Rejang Shanti, Dedikasi Bulantrisna Djelantik untuk Negeri

Rabu, 05 Mei 2021 : 10:48

Penulis : Ni Luh Febri Darmayanti

Rejang Shanti/Foto: Vanesa Martida
Hiasan kepala terbuat dari lontar bak bunga menyulut sorai kehidupan. Tata rias dan kostum sederhana melengkapi penampilan para penari. Demikian kesan pertama menyaksikan tarian yang dinamakan Rejang Shanti, buah cipta Ayu Bulantrisna Djelantik, akrab disapa Biyang Bulan. Tarian ini dipentaskan pertama kali di hadapan penonton pada tahun 2017 lalu, di Bentara Budaya Bali (lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia yang bertempat di Jalan Ida Bagus Mantra No. 88 A Ketewel, Gianyar).  

Terinspirasi oleh tari klasik asal pulau dewata, tarian ini tak kalah elok dengan tari rejang pada umumnya. Tari ini sesungguhnya ialah sebuah bentuk respon terhadap suasana negeri serta dunia global yang kerap dipenuhi oleh keributan, ujaran kebencian, dan kekejaman antar sesama. Menyadari keadaan dunia masa kini, sang konseptor, Biyang Bulantrisna--yang berpulang pada 24 Februari 2021--akhirnya tergugah untuk menciptakan sebuah tarian baru. 

“Banyak orang melakukan sesuatu untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang dibuat alam maupun manusia sendiri, namun saya yang sebagai penari ini akan merespon keadaan sekarang dengan menciptakan sebuah tari” ujar Biyang Bulan.

Biyang Bulan pun menggagas tari ini guna membagi kesadaran untuk mengheningkan diri, menjaga dan meruwat diri, maupun lingkungan. Kita harus menjaga diri dengan menjaga hati, mulut, mata, dan telinga. Beberapa tujuan tersebut tercermin dalam gerakan penarinya yang gerakannya terdapat menyiratkan makna menutup mulut.

Rejang Shanti/Foto: Vanesa Martida

Melalui tarian ini, tentunya diharapkan dapat menyatukan kalbu menghadap sang pencipta. Hal ini pula seraya menghaturkan bakti atas perlindungan dan berkah yang diberikan-Nya. Konsep tari ini tidak hanya berpedoman dengan perilaku manusia sehari-hari, namun pula mengingatkan manusia agar selalu mengingat Tuhannya dengan gerakan mengengadah ke langit-langit beberapa kali. Kemudian, berbalut selendang putih, penari dengan anggun melenggokkan badan dengan selendang itu menyerupai gelombang air yang memiliki makna tersendiri.

Iringan Musik dan Kostum

Uniknya, tarian ini dirancang dengan konsep dengan iringan vokal mengeksplorasi olah vokal tradisi dan vokalisasi gamelan melalui seni genjek. Kostum penarinya yakni menggunakan kain tenun endek (handwoven) warna-warni sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, makna lainnya yakni untuk menghargai kekayaan tekstil daerah Bali.

Tari Rejang Shanti ditarikan oleh berbagai kalangan usia diantaranya dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Di mana dalam pengelompokkan tarian ini dinamakan dengan nama kelompok khusus diantaranya Rejang Niang (untuk kalangan lansia), Rejang Biyang (untuk kalangan wanita dewasa), Rejang Jegeg (untuk kalangan remaja putri) dan Rejang Alit (untuk kalangan anak-anak), yang secara keseluruhan kompak ditarikan bersama-sama.

Rejang Shanti/Foto: Vanesa Martida

Di samping hal itu, hal yang menarik dari tarian ini adalah lirik lagu yang diciptakan oleh Cok Sawitri. Terkenal sebagai seorang penulis novel, Cok Sawitri dengan apik mencipta lirik demi lirik yang menggugah hati demi perdamaian semesta. Tidak tanggung-tanggung, selain bahasa Indonesia, liriknya pun ada yang berbahasa Bali. Sehubungan dengan konteks bahasa, hal ini memang sengaja dibuat agar bahasa Bali tentunya mendapat ruang di kancah dunia.

Terakhir, gerakan melingkar seperti tari Rejang pada umumnya menyudahi terian ini. Biyang Bulan pada kesempatan itu pula menunuturkan bahwa tarian ini akan dikenal oleh banyak pihak terutama karena gerakan sederhana dan konsep tarian ini. Diharapkan dengan banyaknya publikasi mengenai tari Rejang Shanti, masyarakat pula dapat menyadari bahwa bela negara tidak hanya dapat dilakukan oleh pengemuka negara saja. Namun, segala profesi juga dapat melakukannya −termasuk seorang penari.

Maestro Biyang Bulan telah membuktikan dedikasinya untuk tari sedari usia 7 tahun. Baginya, penciptaan tari bukan hanya untuk hiburan semata namun untuk menggambarkan kesadaran masyarakat itu sendiri. Selamat jalan, Biyang. Karya-karyamu akan selalu terkenang. 


Editor: Ni Wayan Idayati


Berbagi Artikel