Kitab Hewan, Kitab Sugestif

Rabu, 17 April 2024 : 13:45

Pameran tunggal litografi*
Goenawan Mohamad

Pameran "Kitab Hewan" Goenawan Mohamad di Sika Gallery, Ubud / Dok.Katarupa.id

Walau Goenawan Mohamad, 82 tahun, mengungkapkan sendiri bahwa tahap ciptanya kali ini mungkin semacam nostalgia, sejumlah karya intaglio dan litografinya di Sika Gallery, Ubud, Gianyar, Bali, justru menunjukkan capaian seni rupa yang tak biasa. Karya hitam putihnya terasa sangat sugestif, menghamparkan renungan di tiap judul. Renungan multilapis.

Selama kurang-lebih sepuluh bulan, sejak pertengahan 2022 hingga awal 2023, Goenawan melakukan residensi di Devfto Printmaking Institute, Ubud. Berkolaborasi dengan master printer Devy Ferdianto, lahirlah pameran tunggal ke-11 bertajuk “Kitab Hewan” (A Book of Beasts). Dikuratori Wahyudin, ia menghadirkan 35 karya intaglio dan litografi berukuran 44 x 58,5 sentimeter, 40 x 30 sentimeter, dan 20 x 30 sentimeter dalam format artist book serta lepasan. 

Bhima Swarga, Etching

“Kitab Hewan” berisi 15 karya intaglio mengelaborasi aneka rupa hewan beserta pilihan komposisi  dan gradasi warnanya yang mengundang imajinasi, antara lain badak, monyet, ikan, kodok, serta sebuah lanskap di bawah awan dan sepetak rumah di Bromo. Adapun 20 karya lain mengetengahkan potret binatang berikut sosok-sosok pilihan yang hadir tidak sepenuhnya harfiah dan cenderung menyarankan dunia simbolis atau metaforis.

Dalam sentuhan teknik intaglio (cetak dalam) dan litografi (cetak datar), Sang Ilmuwan, Bhima Swarga, Badut, Zhuang Zhou di Bukit, dan Seorang Pemabuk di Sudut Sanur tidak hanya mengemuka sebagai sosok, tetapi juga pokok. Mereka tertaut dengan kisah lain, semisal wiracarita Mahabharata (Bhima Swarga), historis Zhuang Zhou, atau kelindan nilai kehidupan (Badut dan Seorang Pemabuk di Sudut Sanur). Sekaligus menyiratkan betapa labirinnya kenyataan yang membanjiri keseharian kita dengan aneka rupa rekaan virtual. 

Lintas batas, multi lapis 

Goenawan Mohamad sebagai kreator sekaligus intelektual mumpuni, tersurat pada karya-karya sastra dan seninya, termasuk esai kebudayaannya, menyadari betapa disruptifnya realitas yang mesti dihadapi hari ini. Kemajuan teknologi informasi memicu percepatan perubahan segala lini, di mana gawai adalah keniscayaan tak terelakkan; secara serentak dan seketika dapat menghubungkan manusia dari belahan bumi manapun melalui streaming ataupun suguhan peristiwa secara daring. Dengan demikian mengubah konsep ruang dan waktu; segalanya kini hadir lintas batas, dan disadari atau tidak, mengedepankan realitas baru; sebentuk realitas virtual yang keberadaan dan maknanya kian multi lapis. 

Orang di Jendela, Etching

Setiap saat masyarakat dirundung oleh dunia simulakra yang menghamba digitalisasi; hakikatnya menohokkan tuntutan tentang kebutuhan akan lahirnya suatu cara pandang baru yang diharapkan dapat memicu upaya baru pemaknaan. Pada situasi dan keadaan kini yang serba lintas batas dan multi lapis itu, karya-karya kreator dituntut pula untuk dapat hadir sebagai fenomena yang serentak dan seketika. Tidak cukup hanya dengan mengedepankan inovasi atau reka baru sebatas penggalian stilistik, estetik, atau ragam tematik.

Pameran Kitab Hewan adalah cerminan dari kehadiran Goenawan Mohamad dengan dunia ciptaannya yang lintas batas, di mana karya intaglio dan litografinya pada galibnya membangun makna yang multi lapis. Sejumlah subjek visual grafisnya, adalah hewan-hewan tertentu dan sosok-sosok yang secara olahan estetik menegaskan ragam stilistik seorang penyair; dengan daya gugah puitiknya yang mengesankan. 

Pameran "Kitab Hewan" Goenawan Mohamad di Sika Gallery, Ubud / Dok.Katarupa.id

Akan tetapi, segera harus diungkapkan di sini, keautentikan karya itu tidak hanya tecermin pada capaian indah rupanya, melainkan mengundang pemirsa untuk menautkannya dengan keberadaan Goenawan Mohamad sendiri sebagai sosok yang lintas batas, berikut sisi dirinya sebagai pencipta yang multi lapis. 

Tidaklah satu kebetulan, di tengah para hewan yang metaforik dan simbolik itu, perupa yang telah menyelenggarakan 11 pameran grup (di Malaysia, Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Magelang, dan Bali), dan 2 pergelaran duo (dengan perupa Hanafi dalam 57 x 76 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, dan Komaneka Art Gallery, Bali), menampilkan kisahan salah seorang ksatria Pandawa, yakni Bhima Swarga. 

