Oleh: Warih Wisatsana
Sebuah film Iran bertajuk Color of Paradise karya Majid Majidi, dengan adegan pembuka nan sederhana tentang seorang anak buta yang mencoba menyelamatkan seekor anak burung yang terjatuh dari sarangnya di tengah intaian seekor kucing, telah menyodorkan suatu realita lain yang mungkin sebelumnya tak terbayangkan di benak pemirsa. Boleh jadi, dalam imaji masyarakat sekarang ini, yang sebagian besar ‘terkontaminasi’ oleh rekayasa kecanggihan teknologi media dan pencitraan (audio, visual, maupun audiovisual), Iran lebih sering dipandang sebagai negara penyebar ancaman, lantaran dicurigai diam-diam tengah berupaya memproduksi bom nuklir. Maka film itu, beserta tiga film lainnya, yakni Children of Heaven (Majid Majidi), Le Silence (Mohsen Makhmalbaf), dan Turtles Can Fly (Bahman Ghobadi) yang diputar di Bentara Budaya Bali belum lama ini, menawarkan suatu perspektif kritis tentang kesahihan informasi, dan bahkan lebih jauh lagi, yakni tentang fenomena globalisasi yang kini diterima sebagai suatu keniscayaan yang tak tertolak dan dianggap mewakili nilai-nilai kemajuan serta kebenaran.
Film Children of Heaven (sumber: https://www.cultura.id/)
Film-film Iran ini bukan hanya hadir menjadi antitesa film-film ala Hollywood yang glamor dan menyuguhkan rekayasa audiovisual yang fantastik, melainkan juga memberikan jeda sejenak bagi kita guna menyaksikan kehidupan sehari-hari yang manusiawi dari bangsa Iran di tengah gencarnya pemberitaan yang bernada negatif dan cenderung bias itu. Sebagian penonton mulai tergoda mengkritisi anggapannya selama ini yang boleh jadi terkungkung oleh berbagai stereotip dan stigma-stigma tertentu, hasil produksi massal industri pencitraan melalui liputan dan tayangan, entah dengan tujuan-tujuan politis atau mencari untung semata. Tak heran, dalam dialog seusai acara, terungkap pendapat pentingnya memperjuangkan pemenuhan informasi yang bersifat lebih adil dan tidak diskriminatif. Bahkan diyakini, bahwa demokrasi yang sehat hanya akan tumbuh di negeri ini bila kita kuasa mewujudkan hal-hal mendasar tersebut, di mana dialog-dialog dan debat publik yang disajikan di media audiovisual tidak sekadar demi memenuhi hak kebebasan berpendapat, melainkan pula suatu proses menuju kedewasaan semua pihak: canggih berargumentasi secara sportif, serta terarah dan terukur dalam merangkum kesimpulan.
Dengan kata lain, kita kini, sebagai masyarakat yang sedang dalam tahapan transisi menuju demokrasi, patutlah menyadari bahwa media-media modern audiovisual, terlebih televisi, cenderung lebih menyuguhkan realitas imajiner, dunia rekaan yang seakan-akan lebih nyata dari kenyataan yang sebenarnya. Tak heran, bila citraan-citraan semu ini ‘mencekam’ sebagian masyarakat dengan aneka peristiwa rekayasa yang manipulatif, dipenuhi sosok-sosok ‘fiktif’ yang tiba-tiba menjadi figur-figur publik, serta hal-hal sebaliknya—di mana tokoh dan pelaku sesungguhnya malah terpinggirkan, tak memperoleh pemberitaan yang adil dan semestinya.
Media-media modern itu, sengaja atau tidak, meringkas fakta menjadi sekuen-sekuen rekaan yang tipis batasnya dengan fiksi. Kemudian yang mengemuka adalah dunia yang serba hitam-putih, serba didramatisir menjadi si pecundang atau si pemenang, sarat suguhan melodramatik. Tak ayal lagi, tanpa kontrol publik yang berarti, media-media tersebut seringkali terbawa hanyut ke dalam pusaran realitas virtual ciptaannya sendiri, entah karena pertimbangan rating atau perolehan iklan, akhirnya tergelincir menjadi media partisan yang tak jelas juntrungannya.
