Dokumentasi: Bentara Budaya Bali |
Dokumentasi Pribadi Nyoman Erawan |
Erawan “Beyond a Light”
Layak dicatat pula, sebuah peristiwa seni yang dihadirkan Erawan, buah kolaborasi dengan fotografer dan video maker, yakni bertajuk Erawan vs Perupa Cahaya Sejati “Beyond a Light”. Bermula dari peluncuran buku Salvation of The Soul Nyoman Erawan yang ditandai performing “Ritus Wajah Digoreng-Goreng” di Tony Raka Gallery (2012), melibatkan pula para penyair terpilih. Secara spontan pertunjukkan tersebut diabadikan oleh para fotografer dan video maker yang tak pelak hasilnya memicu Erawan melakukan kreasi lebih jauh. Sejurus dengan itu, pada awal tahun 2014, Erawan secara khusus mengundang para penyair-penyair tersebut yakni Mas Ruscitadewi, Cok Sawitri, Oka Rusmini, Tan Lioe Ie, W. Wisatsana dan Wayan Jengki Sunarta guna berkolaborasi dalam Erawan vs Penyair Sejati “ Salvation of The Soul, Ritus Bunyi Kata Rupa” di Antida Denpasar, berlangsung 15 Maret 2014, mendapat sambutan antusias dari pemirsa dan media massa.
Peristiwa tersebut adalah hasil eksplorasi sedemikian rupa sehingga melahirkan sebentuk teater ritus –suatu ragam seni pertunjukan yang mengedepankan ciri-ciri ritual yaitu intensitas dan keterjagaan nan ritmis, namun tetap menyediakan ruang ekspresi bagi kespontanan. Panggung ditata dengan pendekatan visual penuh warna ala Erawan yang sugestif dan imajinatif, serta memungkinkan para penyair terlibat secara total, luluh menyatu dalam tata suara dan tata cahaya yang utuh secara keseluruhan.
Dokumentasi: Bentara Budaya Bali |
Melalui proses kuratorial, dokumen-dokumen foto dan rekaman peristiwa ritus seni itu kini ditampilkan melalui upaya representasi baru, yang dalam tahapannya didahului proses dialog melibatkan para fotografer dan video maker terpilih atau para perupa cahaya. Dengan demikian, mereka tidak semata menghadirkan rangkaian dokumentasi atas peritiwa, namun melakukan interpretasi bersama melalui sebentuk representasi dan persepsi “baru”. Dalam ruang dan waktu penciptaan tersebut, Erawan dan enam Perupa Cahaya ini menggali dan melampaui batas-batas konvensi pemahaman kita terhadap foto atau dokumentasi, serta masing-masing dengan cara otentik dan unik mendayagunakan kekuatan cahaya sebagai medan kreativitas.
Dokumentasi: Bentara Budaya Bali |
Apa yang bakal terjadi? Apakah foto-foto yang ditampilkan, dan juga direspon oleh Erawan, menjadi sebentuk karya rupa yang kukuh berdiri sendiri atau sekaligus mencerminkan proses demi proses dari seni ritus yang dijalani selama ini? Adakah presentasi kali ini, yang melibatkan aneka teknik fotografi, dapat dirunutkan pemaknaannya seturut Bali diidealkan sedini awal abad 19 oleh fotografer asal Jerman, Gregor Krause? Apakah foto-foto seni ini, baik proses maupun capaian estetiknya, merupakan sebuah upaya dekontruksi terhadap citraan eksotik turistik tentang Bali yang dihasilkan fotografer tempo dulu?
Pertanyaan itu, dan juga pertanyaan lainnya, tentu saja menyertai pembacaan kritis publik seni pada rangkaian peristiwa penciptaannya. Dengan demikian, terbuka medan tafsir yang makin luas dan mendalam, sejalan juga dengan kebebasan para hadirin memaknai karya demi karya Erawan yang terpajang dua dimensi di dinding serta tervisualisasikan dalam ragam tiga dimensi, instalasi atau bentuk lainnya.
Dokumentasi: Bentara Budaya Bali |
Ketegangan antara sang Aku yang individual dengan ruang jelajah ekspresinya yang personal, berhadapan sang Diri yang komunal berikut jalinan aktivitas sosial kesehariannya; tecermin dan hadir dalam karya-karya Nyoman Erawan. Pada karya dua dimensi di kanvas, sosok Aku sesekali muncul sebagai wajah ‘Erawan’ dalam beragam tampilan emosi; semisal sepekikan protes atau luapan batin yang tak tertahan. Sedangkan pada karya-karya instalasi dan performing, sang Diri ‘Erawan’ itu lebur menjadi berbagai kemungkinan visual yang ekpresif dan dinamis; menyarankan berbagai tafsir dan pemaknaan.
Namun keseluruhan karya tersebut, baik sang Diri yang personal maupun komunal, datang kepada kita secara sugestif melalui ragam iramanya yang ekspresif dan dinamis, serta diselingi intensitas pengulangan (baca; gerak atau sapuan warna atau bunyi-bunyian) yang seringkali bersifat ritmis. Demikianlah wujud obsesif kreatifnya yang selama lebih 30 tahun telah merundung proses ciptanya. Bolehlah dikata bahwa karya-karya Erawan tak bisa lagi dibingkai atau digolongkan dalam satu ‘isme’ tertentu; karena hakikatnya ia memang seorang kreator yang lintas batas. Maka, lawan tertangguh bagi Erawan adalah dirinya sendiri, sebentuk rundungan pengulangan (mannerisme); dan hingga kini dapat dicatat bahwa sang kreator ini kuasa melampaui tirani estetika capaiannya sendiri tersebut.
* Warih Wisatsana, Penyair dan Kurator
**Tulisan ini adalah pengembangan dari berbagai tulisan Warih Wisatsana yang telah dimuat di majalah Galeri terbitan Galeri Nasional serta dalam pengantar pameran Nyoman Erawan