SERUPA JKP 2021: Saling Silang Kreatif yang Penuh Kemungkinan

Selasa, 29 Juni 2021 : 13:54

Penulis : Ni Wayan Idayati*

Suasana tampak berbeda di halaman Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Jl. Cok Agung Tresna No.109, Denpasar, Sabtu petang (26/06). Sejumlah orang seolah asyik masyuk dalam aktivitasnya sendiri-sendiri; ada yang dengan khusyuk menggores garis atau menghablurkan warna di atas kanvas, ada pula yang memainkan gitar membawakan beragam aliran, dan bergantian para pembaca puisi tampil ekspresif mengelilingi panggung. 

Penampilan penyair Mira MM Astra membacakan puisi sambil merespon karya lukisan/Foto: dok JKP

Ya, mereka sejatinya sedang melakukan sebuah Happening Art, dan tak terasa waktu pun beranjak menuju malam. Pertunjukan kolaboratif yang terkesan tidak saling bertaut dan tanpa skenario itu sesungguhnya merupakan satu kesatuan yang utuh dan padu, bagian peristiwa kesenian bersama “Paras Paros Seni”, melibatkan penyair, perupa, dan pemusik. 

Happening Art yang terangkai dalam SERUPA JKP 2021 ini ialah saling silang kreatif antara penyair, perupa, dan pemusik; kolaborasi lintas media Kata, Rupa, dan Suara. Perupa Made Sumadiyasa misalnya, yang tampil pertama kali, membawakan lagu mantrais dengan iringan gitar, lalu disambut pembacaan puisi oleh penyair-dokter Dewa Putu Sahadewa, dan gerak tari oleh Heny Kesari. 

Di sisi panggung yang lain, sejumlah perupa seperti Ketut Putrayasa, Made Gunawan, Galung Wiratmaja, Wayan Sujana Suklu, Made Kaek, Made Sumadiyasa, Bakti Wiyasa, Putu Sudiana Bonuz, dan Kadek Dedy Sumantra Yasa mulai meluapkan imajinasi spontan mereka sebagai respon atas suasana atau peristiwa di atas panggung. Penonton dan perupa-perupa lain yang hadir pun turut berpartisipasi serta berinteraksi dalam beragam cara. 

Mereka bagaikan menari, bergerak dengan bebas menumpahkan warna warni cat di atas kanvas atau kertas, bahkan secara khusus Made Kaek menghadirkan lempengan seng sepanjang 12 meter yang sesekali dihentakkan berbunyi, guna merespon musik, puisi, serta gerak yang bersahutan sedemikian rupa.

Happening Art dan sinergi kreatif 

Bila dirunut lebih jauh, Happening Art bukanlah ragam ekspresi seni yang terbilang baru. Kehadirannya seturut dinamika seni kontemporer dunia, boleh dikata bagian dari Seni Rupa Pertunjukan—yang dalam penampilannya melibatkan berbagai unsur seni panggung, seni rupa, dan olah gerak. 

Kata ‘happening’ atau ‘Terjadi’ merujuk pada suatu peristiwa yang berlangsung saat itu juga dan tidak berulang. Istilah ‘happening’ dalam konteks kesenian dilontarkan pertama kali oleh Allan Kaprow pada tahun 1959 untuk menggambarkan sebuah peristiwa seni yang tengah berlangsung di peternakan Goerge Segal. 

Gagasan Allan Kaprow itu sebenarnya telah mulai bertumbuh sejak mengikuti proses kreatif eksperimental antara perupa perupa Robert Rauschenberg, Jasper John, dan pemusik John Cage di Black Mountain melalui karya happening yang berjudul Theatre Piece #1 pada tahun 1952—di mana Allan merupakan mahasiswa John Cage. 

Namun, happening art di JKP sungguh sebuah presentasi otentik, ala Paras Paros Bali; sebuah sinergi yang menggambarkan keguyuban dan kegayengan pergaulan komunal masyarakat sedini budaya agraris berkembang di pulau ini. 

Kritikus sastra dan akademisi Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., yang sedari petang hingga malam mengikuti happening art tersebut, menyebut peristiwa kolaborasi lintas media itu sebagai ‘Pasatmian’—berasal dari kata Satmiya, yang dalam Bahasa Sansekerta berarti menjadi satu, dipersatukan, satu dalam hakikat, satu dalam sifat dasar, atau cocok dengan sifatnya. Pasatmian diartikan Darma Putra sebagai sebuah ‘hybrid’, bukan semata mencerminkan rwabhineda.

Penyair Wayan Jengki Sunarta meluapkan ekspresinya dalam lukisan/Foto: dok JKP

Ya, ‘Happening’ menjadi cikal bakal ‘Performance Art’ yang lahir dari elemen teaterikal Dadaisme dan Surealisme. Pada tahun 1960-an, terminologi ‘performance art’ berkembang pesat di Amerika dan Eropa. 

Happening Art menekankan pula partisipasi penonton, sebuah konsep yang berkembang atau terilhami dari penampilan Futurists (Futurisme), yakni kaum aliran avant-garde yang muncul di Italia sekitar tahun 1908-1909. 