![]() |
Film Color of Paradise (sumber: kinorium.com) |
Kemajuan dunia audiovisual memang tak selamanya menjadi rahmat. Melekat dalam media-media modern itu sebentuk kecanggihan yang penuh godaan. Melalui mata kamera dan seperangkat alat studionya, peristiwa nyata bisa hadir lebih estetis dan jauh dari realita yang sebenarnya. Editing dan framing atau pembingkaian yang (sengaja) tak akurat, membuahkan sederet gambar yang bersifat mimikri dan cenderung mengelabui, mungkin elok dan molek, namun sesungguhnya berlebihan. Giliran berikutnya, karena tampil berulang secara ritmis dan sugestif, gambar-gambar itu seolah menjelma mantra yang lambat laun ‘menyulap’ penonton—terutama pemirsa televisi—dari sang subyek yang merdeka berubah menjadi obyek yang tersandera. Di titik ini, tidakkah ingatan kita hanya berfungsi sekadar copy paste dari seluruh suguhan yang dikemas oleh industri pencitraan. Lalu dalam keseharian, sebagian diri kita bertindak atau bertingkah-laku semata terpicu oleh motif-motif bawah sadar yang mekanis, jauh dari sikap kritis. Berbarengan dengan itu, memori kultural kita sebagai suatu entitas maupun identitas budaya tertentu, ada dalam bayangan kerapuhan, terkikis oleh simbol-simbol yang dicitrakan sebagai sesuatu yang global dan seakan menandakan kekontemporeran yang diidam-idamkan serta kekosmopolitan yang diobsesifkan.
Simpang Pilihan
Majid Majidi dan kedua rekannya, Mohsen Makhmalbaf serta Bahman Ghobadi, boleh dikata adalah sutradara pilihan. Mereka mewarisi teknik dan simbol kultural hasil dari evolusi sejarah kesenian (film) setempat yang panjang, serta tentunya berupaya tetap menjadi pelaku atau pencipta dari budayanya sendiri. Namun, sebagaimana seniman Indonesia umumnya, mereka ada dalam ancaman situasi penciptaan yang sebaliknya, di mana serbuan globalisasi dan godaan kecanggihan audiovisual seakan sungguh tak terelakkan, dan niscaya menyebabkan adanya perombakan total menyangkut identitas budaya masing-masing. Bila sebagian besar sutradara-sutradara kita tergelincir menyuguhkan film-film instan murahan dan sinetron-sinetron kejar tayang yang hiperealis serba ‘kebarat-baratan’, para sutradara Iran ini berhasil menciptakan film-film sederhana yang kaya akan sentuhan kemanusiaan dan tetap berakar pada lingkungan kultural sekitar. Ketiga sutradara itu agaknya bukan hanya piawai dalam persoalan teknik serta paham akan logika visual sebuah film, melainkan menyadari pula bahwa audiovisual adalah media yang berperan strategis untuk merawat memori kultural suatu bangsa ataupun entitas tertentu.
![]() |
Film Turtles Can Fly (sumber: https://cinelysium.com/) |
Memang, situasi penciptaan era kini telah mendorong para seniman kontemporer, seperti lazimnya intelektual kreatif lainnya, untuk lebih seksama dalam menegaskan pilihannya. Sebagaimana fenomena dalam dunia seni rupa, yang penulis dan Jean Couteau sempat diskusikan, terdapat tiga simpang kenyataan yang harus disikapi. Pertama adalah berpihak sepenuhnya pada tradisi, dengan resiko luput mencerna bahwa tradisi tersebut boleh jadi tengah termanipulasi, yang kenyataannya nyaris mustahil menjadi penghadang arus deras perubahan.
