Oleh : W. Wisatsana*)
Melalui karyanya Bhuwana Sakti (2023), pematung I Wayan Suardana tidak hanya memahat batang hanao menjadi bentuk visual, tetapi juga menanamkan makna sebuah semesta—bhuwana—yang penuh daya spiritual, bergetar dalam relasi antara keteraturan jagat raya dan peran manusia sebagai penjaganya yang arif. Sebuah batang kayu ditarik menjulang, ditatah menjadi kentongan yang tak lagi sekadar alat pemanggil warga, melainkan simbol semesta yang tegak di atas keseimbangan dua kutub: sekala dan niskala, purusa dan pradana, agung dan alit. Di sini, Suardana merakit bukan hanya bentuk, tetapi makna.
I Wayan Suardana, seniman patung asal Petulu yang menuntaskan pendidikan doktoralnya di ISI Yogyakarta, dikenal lewat karya-karya yang merangkai warisan tradisi dengan sensibilitas zaman kini. Bagian meruncing pada Bhuwana Sakti mengacu lingga (simbol maskulin), lubang di tengah mengandaikan yoni (simbol feminin)—dua aspek pencipta yang bersatu dalam bahasa bentuk. Di antara keduanya mengalir konsepsi Tri Murti, direpresentasikan secara simbolik lewat rerajahan yang menghias permukaan karya: Brahma pencipta, Wisnu pemelihara, dan Ciwa pelebur. Daya visual dalam karya ini bukan sekadar hiasan, melainkan dirancang sebagai citra-mantra yang memuat getaran spiritual pengider bhuwana—penjuru suci tempat para Dewa dan Bhuta Kala bersemayam dalam keselarasan semesta.
![]() |
I WAYAN SUARDANA Bhuwana Sakti | 2023 | 140 x 55 x 45 cm | batang hanao |
Kiranya tak berlebihan bila Bhuwana Sakti dimaknai sebagai “kulkul semesta”—medium ritual yang tak hanya menghimpun kesadaran kolektif, tetapi juga membangkitkan kepekaan ekologis dan tanggung jawab moral manusia terhadap keseimbangan jagat raya. Suardana menjadikan batang hanao sebagai simbol Rwa Bhineda dan Tri Hita Karana, di mana keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan senantiasa relevan di tengah berbagai dinamika dunia hari ini. Keseimbangan itu, dalam karya ini, bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan kekuatan aktif yang mesti dijaga lewat kesadaran, laku, dan persembahan: Bhuta Yadnya, sebagaimana dalam keyakinan Hindu Bali, menjadi jembatan antara dunia niskala dan sekala.
Artistik Rupa Patung Bali dan Jejak Personal
Dalam lanskap sejarah seni patung Bali, karya Wayan Suardana bukan sekadar bentuk yang lahir dari kekinian, tetapi juga mengalir dari sejarah panjang seni patung Bali. Karya ini bukan hanya mengandung jejak artistik personal, tetapi juga merepresentasikan laku kontemplatif yang menukik dalam, bertaut erat dengan spiritualitas Hindu Bali dan kesadaran ekologis global, sekaligus berbicara dengan jejak-jejak sejarah artistik dari desa-desa perajin patung seperti Mas, Peliatan, hingga Petulu dan Nagi.
Jika kita menilik perkembangan seni patung di desa Mas, tempat para pematung seperti Ida Bagus Njana dan Ida Bagus Tilem berkarya, kita menemukan semangat kebebasan dan eksplorasi bentuk yang melampaui pakem klasik. Suardana, meski lahir dari generasi berbeda dan berangkat dari jalur akademik, memiliki semangat keberanian yang serupa: ia tidak tunduk pada keindahan figuratif semata, tetapi justru menciptakan sistem simbolik yang mengundang perenungan lebih dalam. Bila Tilem memekarkan bentuk dari kayu yang “liar”, Suardana menata bentuk secara arsitektural dan kosmologis—lebih meditatif ketimbang ekspresif.
Bhuwana Sakti tidak menawarkan figur, melainkan struktur. Karya ini menghadirkan ruang kontemplasi sekaligus membebaskan ekspresi artistik, dengan keluwesan dalam menafsirkan simbol-simbol lokal serta kepekaan terhadap konteks sosial yang lebih luas—terutama di tengah masyarakat yang kian menjauh dari pijakan spiritual di era krisis ekologis yang rapuh. Di dalamnya, terjalin padu pemikiran, wujud rupa, dan kedalaman makna filosofis menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyentuh.
Semesta Rupa Bhuwana Sakti
Dalam semesta rupa Bhuwana Sakti, Suardana mengukuhkan dirinya sebagai pematung yang tak hanya menggarap bentuk, tetapi juga menafsir ulang ruang dan waktu sebagai medan kehadiran ekologis. Kayu hanao yang dipilih Suardana bukan sekadar material kaku, melainkan jejak hidup alam—pernah tumbuh, menghirup udara, dan merekam bisik-bisik hutan dalam seratnya.
