Puisi Prosais dan Prosa nan Puitis: Resensi Buku 'Ibu Mendulang Anak Berlari' dan 'Manifesto Flora' karya Cyntha Hariadi

Rabu, 05 Mei 2021 : 12:05

Penulis: Ni Wayan Idayati

Tidak banyak penulis yang mampu menulis prosa dan puisi dengan sama baiknya. Bahasa prosa cenderung lebih bebas, tidak terbatas rima, diksi maupun bait. Sementara pada puisi, penyair harus lebih ketat dan selektif memilih setiap kata atau diksi, bahasa yang padat justru menjadi kekuatan puisi.

Cyntha Hariadi boleh jadi adalah satu dari beberapa penulis yang mampu mengolah bahasa prosa dan puisi bersamaan, bahkan mungkin mempertautkan keduanya dengan amat piawai. Puisi-puisi Cyntha didominasi gaya naratif, namun padat dan tidak bertele-tele pada penggambaran yang tidak perlu. Sementara gaya penulisan prosa atau cerpennya tak luput dipengaruhi nuansa puisi yang berindah-indah, hingga lompatan imajinasinya sewaktu menarasikan karakter tokohnya.

Melalui dua buku karya Cyntha Hariadi, yakni “Manifesto Flora” (kumpulan cerpen), dan “Ibu Mendulang Anak Berlari” (kumpulan puisi), kita bukan hanya dapat membaca kecenderungan tematik yang terus dieksplorasi sang penulis, namun juga bagaimana antara puisi dan prosa bertaut dalam rasa bahasa serta gaya penulisannya.

Pada beberapa puisi Cyntha, yang terangkum dalam buku “Ibu Mendulang Anak Berlari” (Gramedia Pustaka Utama, 2016), kita akan menemui kata-kata yang amat banal, bahkan mungkin tidak terlintas dijadikan diksi dalam puisi. Namun Cyntha terbukti mampu mengolah kebanalan tersebut menjadi diksi-diksi segar, tidak klise, serta imajinatif dan tidak artifisial. Boleh jadi sebentuk kemungkinan kreatif baru dalam penciptaan puisi.

Buku Ibu Mendulang Anak Berlari/Sumber: Goodreads
Misalnya ia menulis, “kupas kedua buah bundar ini /ah buah payudara! / tak ada yang tak suka / hitam, coklat, kuning, putih” (Payudara, hal. 9) atau  kutanggalkan satu-satu / bawahan, atasan, beha, celana dalam //kutarik tirai bak mandi /masuk pelan-pelan seperti sedang memakai sepatu kaca” (Mandi, hal. 32), juga “aku pindahkan beratku / dari pantat yang satu ke pantat yang lain menunggu / sesuatu keluar dari situ” (Kosong, hal. 52).

Dalam “Manifesto Flora” (Gramedia Pustaka Utama, 2017), Cyntha mampu mengolah karakteristik tokohnya dalam aneka latar dan sudut pandang. Cerita dan konflik dinarasikan mengalir, meski pada beberapa judul dibutuhkan lebih dari sekali untuk membaca dan memahami konteks atau latar belakang psikologis si tokoh, serta pilihan sikap yang kemudian ditawarkan sang penulis.

Sejumlah cerpennya coba dihadirkan dalam bingkai puitik, bahkan mungkin sebentuk prosa liris, seperti “Melankolia” yang ditulis dengan penomeran bait. Akan tetapi upaya eksplorasi gaya penulisan cerpen ini boleh dikata belum semenonjol capaian dalam karya puisinya. Meski tetap harus diakui bahwa ada sebentuk lompatan kreatif dalam penggambaran konflik dan penokohan pada cerpen-cerpennya, lapis psikologis lain dibandingkan dengan karya puisinya.

