Bali-Bhuwana Rupa, Kreativitas Tanpa Batas

Sabtu, 24 Desember 2022 : 17:02
Rektor ISI Denpasar bersama Dr. Lukman, ST., M.Hum didamping Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni, Kaprodi Seni Murni FSRD ISI Denpasar Wayan Setem, dan Dr. Wayan Suardana/ Foto: ist.

Pameran Seni Rupa Internasional Bali Bhuwana Rupa, digelar oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, dibuka secara resmi Kamis, 8 Desember 2022 oleh Direktur Kelembagaan Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Dr. Lukman, ST., M.Hum. Mengusung tajuk “Dharma-Tirtha-Prana” serta mengedepankan upaya Kreativitas Tanpa Batas, tersaji 65 karya terdiri dari dua dimensi maupun tiga dimensi, buah cipta 42 seniman terpilih lintas bangsa, diantaranya berasal dari Prancis, Jepang, Yunani, Belanda, Australia serta dari Indonesia, termasuk Bali. 

Sebagaimana perhelatan pertama tahun 2021, penyelenggaran kali kedua ini ada dalam naungan Festival Internasional Bali Padma Bhuwana, yang mengedepankan upaya inovasi-kreativitas serta berorientasi kepedulian pada lingkungan (Recent, Innovative and Environment-Oriented). Bila pameran terdahulu sepenuhnya disajikan secara virtual (daring), kali ini hadir langsung di ruang pameran (luring) sekaligus memaknai purna pugar (renovasi) Gedung Nata-Citta Art Space (N-CAS) ISI Denpasar, berlangsung hingga 8 Januari 2023. 

Foto: ist

International Art Exhibition yang dikuratori oleh Nyoman Dewi Pebryani, P.hD., Warih Wisatsana dan Wicaksono Adi ini, bukan hanya menghadirkan karya lukis namun juga fotografi, keramik, patung, topeng, seni serat, dan fashion design; berikut kreativitas yang mendayagunakan kecanggihan aplikasi teknologi informasi (TI). Masing-masing seniman ini dapat dirunut jejak kreativitasnya dalam mengelaborasi aneka rupa dan tematik melalui beragam media/medium; terbukti melahirkan kemungkinan penciptaan yang serba unik autentik. 

Foto: dok/Tubagus Andre

Dalam sambutannya, Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana menyampaikan apresiasi setingginya atas partisipasi seniman-seniman mumpuni lintas bangsa pada  perhelatan seni rupa ini. Kehadiran mereka, yang memiliki reputasi dan pengalaman panjang penciptaan, selaras semangat penyelenggaraan Festival Bali-Padma Bhuwana yang mengharapkan adanya partisipasi, kolaborasi dan sinergi yang berskala internasional. 

Festival Bali-Padma Bhuwana digelar sepanjang tahun, menaungi berbagai program yang dihelat oleh ISI Denpasar; antara lain Bali-Bhuwana Mahottama Nugraha (Penghargaan); Bali-Bhuwana Nata Kerthi Nugraha (Penghargaan); Bali-Bhuwana Yatra (Bali Art Trip); Bali-Bhuwana Kanti (Global Arts Projects Networks); Bali-Bhuwana Krama (Global Initiative Space); Bali-Bhuwana Waskita (Global Arts Creativity Conference); termasuk pula Bali-Bhuwana Rupa (International Art Exhibition).

“Melalui upaya sinergi dan kolaborasi serta kesediaan berbagi pengalaman penciptaan pada masyarakat, membuka kemungkinan pada seniman bersangkutan untuk menjadi seorang maestro di bidangnya. Seorang seniman, terbawa oleh gairah penciptaannya, tidak jarang lupa waktu dan lupa pada diri atau menata kehidupan kesehariannya. Sedangkan seorang maestro, dipandang telah mampu melampaui ego diri, serta terbukti mendedikasikan penciptaannya lebih sebagai sebentuk kepedulian sosial dan upaya berbagi kepada masyarakat luas,” ujar Prof. Dr. Wayan ‘Kun’ Adnyana, dikenal juga dengan karya-karya seni rupanya yang reflektif-historis serta senantiasa didasari riset mendalam. 

NATA-CITTA ART SPACE (N-CAS)

Para perupa mengapresiasi kehadiran Nata-Citta Art Space (N-CAS) sebagai ruang dengan fasilitas yang terbilang representatif untuk penyelenggaraan perhelatan seni rupa nasional bahkan internasional. Keberadaannya dalam naungan lembaga pendidikan seni ISI Denpasar memiliki arti tersendiri, dipandang bernilai strategis karena memungkinkan terjadinya kolaborasi dan sinergi penciptaan seni yang bersifat lintas bidang dan lintas bangsa. Selain itu, sinergi penciptaan tersebut diyakini akan dapat diakselerasi lebih dinamis karena dibarengi upaya kajian komprehensif secara akademis. 

Gedung Nata-Citta Art Space. Foto: dok/Tubagus Andre

“Fasilitas atau tempat pameran ini sangat bagus dan representatif untuk skala internasional. Saya berharap dapat menyelenggarakan pameran foto yang diikuti fotografer-fotografer bereputasi dari berbagai bangsa. Ini memungkinkan untuk diwujudkan, justru karena Nata-Citta Art Space (N-CAS) ini berada di bawah pengelolaan institusi seni, “ ujar fotografer Perancis Aimery Joëssel, yang karyanya juga turut dalam pameran Bali-Bhuwana Rupa ini. 