Dalam bingkai itu, “kulkul bumi” menjelma suara simbolik yang mengingatkan bahwa alam semesta bukan hanya panggung bagi keberadaan manusia, tetapi inti dari kesadaran yang harus dijaga. Bhuwana Sakti pun tampil sebagai wahana perenungan, mengajak kita merenungi cara manusia menempati semesta, sembari mengemban tanggung jawab untuk merawat keseimbangannya.
Kehadiran bentuk yang bulat meruncing itu menyinggung kedalaman kosmologi Hindu Bali, namun pada saat yang sama menyodorkan tafsir kontemporer atas ekologi. Dalam bayang-bayang krisis iklim, perusakan alam, dan punahnya keanekaragaman hayati, karya ini hadir bak taksu ekologis—sebuah pernyataan kuat bahwa alam bukanlah benda mati, melainkan entitas hidup yang layak dihormati. Dua celah vertikal yang menembus batang kentongan bukan sekadar simbol dari dunia sekala dan niskala, tetapi juga bisa dimaknai sebagai retakan ruang dan waktu—luka terbuka yang akan terus melebar bila manusia tak segera sadar dan peduli.
Ruang dalam Bhuwana Sakti bukanlah ruang netral. Ia adalah ruang yang ditempati oleh kesadaran kolektif—baik itu Dewa, Bhuta Kala, maupun manusia. Waktu pun tak bergerak linier. Ia spiral, berputar dalam poros mandala, seperti rotasi bumi yang menjaga keseimbangan. Waktu yang dihadirkan dalam karya ini bukanlah waktu kronologis, melainkan waktu yang bersifat ritus—mengalir dari masa silam yang sakral, menyentuh ruang batin yang hening dan penuh permenungan. Melalui karyanya, Suardana seakan menyampaikan pesan: bila manusia gagal menyelaraskan hidupnya dengan irama alam, maka yang muncul bukan keberhasilan, melainkan keruntuhan yang pelan, menyusup dalam sistem, dan sulit dihindari.
Gagasan ruang dan waktu dalam karya ini sejalan dengan prinsip Tri Hita Karana yang oleh Suardana dirayakan secara subtil. Bukan lewat petuah atau kata-kata, melainkan melalui bahasa pahat, gerak bentuk, dan kedekatan yang terjalin antara tangan seniman dan bahan yang diolahnya. Ia tidak menawarkan nostalgia atas keseimbangan masa lalu, tetapi membunyikan alarm spiritual bagi generasi yang larut dalam kenyamanan konsumsi. Ia mendorong kita untuk menafsir kembali makna keharmonisan, bukan sekadar sebagai ungkapan wacana, melainkan sebagai ruang nyata tempat nilai-nilai itu dijalani dan diwujudkan.
Dalam konteks cipta Suardana, seniman tidak memosisikan diri sebagai pengamat yang jauh, melainkan hadir dan terlibat langsung dalam denyut kesucian dunia yang ia hidupkan melalui karya. Melalui Bhuwana Sakti, ia menyingkap sebuah pertanyaan lirih namun mendasar: apakah manusia masih menghayati dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari alam, atau justru telah tercerabut dan menjauh dari tanah yang menjadi asal-muasalnya? Kentongan yang berdiri kokoh itu, bisa jadi adalah simbol terakhir dari panggilan yang tak boleh diabaikan: jika manusia tidak menjawab, maka semesta sendiri yang akan bersuara.
Bhuwana Sakti menandai lompatan kreatif dalam perjalanan artistik I Wayan Suardana, dibandingkan dengan karya terdahulunya seperti Termenung (2018) yang lebih bersifat sosial-kultural. Jika dalam Termenung Suardana menghadirkan sosok bendesa yang larut dalam dilema moral—terombang-ambing antara makna sakral tabuh rah dan praktik profan tajen—maka dalam Bhuwana Sakti ia mengalihkan pandangan ke poros semesta, merumuskan ulang hubungan manusia dengan kosmos melalui simbol dan kesunyian yang mendalam.
Dua karya ini sama-sama lahir dari kesadaran akan krisis nilai, namun Bhuwana Sakti bergerak melampaui kritik sosial: ia menjadi medan kontemplasi, bukan hanya berbicara kepada masyarakat, tetapi berdialog dengan alam, mengajak manusia menapak sunyi, kembali menyadari dirinya sebagai bagian dari tatanan semesta raya.
Dan pada akhirnya, dalam kekokohan karya ini, kita melihat jejak keterhubungan antara raga dan dunia. Seperti halnya kentongan yang memanggil warga untuk berkumpul, Bhuwana Sakti memanggil kesadaran kolektif untuk hadir kembali dalam ruang spiritual dan ekologis yang saling menyokong. Di tengah kerusakan lingkungan dan degradasi nilai, karya Suardana berdiri sebagai kesaksian: bahwa seni dapat menjadi doa yang kokoh, sabda yang tak hanya dibaca, tapi direnungkan dalam-dalam, karena ia berasal dari bumi yang mengandung sakti, dan menuju langit yang menyimpan janji.
W. Wisatsana, kurator, penulis seni rupa, editor buku, dan penyair.