Buku Manifesto Flora/Sumber: Goodreads
Puisi-puisi Cyntha jelas bukan puisi yang harus dibaca berkali untuk ditafsir maksudnya. Dengan sekali membaca, kita sudah mendapatkan gambaran dunia perempuan yang ingin dihadirkan penulisnya; kegembiraan dan perayaan, serta pengalaman menjadi seorang ibu. Di sebalik itu, ada sebentuk pernyataan sikap yang jelas tentang peran dan posisi perempuan, khususnya di tengah masyarakat urban kini. Keunggulannya terletak pada eksplorasi bahasa dan pengalaman personal penulisnya, seperti seorang anak takjub mendapatkan mainan baru , ia asyik bermain-main dengan kata, diksi, dan bentuk.

Cyntha juga kuasa menghadirkan kepolosan dan memainkan imaji sebagai seorang anak yang takjub pada hal-hal baru di sekitarnya, seperti dalam puisi “Hutan Seribu Hektar”. Ia membawa diksi sehari-hari, yang dekat dengan pengalamannya sebagai perempuan, sebagai ibu, menjadi imaji universal bagi pembaca.

Sosok Perempuan dalam Aneka Lapis

Karya-karya Cyntha Hariadi, baik cerpen maupun puisi, sama-sama berbicara soal sosok perempuan dalam aneka lapis identitas, atau hubungan Ibu dengan Anak, serta dalam beragam konteks sang penulis juga menghadirkan puisi atau cerita-cerita yang berlatar di luar negeri –yang mana jelaslah tak tertepis bahwa latar itu boleh jadi merupakan sumber ilham atau pengalaman nyata penulisnya. Melalui pembacaan tematik tersebut, berikut ciri latar yang serupa –yakni beberapa bertempat di luar negeri, kita juga dapat memahami kekuatan dari masing-masing karya-karya ini.

Buku “Manifesto Flora” merangkum 23 cerita pendek. Tokoh-tokoh di dalamnya adalah sosok manusia sehari-hari, –orang-orang dalam masyarakat urban dengan karakteristik yang sering kita temui, bahkan mungkin kita sendiri. Mereka tergambarkan sebagai manusia-manusia yang menyimpan berbagai kontradiksi, antara kemelut bathin dan pilihan sikap yang diambil atas realitas yang dihadapi. Maka tidak mengherankan bila sewaktu membaca kisah-kisah, konflik dan dilema yang dihadapi para tokoh ini, seolah tengah becermin pada keseharian kita.

Dalam buku ini Cyntha cenderung menghadirkan sosok perempuan yang dipenuhi keterasingan, hampa, kecewa dan pengingkaran, pemertanyaan eksistensi, hingga soal “keperempuanan” itu sendiri.

Misalnya dalam cerpen “Amerika I” dan “Amerika II”, di mana Aku dinarasikan sebagai tokoh yang mengalami kehampaan serta keterasingan ketika berada jauh dari kampung halaman.

Cerpen “Amerika I” dibuka dengan narasi “… aku berharap diriku ikan. Ia sudah mati ketika dibekukan dan masih ada orang yang mengunjunginya di lemari es.…”(Amerika I, hal. 32).

Lalu pada halaman lainnya Cyntha menulis : “…. Tidakkah mereka seperti diriku juga, singgah kemudian betah? Asing kemudian biasa? Hilang kemudian menemukan diri yang baru?  “ (Amerika I, hal. 37-38).

Cyntha Hariadi menghadirkan pemertanyaan soal definisi “keperempuanan” lewat “Setengah Perempuan I” dan “Setengah Perempuan II”. Tentang seorang Ibu yang dirundung rasa bersalah karena anak lelaki satu-satunya bangga menyebut diri “setengah perempuan”. Juga pergumulan bathin istri yang dianggap belum menjadi perempuan seutuhnya lantaran belum memiliki anak. Penulis seolah mengajak pembaca merenungi kembali soal konteks “keperempuan” ; apakah hanya sebatas persoalan gender, kodrati, ataukah ada hal-hal lebih dalam daripada itu –yang mungkin terangkum dalam definisi normatif.