Putu Wirantawan, perupa dari Jembrana, Bali yang memiliki berbagai prestasi dan pengalaman pameran internasional, juga menyampaikan hal senada. Ia dengan antusias menyambut pameran Bali-Bhuwana Rupa dengan menghadirkan karya bertajuk “The Wandering Soul”, berukuran 381 x 244 cm. “Saya mengapresiasi ruang pameran di ISI Denpasar ini, bukan hanya fasilitasnya yang bagus melainkan juga dapat menampung jumlah karya yang banyak, termasuk yang  berukuran besar sebagaimana karya saya,” kata Wirantawan, alumni Seni Rupa ISI Yogyakarta dan peraih penghargaan First Prize Jakarta Art Awards 2010. 

Mewakili kurator pameran, Warih Wisatsana mengungkapkan bahwa sejumlah perupa hadir dengan karya-karya dua dimensi atau lukisan dengan capaian cemerlang dan mengesankan. Karya-karya mereka membuktikan kematangan dengan proses cipta yang telah teruji waktu, di mana tak ada lagi halangan secara estetik-stilistik dalam menanggapi tematik. Mereka antara lain Ketut Budiana, Nyoman Erawan, Wayan Karja, I Made Bendi Yudha, I Wayan Gulendra, I Wayan Setem, Made Sumadiyasa, Made Wiradana, Putu Wirantawan, I Wayan Adnyana, I Made Ruta, Wayan Sujana ‘Suklu’, Sujana Kenyem, Made Gunawan, I Nyoman ‘Polenk’ Rediasa, Diwarupa, Galung Wiratmaja, I Wayan Adi Sucipta, termasuk Ni Kadek Karuni yang mengemuka dengan seni rajutnya. 

Foto: dok/Tubagus Andre

Adapun karya-karya tiga dimensi ini mengemuka melalui siratan tematik. Sebagian besar pencipta berupaya mendayagunakan media/medium campuran, di mana gagasan atau pesan tidak dinyatakan dalam bahasa rupa secara langsung, lebih bersifat simbolik atau metaforik. Mereka diantaranya Made Jodog, Wayan Suardana, I Made Suparta,  Nyoman Laba, dan I Wayan Arisusila. Hal mana ini juga mengemuka pada karya topeng satu-satunya pada pameran ini, buah cipta I Wayan Sukarya.

Pematung Keiji Ujiie (Jepang) dan Filippos Bourbo (Yunani), juga menghadirkan karya yang bersifat simbolik-metaforik; meski terbaca dalam wujud rupa pilihannya suatu cara pandang penciptaan yang berbeda dari pematung-pematung Bali di atas. Kepiawaian Keiji Ujiie dan Filippos Bourbo dalam mengolah media/medium, lebih didasari cara pandang yang menempatkan subjek pencipta sebagai pusat kreativitas. Melalui karyanya, Filippos mengedepankan sosok rupa yang mengingatkan pada simbol esoteris, atau eksplorasi simbol kosmis. Sedangkan Keiji Ujiie mengolah bentuk pilihannya secara sublim, hadir sebagai karya simbolik yang imajinatif, mengekspresikan kisahan mitologi burung Phoenix sebagai lambang keabadian atau hidup yang immortal. Seturut itu layak pula disimak karya fotografi Ted van der Hulst (Belanda) dan woodcut print dari pegrafis Paul Trinidad (Australia).

Demikian pula pada karya-karya keramik, Ketut Muka Pendet, Rai Wahyudi dan Ida Ayu Artayani tidak tergoda untuk menjadikan tema pameran kali ini sebagai sebentuk pengucapan rupa. Karya keramik mereka justru menegaskan bagaimana kecakapan teknis telah menjadi sesuatu yang organis dalam proses cipta mereka.  

Foto: dok/Tubagus Andre

Sebagaimana pameran Bali-Bhuwana Rupa pertama, kali ini fashion design juga menawarkan kreativitas yang tidak biasa. Bila dulu Tiarma Sirait menimbang desain tekstil ragam etnik sebagai wujud ekspresi yang tak bersifat eksotik terlebih turistik, maka Tjokorda Gede Abinanda (Tjok Abi), Tjok Ratna Cora Sudarsana, Dewa Ayu Putu Leliana Sari, dan Yuni Diantari; juga menyuguhkan sentuhan penciptaan yang lintas batas; melampaui kemilau glamor, menegaskan keautentikan karya yang mempribadi. Warna warni wastra warisan tradisi dipresentasikan secara imajinatif sebagai fashion yang menawan, mencerminkan jiwa zaman. Bukan hanya indah dipandang, melainkan juga menggoda untuk direnungkan. 

Foto: ist

Melalui pameran Bali-Bhuwana Rupa 2022 ini, terbaca upaya sebagian seniman memperluas jangkauan kreatifnya dengan mendorong praktik seni rupa sebagai bagian dari realitas yang melingkupinya. Problematika ekologis ditanggapi secara langsung, dengan mengolah bentuk-bentuk simbolis yang disarikan dari semesta ideologis sosial-kulturalnya, baik terekspresikan dalam karya dua dimensi maupun tiga dimensi. Upaya cipta yang lintas batas, dengan kreativitas yang diharapkan tanpa batas, membuka berbagai kemungkinan membangun pandangan baru; sekaligus berpeluang melahirkan karya-karya yang menawarkan kebaruan, boleh jadi sebuah masterpiece. (KATARUPA/Teks & Foto: WW & ID)


Berbagi Artikel