Penulis: Warih Wisatsana *)
Semula ruang tampak remang. Di dinding terlihat samar sederetan potret serta lukisan, yang masing-masing terkesan terpisahkan. Namun sewaktu video mulai ditayangkan sebagai latar, menyusul perempuan-perempuan jelita dengan busana warna-warni hadir bergantian di atas panggung, seketika itu pula terbangun sebuah keutuhan.
Nyoman Sani dalam pembukaan pameran tunggalnya kali ini, The Adventure of My Soul (Petualangan Jiwaku), di Bentara Budaya Bali (BBB) menyuguhkan sebentuk total art, mengeksplorasi perempuan sebagai sosok simbolis sekaligus sehari-hari.
Nyoman Sani / Foto: dok. pribadi seniman |
Pada pembukaan itu, Jumat, 29 April 2011, perupa Sani (36), kelahiran Sanur, berhasil menjadikan tubuh-tubuh perempuan dua dimensi, yang awalnya terbingkai dalam kanvas dan potret serta cenderung simbolis, seketika menjadi sosok-sosok yang sungguh hidup, dari sekadar obyek tontonan yang berjarak, beralih jadi subyek atau pribadi-pribadi yang bebas meluapkan ekspresinya.
Apa sesungguhnya yang tengah digali dan dimaknai oleh Sani? Tidakkah ia semata tergoda menghadirkan ikon-ikon eksotik kontemporer, tubuh-tubuh jelita dengan gaun glamor yang diam-diam diimpikannya? Sungguhkah, melalui total art dan karya-karya rupanya, ibu dua anak ini sedang menyatakan kritik, bahkan pemberontakan pada tata nilai sosial budaya yang selama ini dirasanya tak adil, didominasi kemaskulinan sebagai turunan budaya patriarki?
Pameran Tunggal Nyoman Sani di BBB / Foto: dok. pribadi seniman |
Setelah lebih dari 17 tahun berkarya, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini memang tak pernah puas hanya berkreasi dengan karya-karya dua dimensi. Konsisten dengan tema utama tentang perempuan berikut problematiknya, Sani juga mencari kemungkinan pada seni fotografi, kreasi busana dan dunia catwalk yang wangi, bahkan melalui cipta puisi serta performance art. Pameran berlangsung hingga 9 Mei 2011, menampilkan 7 lukisan terkini, 8 sketsa, 11 foto, dan 6 buah puisi.
Metamorfosis
Mencermati karya-karya yang dipilihnya sendiri dan total art yang dirancang bersama tim kreatifnya, perupa yang telah puluhan kali berpameran di dalam maupun di luar negeri tersebut memperlihatkan tahapan kematangan tersendiri. Bila sebelumnya, sosok-sosok perempuan lebih mengemuka sebagai figur cantik yang terkesan ingin dilindungi, boleh jadi cerminan sikap Sani yang gamang dan bimbang, terkungkung peran domestik serta simpang pilihan sebagai pencipta, maka pada eksibisi kali ini terefleksikan suatu keteguhan atas keyakinan jalan kreatifnya. Gambaran itu bukan hanya terbaca pada lukisan-lukisannya yang kini lebih bebas mengurai warna dan bentuk, melainkan terefleksikan juga pada tari yang turut diarahkannya, kreasi busana yang lebih mengesankan keriangan dan kepercayaan diri, serta puisi-puisinya yang dibaca oleh penyair Oka Rusmini dan Wayan Sunarta.
Karya Nyoman Sani "Memory #1" (2023) / Foto: dok. pribadi seniman |
Simak pula karya fotografinya yang dibingkai judul tunggal ”Woman Before After”. Tak hanya menyuguhkan wajah-wajah jelita dengan berbagai ekspresi sensual serta menyiratkan kesegaran dan kemudaan, tapi juga menampilkan rupa perempuan tua dengan kerut-merut kerentaannya sebagai kontras yang penuh ironi. Hal mana ini menyiratkan bahwa sang ”jiwa petualang” Sani mencoba berdamai dengan diri seraya menyadari hakikat sang tubuh yang sejatinya memang tak kekal itu.
Hingga tahapan tersebut, tidakkah kreator ini telah kuasa membebaskan diri dari kungkungan kepompong berupa kodrat atau pandangan stereotip yang melekat pada perempuan sebagai the second sex, juga citraan kemolekan, yang disadari atau tidak, merupakan tirani estetik dan membayang-bayangi setiap tahapan kehidupan sang ”tulang rusuk Adam itu”.
Memang, sebagaimana tersirat dalam pencarian Sani, perempuan dan tubuhnya kerap dipahami secara ambigu dan paradoks. Dalam banyak sisi diperlakukan tidak adil, dikagumi kecantikan dan keagungannya selaku figur yang luhur (misal sosok ibu dan wanita suci), atau sebaliknya dipandang sebagai sumber dosa dan aib (pelacur atau pembawa kesialan).
Sani tumbuh dalam lingkungan peralihan masyarakat Bali, dari agraris ke industri pariwisata, dari komunal ke lebih individual, di mana figur perempuan dalam pemahaman umum setempat, bisa menjadi luh-luwih yakni bersifat utama, atau luh-luluh yang bermakna perekat atau penyatu keharmonian. Namun, bila tak bisa membawa diri, ia juga dapat menjadi sosok sebaliknya, luh-lulu (sampah), dengan akibat negatif bagi keluarga serta masyarakat sekitar.
Kumpulan puisi Nyoman Sani "Melodi Rasa" / Foto: dok. pribadi seniman |
Pemahaman umum di atas, dikritisi oleh Sani melalui puisi-puisinya. Salah satu judulnya bahkan secara langsung menyatakan sisi ironi perempuan sebagai luh-lulu, ”Dan Sekali Lagi Sampah…”. Dengan bahasa ambigu, melalui karya yang menyoal perihal ”tubuh yang menyerah”, perupa ini memperbincangkan pula bagaimana kemolekan dapat menjerat tubuh perempuan dalam belenggu keindahan, di mana yang bersangkutan tak menyadari bahwa dirinya adalah korban.
Dengan kata lain, melalui strategi penciptaan total art itu, perupa yang sedini awal aktif di Seniwati Gallery ini tengah memperjuangkan agar perempuan dihargai eksistensinya secara adil dan setara. Setidaknya, dalam petualangan seninya, jiwa Sani telah bermetamorfosis, dari obyek estetik menjadi subyek kreatif atau pribadi pencipta yang tercerahkan, sembari membiarkan publik menyuarakan tanya sebagaimana tersurat pada karyanya, sesuai intonasi dan artikulasi masing-masing, ”Kenapa kami perempuan? Ya…, karena kami perempuan.”
*) Warih Wisatsana, Penyair
**) Tulisan ini sudah pernah dimuat di Kompas edisi 8 Mei 2011