Dalam “Menifesto Flora”, Cyntha nampaknya lebih tegas menyatakan pilihan sikap sang tokoh Flora, gadis 14 tahun, yang merindu kehangatan dan kebersamaan keluarganya sebelum dipisahkan oleh teknologi komunikasi. Ia dengan jelas menyatakan, “..semakin panjang setiap tut semakin jauh terasa mereka berada dan semakin pendek harapanku agar mereka cepat pulang. Ketika kita bisa dihubungi di mana saja, pulang menjadi tujuan terakhir, bukan utama.” (hal. 70).

Sementara keterasingan dan pengharapan akan pengakuan atau eksistensi terbaca dalam cerpen “Rose”. Seorang perempuan “pribumi” yang bersuamikan orang asing nan kaya tidak seketika menjadikan Rosminah diakui dalam lingkungan sosial barunya. Ia bahkan merasa teralienasi dari sang anak Maureen, yang lebih bangga berayahkan orang asing, dan sebaliknya malu pada ibunya yang “pribumi”.

Berbeda dengan karakteristik tokoh yang dihadirkan Cyntha dalam cerpen-cerpennya, buku puisi “Ibu Mendulang Anak Berlari”, lebih banyak menghadirkan kegembiraan sekaligus kenaifan yang menggelitik dan amat mempribadi. Buku berisi 62 puisi ini merupakan Pemenang III Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015.

Puisi-puisi Cyntha Hariadi menggambarkan dunia perempuan sebagai seorang ibu atau anak. Sosok perempuan yang dipenuhi ketakjuban menjadi Ibu; momen melahirkan, mengasuh anak, hingga imaji dan pengharapan akan masa depan sang anak –yang memang berangkat dari pengalaman batin penulisnya sendiri (sebagaimana diungkapkannya dalam beberapa wawancara media). Di saat yang lain, ia menjelma anak yang mengisahkan hari kelahirannya, dan bagaimana ia juga akan bersiklus: /Ibuku melahirkanku /sebagai seorang anak /anakku melahirkanku /sebagai seorang ibu (Kelahiran, hal. 2).

Cyntha mampu melukiskan proses melahirkan yang bersifat personal dengan pilihan diksi yang sederhana namun imajinatif. Selain puisi berjudul “Kelahiran”, momen menjadi ibu juga digambarkannya dalam aneka lapis pengalaman lain seperti “Cium Kepalanya!” atau “Dua Aku”,  “Wajah Ini”, hingga “Ibu Mendulang Anak Berlari”. Bahkan dalam puisi “Golem” –yang dalam mitologi disebut sebagai mahluk raksasa aneh yang dibuat dari tanah liat dan dihidupkan untuk melaksanakan semua perintah tuannya, masih terasa jejak kelahiran dan temali Ibu-Anak.

Namun tentu Cyntha tidak puas hanya bermain-main dengan kegembiraan menjadi perempuan. Ia tidak luput mengkritisi peran domestik perempuan, khususnya dalam kecenderungan masyarakat urban kini.

Sang penulis mengkritisi tugas-tugas domestik sebagai ibu rumah tangga yang berkutat dengan pekerjaan memasak, bersih-bersih dan beberes, mengasuh anak, dan seterusnya. Sebagaimana ia ungkapkan lewat puisi “Beres-Beres”, tidak saja menampilkan diksi-diksi yang gamblang dan menohok, tapi ditulis dalam tipografi yang “berantakan”, yang mungkin menjadi cerminan betapa jumpalitannya kehidupan sehari-hari perempuan sebagai ibu rumah tangga. 

Pada karya prosa Cyntha Hariadi tergambarkan sosok perempuan yang lebih solider, sedangkan melalui puisinya terungkapkan sisi pribadi yang sungguh soliter. Lewat kedua karyanya ini, Cyntha Hariadi menawarkan sebuah narasi pendobrakan atas sekat normatif soal “keperempuanan”, konsep tubuh, juga ranah domestik perempuan.

 

Berbagi Artikel