Sedangkan pilihan kedua adalah menelan mentah-mentah keseluruhan sistem simbolik yang ditawarkan globalisasi. Dengan demikian membiarkan identitas diri tertransformasikan menuju sebuah wilayah kultur yang tak jelas arahnya, bahkan tak tertutup kemungkinan mengalami alienasi, di mana masyarakat kehilangan sikap kritisnya dan terbawa dalam beragam bentuk amnesia sosial. Atau, menetapkan pilihan ketiga, yakni menyadari sekaligus berupaya mengungkapkan masalah-masalah yang sebenarnya secara sistematis melalui sarana artisitik serta intelektual dalam suatu dialektika antara yang lokal dan yang global, agar menghasilkan suatu modernitas atau posmodernitas, di mana masyarakat setempat adalah pelaku yang sesungguhnya dari perubahan yang dialaminya, bukan hanya sebagai pelengkap penderita saja.
Boleh dikata tidak banyak seniman atau intelektual yang menyadari akan adanya tantangan atau resiko menyangkut pilihan-pilihan tersebut. Hal mana itu juga membatasi pemahaman mereka atas yang sesungguhnya telah dan tengah terjadi di dalam masyarakat. Dunia penciptaan kita dipenuhi oleh berbagai karya yang sekadar mengadopsi ikon, corak dan nilai-nilai yang diandaikan sebagai global, tersaji dalam suatu ragam seni yang tak jelas identitasnya. Di sisi lain, rentetan peristiwa di ruang publik, informasi-informasi serentak yang bersifat lokal maupun global, sering disikapi secara banal dan permukaan, serta kemudian memicu lahirnya karya-karya yang artifisial atau pernyataan-pernyataan tendesius dari intelektual-intelektual partisan.
![]() |
Film Le Silence (sumber: www.makhmalbaf.com) |
Keempat film Iran yang diputar di Bentara Budaya Bali, terutama Turtles Can Fly, yang memenangkan berbagai penghargaan bergengsi di festival internasional, adalah suatu contoh langsung yang menerakan pada kita hal-hal paradoks dari globalisasi serta kemungkinan penyelesaiannya. Film ini sendiri adalah sebuah paradoks, yang menyajikan dunia kanak-kanak nan jenaka, penuh adegan mengharukan, namun sekaligus juga sebentuk film perang yang mencekam. Tiap adegan mengalir secara wajar sehingga tanpa terasa penonton seakan langsung mengalami kengerian perang sebagai anak-anak yang polos dan tak berdosa. Di sisi lain, tampil pula paradoks yang mengandung ironi, bahwa Turtles Can Fly adalah sebuah film perang tanpa letusan dan dentuman meriam sebagaimana film berlatar peperangan umumnya.
Melalui film ini, sutradara Bahman Ghobadi, lahir 1 Februari 1969 di Baneh, kota kecil di propinsi Kurdi, perbatasan Iran-Irak, yang mengalami kemelut hebat peperangan berkepanjangan, menawarkan pilihan yang cerdas guna menyikapi ilusi globalisasi. Filmnya menyiratkan pengertian bahwa segala anggapan yang dipandang ‘baku’ tentang sesuatu haruslah selalu dikritisi agar tidak menimbulkan bias yang menyesatkan, tak terkecuali citraan dan pernyataan umum tentang globalisasi. Sebagaimana diniatkannya, anak-anak sengaja dijadikan tokoh utamanya guna ‘menandingi’ pseudo-heroik dari tokoh-tokoh pahlawan perang semacam Rambo dan James Bond. Dengan kata lain, bahwa ikon-ikon globalisasi bukanlah suatu kepastian yang bernilai universal, melainkan semata alat ekspresi atau komunikasi. Keuniversalan haruslah ditemukan dan dihayati pada kenyataan paling akrab dari kekinian lokal. Meraih yang ‘global’ justru dalam kelokalan masing-masing.
*) Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di KOMPAS (2009)