Made Taro Adalah Dongeng Itu Sendiri

Rabu, 17 Februari 2021 : 13:15

 Penulis : Ni Wayan Idayati

Ibarat sebuah cerita, hidup seseorang kerap kali tak terduga alurnya, semua serba penuh kejutan. Apa yang dulu dicita-citakan seringkali berbeda akhirnya dengan apa yang ditempuh kini. Siapa sangka, arkeolog dan sempat menjadi guru di SMA Negeri 2 Denpasar ini justru bisa berkeliling dunia serta meraih aneka penghargaan berkat keahliannya bertutur atau mendongeng.

Dijumpai di kediamannya, di daerah Suwung Kangin, Denpasar, Made Taro yang usianya telah sepuh benar, 82 tahun, masih tetap bersemangat dan pikiran-pikiran kreatifnya tak henti mengalir. Dengan antusias ia menunjukkan foto-foto lawatannya ke manca negera untuk mendongeng dan memberikan workshop storytelling untuk orang dewasa dan anak-anak. Di sana nampak pula kenangan kehangatannya dengan sosok Pak Raden, tokoh pendongeng yang ngetop di televisi pada era 90-an.

Kecintaan lelaki kelahiran desa Sengkidu, Karangasem, tahun 1939  ini terhadap dongeng telah tumbuh sedini kanak. Dongeng telah menjadi kisahan sehari-hari menjelang tidur yang ia peroleh dari sang ayah dan hingga kini masih lekat membekas dalam dirinya.  

Lebih dari tiga puluh tahun sudah Made Taro mengabdikan hidupnya untuk mendongeng, meneruskan cerita-cerita rakyat, gending rare (lagu anak-anak) dan permainan tradisional kepada generasi-generasi muda kini. Atas dedikasinya yang tiada henti itu pula ia memperoleh Lifetime Achievement Award Ubud Writers and Readers Festival atau UWRF 2019.

Made Taro berujar, kehidupan masa kanaknya di Sengkidu dahulu sangat jauh berbeda dengan kebiasaan anak-anak masa kini. Bila dulu ia kerap menghabiskan waktunya dengan bermain pindekan (baling-baling), gundu dan cingklak yang dibuat sendiri, anak-anak zaman sekarang telah lebih mudah; mereka bermain melalui gadget dan aplikasi-aplikasi game yang telah banyak tersedia. Tak ketinggalan juga dongeng-dongeng rakyat dan cerita anak lainnya dapat ditemukan melalui penyedia aplikasi online.

Kecanggihan teknologi visual, multimedia tak membuat Made Taro berkecil hati, ia bahkan optimis bahwa dongeng, gending rare dan permainan-permainan tradisional Bali akan terus ada, berkembang melalui media yang lain. Ia mengungkapkan, sebagai orang kreatif, kita tak usah gusar dengan percepatan globalisasi, justru kita harus mampu mendayagunakan teknologi tersebut untuk mempertahankan nilai-nilai kultural kita. Made Taro juga menyebut bahwa telah banyak mahasiswa pendidikan teknologi dan audiovisual yang mendatanginya untuk mengembangkan aplikasi yang berangkat dari dongeng, lagu-lagu anak dan permainan-permainan tradisional yang ia buat. 

Kembali ke tahun 1968, Made Taro mengenang bagaimana mulanya ia mendirikan Rumah Dongeng, sebuah ruang yang dia dedikasikan untuk memberikan dongeng kepada anak-anak di sekitar lingkungan tinggalnya, di asrama dinas SMA Negeri 2 Denpasar, Jl. Kartini, Denpasar. Rumah dongeng ini buka setiap malam Minggu, di sanalah anak-anak yang merupakan penggemar setia dongengan Made Taro datang dan berkumpul. Uniknya, sembari mendengarkan dongeng anak-anak juga diajak bermain peran, ada yang seolah-olah menjadi penjaga loket karcis, penyobek tiket, dan semua dilakukan bergilir. Yang pastinya, biaya tiket dan lain-lain itu hanya ada dalam angan-angan.

Mengapa ia memilih mendongeng?

“Saya tertarik dengan teori filsuf Inggris, McClelland. Ia melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa kalau kita tanamkan dongeng itu sekarang, hasilnya dipeting 25 tahun mendatang. Saya banyak menggubah dongeng Bali agar berisi kebutuhan berprestasi (need for achievement) dan membuat anak percaya diri, “ tutur Made Taro yang pernah enam bulan mengajar di Darwin, Australia.

Menurutnya sastrawan peraih penghargaan Rancage tahun 2005 ini, seorang penulis dongeng bertanggungjawab untuk meluruskan isi dongeng tersebut. Lanjutnya, dongeng bisa saja memiliki berbagai versi, namun yang tidak boleh hilang adalah makna dari dongeng itu sendiri.

Ia pun menuturkan bahwa selama ini untuk menulis kembali atau menciptakan dongeng-dongeng berdasarkan ingatan-ingatan dari dongeng sang ayah, buku-buku dan juga dari diskusi dengan narasumber. Sebab itu pula, ia menyebut beberapa dongengnya sebagai dongeng teologis, yakni mencoba menjernihkan atau menjawab berbagai mitos dan pertanyaan sebab akibat dari dongeng-dongeng di Bali yang selama ini belum terjelaskan.

Kukuruyuk Hingga Manca Negera

Bermula dari dongeng pula, Made Taro kemudian mengumpulkan dan memodifikasi permainan-permainan tradisional Bali, termasuk juga lagu-lagu anak-anak (gending rare). Beberapa bahkan ada yang ia ciptakan sendiri terinspirasi dari kisah-kisah dongeng.