Karena happening art memang berkecenderungan Futurists, untuk melakukan pendobrakan pada ‘the fourth wall’ atau kesadaran medium (medium awareness), maka tidak heran bila para perupa, penyair, pemusik, melakukan penghayatan pada suasana kebersamaan itu dengan kuat dan menegaskan tidak ada lagi batas antara penonton dan karya seni yang tengah dipresentasikan. Penonton dan yang ditonton lebur, bahkan saling berinteraksi melahirkan sebuah karya atau peristiwa seni baru penuh kemungkinan. 

Saling respon perupa Made Kaek dan penyair Mira MM Astra/Foto: dok JKP

Paras paros seni JKP

Dalam 'Paras Paros Seni' di JKP, panggung bukan hanya milik musisi Heri Windi Anggara dan Pandu Sukma, atau penyair Dewa Putu Sahadewa, Warih Wisatsana dan Mira MM Astra. Terbukti para seniman lainnya juga berkreasi dan meluapkan ekspresi lintas media; perupa Made Sumadiyasa bermain gitar dan menyanyi, Gunawan dan Galung memainkan gitar serta seruling, penyair Wayan Jengki Sunarta melukis, dan Putu Sudiana Bonuz membaca puisi. Ada pula sosok-sosok seniman muda yang terlibat, semisal Bonk Ava, Ayu Chumani, Mediana Ayuning Putri. Saking intensnya, mereka  seolah setengah 'ketakson' atau mengalami 'ekstase kebersamaan'; bergerak bebas dan ekspresif meluapkan diri. 

Interaksi spontan juga ditunjukkan misalnya oleh penyair Pranita Dewi yang langsung terpantik membacakan puisi di tengah penampilan musik dan para perupa yang tengah melukis. Atau, seniman Wayan Sujana Suklu yang menampilkan drawing on novel meminta beberapa sastrawan untuk merespon kembali melalui melalui kata, kalimat, atau frasa terkait dengan visual yang telah dia buat sebelumnya.  

Suklu bahkan mempresentasikan pencapaian seninya selama ini dengan sengaja menutup matanya kemudian melakukan respon pada sebuah teks atau novel yang sudah belasan tahun menjadi objek kajian estetik, stilistik dan tematiknya. Dengan menutup mata, sebagaimana disampaikannya, bahwa daya intuisi dan memori diri seseorang dapat menghadirkan luapan artistik yang dapat dibaca dan dimaknai sebagai karya seni--sebuah interteks ala Suklu. 

Proses melukis Made Sumadiyasa/Foto: dok JKP

Ini menunjukkan bahwa peristiwa seni tersebut telah melebur baur dan memicu aneka kemungkinan kreatif; hasil karya seni dari perupa, musisi, maupun penyair tidak absolut, melainkan tergantung pada bagaimana respon masing-masing atas suasana, kejadian yang ditangkapnya seketika dan saat itu juga. 

Digelar bersama Jatijagat Kehidupan Puisi (JKP), Bali Mangsi Foundation dan Dermaga Seni Buleleng (DSB), ‘Paras Paros Seni’ merupakan silahturahmi dan ajang berbagi ekspresi. Kegiatan ini didasari sinergi kreatif saling asah asih asuh guna meraih kebersamaan penciptaan yang guyub, hangat dan berkelanjutan; berikut pengharapan lahirnya karya-karya unggul penuh kemungkinan. 

Salah satu pendiri JKP, Dewa Putu Sahadewa, mengungkapkan bahwa kolaborasi ini berkembang dari program peluncuran buku puisinya “Gajah Mina” yang terinspirasi dari lukisan-lukisan Made Gunawan. 

Penampilan pembacaan puisi Dewa Putu Sahadewa/Foto: dok JKP

“Saya ingin mengembangkan kolaborasi tersebut dengan mengajak pemusik. Jadi dengan demikian puisi dapat diterjemakan menjadi lukisan atau lukisan diterjemahkan ke puisi, musik diterjemahkan ke puisi, atau musik diterjemahkan ke lukisan. Jadi ada kolaborasi yang saling berinteraksi serta salin merespons. Saya juga ingin melihat kepekaan yang dimiliki oleh seorang seniman terhadap lingkungannya ataupun aktivitas sesama seniman lainnya, “ungkap Sahadewa. 

Sahadewa menjelaskan bahwa karya-karya yang dihasilkan tidak harus langsung terselesaikan, tetapi dapat dilanjutkan lagi dengan pendalaman masing-masing seniman untuk mencapai karya yang lebih utuh. 

Sementara itu, Hartanto, Pendiri Bali Mangsi Foundation, yang merupakan salah satu penyelenggara acara ini menyebut bahwa di saat pandemi kreativitas seniman tidak boleh terhenti. “Apapun keadaan yang ada, seni, harus tetap hidup,” ujar Hartanto. 

Ia menuturkan, selain untuk memotivasi diri sendiri, adanya kreativitas seni juga untuk memotivasi masyarakat.  “Jadi jangan pesimis dengan keadaan ini. Dengan optimisime pasti ada jalan keluar,” ujarnya.  (*)


Ni Wayan Idayati, penyair, esais. Karya-karyanya dimuat di berbagai media: Kompas.id, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Bali Post, Lombok Post, Radar Banyuwangi, dll. Tahun 2020 meraih Juara Utama Lomba Penulisan Kritik Seni yang diselenggarakan ISBI Bandung. Antologi puisi tunggal pertamanya berjudul “Doa Ikan Kecil” terbit tahun 2019 (Yayasan Sahaja Sehati).
Berbagi Artikel