseimbangan antara alam, manusia, dan spiritualitas, program tahun ini memperluas percakapan itu melalui pendekatan lintas medium yang lebih kontemplatif. Napak Toya, Kesucian Air, Kesadaran Manusia, menghadirkan pengalaman artistik yang membawa penonton kembali pada inti air sebagai sumber kehidupan.

Pertunjukan ini dikurasi oleh Subak Spirit Festival Kurator Dibal Ranuh sebagai perjalanan yang perlahan membuka lapisan hubungan manusia dengan alam melalui suara, cahaya, kata, dan simbol. Setiap seniman menempatkan diri mereka sebagai bagian dari ekosistem naratif, bukan sebagai pusat. Pendekatannya membuat penonton merasakan bahwa air tidak hanya didiskusikan, tetapi mempunyai jiwa dan suara yang bisa kita dengar melalui beragam bahasa artistik.

Foto: ist

Sebagai landasan wacana, hadir tiga narasumber utama yang membentuk kerangka pemahaman dalam Napak Toya. Gede Robi dari Navicula membawa perspektif sosial dan ekologis, berbicara tentang krisis air melalui riset dan aktivisme. Petani Muda Keren menghadirkan suara para petani yang berhadapan langsung dengan perubahan aliran subak, tantangan regenerasi, dan masa depan pangan Bali. Sementara itu, Yesi Candrika menyuarakan dimensi sastra dan spiritualitas air melalui kepekaan tradisi yang mengingatkan bahwa air adalah roh yang hidup.

Ayu Laksmi menyalurkan inti rasa yang dalam melalui tembang serta monolog yang mengundang penonton kembali pada ruang batin. Suaranya tidak menjadi pernyataan, melainkan penanda perjalanan, menghadirkan keheningan sebagai medium pengalaman. John McGarity, Nur Setyanto dan Anden Pundy menerjemahkan sifat air ke dalam bahasa visual. Visual mapping sinematik yang ia hadirkan memperlihatkan dinamika air yang jernih, keruh, mengalir, atau tiba tiba berhenti, bekerja sebagai gambaran organisme hidup yang terus bergerak dan terhubung dengan hati dan indra kita yang lainnya.


Foto: ist

Kolaborasi antara Kitapoleng dan Wayang Ental sangat memikat dan begitu mencerminkan keliaran kreatif khas Kitapoleng. Berakar kuat dan bangga pada tradisi, namun bergetar dengan esensi imajinasi yang tak terduga. Wayang-wayang kita yang berusia ratusan tahun itu seakan hidup kembali, membawa kita masuk ke dalam keadaan seperti mimpi. Mereka melangkah ke dunia kita dengan kepolosan permainan anak-anak, sambil menyampaikan pesan yang penuh keputusasaan dari kedalaman hati.

Kehadiran Sandrina Malakiano menjadi jembatan yang menautkan seluruh pengalaman ini. Dengan latar panjang sebagai jurnalis dan presenter berita, ia membawa kehangatan sekaligus ketajaman dalam memandu alur program. Sandrina tidak hanya memperkenalkan para seniman atau menjelaskan konteks, tetapi menghubungkan penonton pada gagasan besar yang ingin dibangun oleh Napak Toya.

Sebagai bagian dari rangkaian Subak Spirit Festival, Napak Toya berdiri bukan sekadar sebagai pertunjukan, tetapi sebagai pengingat akan bagaimana seni dapat membuka kembali ingatan kolektif tentang air sebagai guru pertama dalam kehidupan. Program ini menjadi titik temu antara tradisi, inovasi, dan kontemplasi. Sebuah ruang di mana publik diajak bukan hanya untuk menyaksikan, tetapi juga merasakan kembali aliran yang menghidupi mereka setiap hari. (RLS/Dian D Reich)


Berbagi Artikel