Setidaknya terdapat 200 jenis permainan anak-anak tradisonal Bali dan 225 lagu anak-anak yang telah berhasil ia kumpulkan.

“Perenungan saya akan aneka permainan yang diiringi lagu-lagu anak-anak mendorong saya untuk mengabadikannya dalam buku. Selain untuk dapat dinikmati oleh lebih banyak anak-anak, harapan saya buku ini juga menjadi tambahan pengetahuan bagi para orang tua yang telah cukup jauh terpisah dengan aneka kekayaan seni tradisi mereka, “ ujar Made Taro.

Buku pertamanya, Ibu Jari untuk Sang Guru (1973), lalu disusul Gending-Gending Plalian Bali dan diikuti terbitnya buku-buku lainnya. Hingga ini Made Taro telah menerbitkan 36 buku seri dongeng dan permainan tradisional. Salah satu yang istimewa adalah buku Bawang Kesuna (Onion and Garlic) yang terbut tahun 1997, hadir dalam format bilingual dan dilengkapi ilustrasi arya I Ketut Nama. Buku terbitan Balai Pustaka ini meraih penghargaan Adikarya IKAPI pada tahun 1998.

Menurut suami dari Wayan Wati ini, ada kegairahan tersendiri ketika ia menulis dongeng, baik yang bersumber dari ingatan-ingatan cerita yang didongengkan ayahnya semasa kecil, buku,  maupun kisah-kisah ciptaannya sendiri.

Beberapa alat musik tradional yang diciptakannya di antaranya tumbung, toktek, dan kempli. Umumnya kempli dibuat dari perunggu atau logam, hanya saja ia lebih senang menggunakan bambu.

Kepiawaiannya mendongeng tak ayal mengantarkan Made Taro menjejakan kaki ke manca negera, antara lain ke Darwin, Afrika Selatan dan beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.

Pengalamannya melawat ke luar negeri tak jarang juga menimbulkan inspirasi Made Taro untuk menciptakan dongeng atau permainan tradisional.  Ia juga menyebut bahwa di luar negeri, seorang pendongeng memiliki tempat yang istimewa di masyarakat. Di Singapura bahkan orang-orang dewasa beramai-ramai datang dan rela membeli tiket hanya untuk menyaksikan pertunjukan mendongeng.

Rupanya, kegigihannya dalam berkarya dan mengembangkan tradisi dongeng memperoleh apresiasi dari banyak pihak. Terbukti melalui berbagai penghargaan yang disematkan padanya, antara lain; Anugerah Bali Award 2001, Anugerah Permata 2003, Pengharagaan Sastra Rancage 2005, Hindu Books and Readers Community 2006, Widya Pataka 2007, K. Nadha Nugraha 2008, Penghargaan Maestro Tradisi Lisan dari Kementerian Kebudayaan dan Parwisata 2008, Anugerah Kebudayaan Presiden RI 2009 dan lain-lain.

Kala menjadi pengajar di SMA Negeri 2 Denpasar, Made Taro juga aktif membina anak-anak di Teater Si Paku-Paku. Pada tahun 1978, teater Si Paku-paku memperoleh ruang untuk mengisi acara pementasan lagu dan operet di TVRI Denpasar. Mereka tampil membawakan Nyanyian Gagak, Hidup lan Mati, Kembang dan Selip.

Setelah berhasil menghidupkan Teater Si Paku-paku, Made Taro pun tak ketinggalan membentuk Sanggar Kukuruyuk, yakni teater yang khusus diperuntukkan bagi anak-anak. Kok namanya Kukuruyuk?

“Kukuruyuk itu bagi saya adalah lambang optimisme, tiruan suara ayam jago di pagi hari. Suara ayam ibarat menyanyikan sukacita menyambut datangnya fajar untuk memulai hari. Hal itu sama seperti harapan saya bagi Sanggar Kukuruyuk, “ ungkap Made Taro. 

Lebih lanjut, Made Taro menjelaskan bahwa kehadiran Sanggar Kukuruyuk ini sangat erat dengan perkembangan anak. Di sanggar ini, dunia anak yang masih universal dan imajinatif dikembangkan melalui kreativitas yang kemudian melahirkan aneka bentuk dan rupa kebhinnekaan. Mengikuti jejak teater remaja Si Paku-paku, Sanggar Kukuruyuk juga sempat berpentas di TVRI Bali, pertama kali membawakan lakon “Kaki Cubling”.

Kini meski tidak lagi menggiatkan Sanggar Kukuruyuk di rumahnya seperti dulu, Made Taro tetap aktif membina ekstrakurikuler di tiga SD di Denpasar. Sesekali ada kelompok anak-anak yang datang belajar memainkan musik tradisional dan sebagainya. Ia juga masih kerap menulis untuk kolom berbagai media cetak.

Bagi Made Taro, mendongeng telah menjadi bagian dari hidupnya. Hingga saat ini ia masih terus diundang untuk mendongeng atau memberikan workshop ke sejumlah daerah di tanah air dan luar negeri, termasuk diundang sebagai salah satu panelis dalam Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Ubud.

Ya, begitulah. Alur atau kejutan kini tak lagi penting buat Made Taro. Ia telah cukup dengan menghabiskan masa senjanya di daerah Suwung (yang berarti sepi, sunyi), namun tak sekali pun kehilangan keriuhan dan kehangatan masa kanak-kanaknya. Sesungguhnya kehidupan Made Taro ialah dongeng itu sendiri; bermula dari perjuangan dan kegigihan, lalu berakhir dengan bahagia.


 * Artikel ini pernah dipublikasikan secara terbatas di Majalah Esensi, 2015

Berbagi Artikel