Matinya Seorang Pejuang: Melampaui Sensasi, Meraih Esensi

Kamis, 18 Maret 2021 : 23:58

A Tribute to Munir

Penulis : Warih Wisatsana

Sumber: Pinterest/Primada Aqsa
Meski hanya sebuah dunia rekaan, jalinan peristiwa di atas panggung kerap bersisian, bahkan sering tak berjarak dari kenyataan keseharian. Juga sebagaimana terjadi dalam kehidupan, pertautan yang rumit antar-tokoh, konflik dan alur penyelesaiannya, melahirkan pahlawan, menghadirkan pengkhianat dan tak ketinggalan kisah kemanusiannya menawarkan pula renungan. Manusia memang penuh kompleksitas, dengan berbagai lapis kesadaran yang tak sepenuhnya terjelaskan. Maka pertunjukan yang utuh dan indah, adalah keniscayaan yang tak mudah diwujudkan. Terlebih lagi Monolog Matinya Seorang Pejuang, A Tribute to Munir, prosesnya sesungguhnya jauh lebih pelik dari pada itu.

Di studio Geoks, Singapadu, Gianyar-Bali, Sabtu 9 April 2005, Whani Darmawan menyiratkan kepelikan penggarapan monolog itu. Lihat saja, bagaimana dia sedari awal berjuang mencairkan batas antara panggung dan ruang pertunjukan secara keseluruhan. Bahkan sebelum kata pertama diucapkan, sewaktu satu-persatu penonton datang memilih tempat duduk, Whani sudah bergerak merenggangkan badan dari satu sudut ke sudut panggung yang lain –panggung yang ditata minimalis, dengan sepotong meja, satu kursi dan sebuah bangku, yang semua terdiri dari kayu. Tentu hal ini bukan semata memenuhi tuntutan naskah, ditulis Rudy Gunawan, melainkan juga arahan sutradara, Landung Simatupang, yang boleh jadi menyadari bahwa di benak publik ada berlapis sosok Munir yang mengundang aneka tanya dan tafsir.

Begitulah kenyataannya, sosok Munir di atas panggung dan juga di ruang kesadaran penonton, memang tak bisa sepenuhnya hadir secara imajiner. Tragedi yang dialami pejuang HAM (Hak Asasi Kemanusian) dan anti kekerasan ini, hingga kini masih terus bergaung di ruang publik. Kematiannya yang tak wajar di atas pesawat Garuda, dengan racun arsenik dosis tinggi, justru menjadikannya dirinya tetap “hidup”. Liputan yang gencar dari media massa dan audiovisual, disadari atau tidak, adalah sebuah “pertunjukan” tersendiri, yang masih berlangsung memenuhi ingatan kolektif sebagian masyarakat Indonesia yang peduli, juga warga dunia lainnya. Di sinilah pangkal soalnya: penulis naskah, sutradara, aktor, dan segenap kru pendukung, oleh karena itu adalah kreator yang sesungguhnya jauh dari keleluasan dan kebebasan penciptaan. Juga publik pemirsa, pada galibnya bukan penonton sebagaimana lazimnya.

Lakon monolog kali ini, apa mau dikata, tidak bisa dibaca sekadar peristiwa panggung biasa Setiap pilihan artistiknya adalah pertaruhan, dan mengandung resiko dipahami serta disikapi oleh publik secara sebaliknya. Dari rancang panggung, tata gerak dan musik, hingga penulisan naskahnya, seperti disuratkan di atas, serta juga disiratkan Rudy Gunawan dan Whani, tak mungkin sepenuhnya bersandar pada apa yang disebut sebagai realitas imajiner. Tewasnya Munir, kasat mata, adalah buah konspirasi, yang pengusutannya melahirkan kesan “ sandiwara” berkepanjangan. Maka disengaja atau tidak, ada aneka bias sensasi di sini. Fakta-fakta ini tak mungkin diabaikan, tak patut begitu saja di-fiksi-kan dalam pertunjukan monolog ini.

Menghindari atau melampaui sensasi guna meraih esensi, memerlukan siasat seni yang mumpuni. Perjuangan ke arah itu, dalam monolog ini menjadi tidak mudah- apalagi labirin kemungkinan yang dibahas di atas berpeluang mengasingkan pelakon dari penonton, bahkan jauh sebelum pertunjukan dimulai. Untuk publik yang begitu berjarak ini, dengan aneka bias sosok Munir dalam benak mereka, diperlukan upaya artikulasi bentuk yang cerdas. Apalagi rentetan kejadian yang menimpa Munir ini, sejatinya sulit untuk “diringkas” dalam 45 menit pementasan. Upaya berartikulasi ini, tak terhindarkan lagi bergantung juga pada rancang-bangun naskah- di mana penulisnya, dalam penggarapan monolog ini, diandaikan sebagai penafsir pertama atas kemelut di seputar tokoh HAM yang sejatinya berkepribadian sederhana ini.