Secara serentak dan seketika kita dapat merujukkan karya itu dengan tulisan Goenawan Mohamad yang juga bertajuk Bhima Swarga di laman facebooknya. Sebagaimana Catatan Pinggir dan esai-esai bernas lainnya, melalui tokoh pewayangan ini pembaca (pemirsa), turut berkelana bukan hanya merunut perjalanan yang penuh rintangan ke swargaloka, seketika juga diingatkan bahwa pembangkangan Bhima itu seungkap Albert Camus disebut sebagai “pemberontakan metafisik”. Serentak dengan itu, kita diingatkan kisahan mitologi Yunani Sisyphus yang direka cipta sebagai karya sastra oleh pemenang Nobel kelahiran Aljazair. 

Tulis Goenawan, “Pembangkangan  ini lebih radikal ketimbang pembontakan  para budak kepada majikannya. Sang “pembangkang metafisik” tak hanya menolak ketidak-adilan sosial.  Ia frustrasi (“frustré”) oleh semesta alam dan hidup yang diciptakan-Nya.” Secara maknawi, Bhima Swarga ini juga membawa ingatan kita pada puisi Goenawan bertajuk “Tentang Usinara”, petikan kisahan yang dituturkan oleh Resi Bhisma di hadapan para Pandawa dan Kurawa menjelang perang Bharatayuda. Puisi itu ditutup baris “Ia tahu kahyangan adalah cerita yang belum jadi.”

Karya-karya intaglio dan litografi Goenawan lainnya hakikatnya mengada-makna dengan cara itu. Dunia metaforik yang senyap dan hening dari hewan-hewan serta sosok-sosok terpilih tersebut, memperkaya kemungkinan pemaknaan seiring bacaan kita atas puisi-puisi penyair kelahiran Batang, 29 Juli 1941, yang belum lama ini menerima The Japan Foundation Award 2022. 

Sang Ilmuan, Litho

Lihat saja gambar etching “Orang di Jendela”, di mana seekor burung berhadapan muka dengan seseorang. Secara visual begitu tak berjarak, walau mengesankan juga kedekatan yang belum tentu akrab. Satu gambaran yang mendekati pernyataan Goenawan mengapa karya-karya pada pameran Kitab Hewan ini tercipta, yakni atas dorongan rasa bersalah karena sewaktu kecil dengan gegabah menembak mati seekor burung.

Karya “Orang di Jendela” itu pula mengingatkan pada kedalaman suasana puisi-puisi Goenawan, semisal “Pada sebuah Pulau”, “Tigris”, “Tentang Maut”, dan “Di Sebuah Ladang”. Yakni hadirnya suasana gamang atau sesuatu yang mengesankan sebagai “ruang kosong imajinasi”, di mana pembaca digugah untuk meragukan, mempertanyakan atau sekaligus memperluas medan tafsirnya. 

Karya litho berjudul “Sang Ilmuan”, bolehlah diresapi bersama karya etching “Masa Depan Wajah”. Sebagaimana banyak didedahkan dalam esai-esainya, Goenawan kerap terpanggil mengkritisi peran dan sosok cendekiawan, intelektual, akademisi, dan sejenisnya. Sang ilmuan itu digambarkan sebagaimana burung berparuh panjang; satu gambaran ironi akan kaum cerdik pandai yang kadang cerdas namun bisa tergelincir menjadi culas, cerdik mudah beralih menjadi licik. Sikap kritisnya itu juga bagian dari mulat sarira-nya; satu upaya otokritik yang melihat bagaimana masa depan peran dirinya, sebentuk lecut diri bahwa “kerja cipta belum selesai”. 

Masa Depan Wajah, Etching

Bagi “master printer” Devy Ferdianto, residensi dan kolaborasi Goenawan Mohamad di Devfto Printmaking Institute adalah suatu peristiwa berharga. Sebagaimana pameran-pameran seni grafis lainnya yang diadakan institusinya di Bali, Kitab Hewan ini adalah sebuah momentum yang diharapkan dapat mewarnai dunia seni rupa di Bali dan nasional. Secara historis juga, karya-karya seni grafis, intaglio dan litografi, telah menjadi bagian dari dinamika seni rupa di Bali sedini masa kolonial dulu. W.G. Hofker, seorang seniman lukis kelahiran Belanda tahun 1902, bukan hanya hanya mengabadikan figur-figur manusia Bali dan pemandangan alamnya yang elok dalam karya intaglio, etching, dan drawing,  namun juga membukukannya dengan judul “Bali as seen by Willem Hofker” (1978).

Mengutip pernyataan Goenawan, kurator Wahyudin dalam pengantar kuratorialnya sewaktu pembukaan, “the beauty is the celebration and the joy of the unexpected,” atau dapat dirunut bahwa keindahan adalah perayaan ketakterdugaan. 

Sejurus itu, di tengah era disruptif yang tak jelas arah dan serba lintas batas itu,  bolehlah disyukuri karunia kehidupan puisi Goenawan ini. Karya-karyanya mengada dan menyapa; senantiasa berbagi ketakjuban pada hidup.

warih wisatsana—penyair, kurator

*) Tulisan ini telah dimuat di Majalah Tempo, edisi 12 Februari 2023.


Berbagi Artikel