Sebagai penulis lakon yang punya kedekatan pribadi dengan Munir, Rudy cukup jeli menimbang sudut pandang tokoh yang akan dihadirkan di panggung. Ia tidak terjebak pada sosok publik yang heroik, terhindar dari kulktus individu, dan juga sosok-sosok “klise” lainnya, yang diduganya berkecamuk dalam benak calon pemirsanya. Yang dipilih tampil kemudian adalah dua pribadi yang erat bersahabat, yang seorang mewakili Munir, yang lainnya adalah teman kesehariannya: percakapan pun terasa intim, dan dengan sendirinya terhindar dari pernyataan-pernyataan yangbersifat bombastis, sloganis dan agitatif. Alur cerita mengalir secara runut, yang mencuat ke permukaan adalah kehangatan persahabatan. Munir hadir secara wajar, terasa sangat manusiawi. Seperti lumrahnya dalam keseharian, dialognya tak berpretensi untuk cerdas berlebihan. Simak saja: Bagaimana Bung selama ini melawan ketakutan?/ Dengan kepasrahan saja.Ya, aku hanya pasrah. Pasrah akan membuatmu tenang, kawan/ Bagaimana kau bisa membuat dirimu begitu pasrah?/Dengan meyakini kematian sebagai keniscayaan dan dengan menghargai hidup sebagai sebuah tanggung jawab… /Hanya itu../Hehehe, mungkin juga karena aku ingin sok gagah saja.sok terpengaruh Chairil; sekali berarti sudah itu mati! Hehehe..mungkin begitu../

Di sisi lain, Whani pun membawakan percakapan itu dengan pilihan nada dan warna suara yang jauh dari dramatik. Ini sebuah pilihan sadar, sebentuk tawaran untuk menjadikan keseluruhan bangunan cerita sebagai pemertanyaan prihal perbedaan yang esensial antara “tokoh” dan rakyat yang seolah-olah diwakilinya. Melalui monolog ini, terlihat usaha untuk “menjaga” Munir agar terhindar menjadi sosok yang terlalu dimitoskan, yang hal mana diyakini justru akan mengaburkan Nilai-nilai yang selama ini diperjuangkannya, yaitu: keberanian menyatakan kebenaran, sikap kritis pada kekuasaan yang cenderung tiran.

Whani Darmawan/Sumber: Wikipedia
Sebagai aktor yang tak sekali ini saja memainkan monolog, Whani malam itu tampil bukan sebagai pengisah yang indah, melainkan selaku penutur yang wajar. Aksi panggungnya cenderung terkendali, tanpa terlalu banyak adegan yang mengesankan sebagai “rekayasa” akting. Ini selaras dengan tata artistik Hendro Suseno dan garapan musik Tony Prabowo, yang sama-sama minimalis, di mana kemurungan panggung dipertegas oleh sesekali suara deru pesawat terbang yang menjauh dan menghilang. Kewajaran yang sedari awal diyakini sebagai bentuk dasar pertunjukan, agaknya menjadi arahan dalam merancang dan memilah struktur dramatuginya. Cara bertutur seperti itu, kiranya cukup jitu, setidaknya untuk menjauhkan pementasan kali ini dari pesan moral yang artifisial dan verbal. Keseluruhan adegan yang tumbuh di atas panggung, laiknya buah catur yang dimainkan sesekali oleh Whani, berkembang menuju suatu keutuhan sebagai simbol atau nilai. Dan Nilai itulah yang akan terus diperjuangkan melalui rentetan pementasan, antara lain telah berlangsung di Yogyakarta, Surabaya, Malang, Denpasar, kemudian menyusul Mataram, dan akan berakhir di Jakarta.

Secara sadar dan penuh pertimbangan, Landung Simatupang, sebagai sutradara, menyikapi naskah dengan pilihan cara bertutur seperti itu. Ia meyakini bahwa monolog ini, dengan segenap kompleksitas yang menyertainya, membawa pesan yang nir-indrawi. Pesan itu perlahan akan sampai juga ke publik, justru karena penontonlah yang diyakininya berpotensi besar menjadikan peristiwa pergelaran ini menjadi “tidak biasa-biasa saja”.Ya, sebentuk teater “pikiran dan batin” yang terus berlangsung dalam diri tiap penonton yang tak jemu merenung dan meyakini: bahwa Munir sebagai mahkluk fana bisa saja dihilangkan atau dibunuh, namun sosoknya sebagai Nilai justru akan dan harus tetap hidup. Dengan itu, sebagimana diniatkan dari awalnya, pegelaran monolog ini diharapkan tak hanya berhenti menjadi peristiwa kesenian semata.


* Tulisan ini pernah dimuat di KOMPAS, edisi Minggu, 17 April 2005

Berbagi Artikel