Merunut Jejak Taman Siswa, Menimbang Ulang Hari Pendidikan Nasional

Minggu, 02 Mei 2021 : 13:47
Tangkapan layar acara Bincang Taman Siswa Menuju Seabad melalui media zoom

Apa kabar Taman Siswa hari ini? Masihkah nilai-nilai berikut pemikiran sang pelopornya—Ki Hajar Dewantara—relevan dengan sistem pendidikan nasional kita hari ini? Beberapa pokok permenungan itu menjadi pemantik Bincang Taman Siswa Menuju Seabad: Napak Tilas dan Sejumlah Tantangan Pendidikan Nasional yang berlangsung secara daring melalui media zoom bertepatan pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, Minggu (02/05). 

Perbincangan yang terselenggara atas kerja sama Karavan Cendekia dan Diskusi Soedjatmoko itu menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya Irna H. N. Hadi Soewito (Alumnus Taman Siswa Kediri dan Penulis Buku 'Soewardi Soerjaningrat di Pengasingan'), Widya Noventari (Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan UNS) dan Christina M. Udiani (Editor Senior Penerbit KPG), dipandu sejarawan FX Domini BB Hera. Diskusi juga dimaknai pembacaan puisi seputar Pendidikan Nasional oleh sastrawan Eka Budianta. 

Diskusi yang berlangsung guyub hangat tersebut bukan semata merunut kembali jejak historis berdirinya sekolah Taman Siswa—yang tahun depan tepat berusia seabad—berikut  nilai-nilai luhur, kultural dan kebangsaan yang menjadi landasannya, namun juga bagaimana konsep serta pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam perspektif hari ini. 

Widya Noventari menilai Ki Hajar Dewantara ini merupakan sosok yang visioner. Terbukti pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara digunakan sebagai landasan pendidikan nasional Indonesia. Namun, dirinya memberikan catatan, bahwa yang harus diteliti kini yakni bagaimana implementasi pemikiran Ki Hajar tersebut hari ini, meskipun landasan pendidikan nasional kita berpusat pada pemikiran Ki Hajar Dewantara yang sampai saat ini masih sangat fleksible. 

“Realitanya hari ini, banyak sistem pendidikan di negara kita yang sangat terpesona dengan sistem pendidikan luar negeri. Salah satu contohnya sistem pendidikan yang dilakukan di Finlandia dengan konsep bermain. Padahal, kenyataannya jauh sebelum itu Ki Hajar Dewantara sudah mengeluarkan konsep pemikirannya tentang ‘Taman’ atau bermain itu sendiri, “ ujar Widya Noventari yang dalam skripsinya mengangkat tentang Ki Hajar Dewantara. 

Sementara itu, penulis banyak buku sejarah, Irna H. N. Hadi Soewito di usianya yang telah sepuh (87 tahun) masih ingat betul pengalamannya selama belajar di Taman Siswa. Irna mengisahkan mula dirinya memutuskan pindah dari sekolah SMP negeri ke Taman Siswa, serta bagaimana pola pendidikan di sana kemudian mengubah karakter dirinya, bahkan lekat sebagai nilai yang dipegangnya hingga hari ini.

Tangkapan layar Irna H.N. Hadi Soewito sewaktu menyampaikan paparan
“Pertama kali saya masuk ke Taman Siswa, saya langsung merasakan suasana dan lingkungannya berbeda. Meskipun sekolahnya tidak sebagus sekolah saya dulu (SMP negeri), tetapi di sana saya merasa seperti keluarga. Di sana saya melihat kehidupan yang dulu tidak pernah saya bayangkan, melihat orang yang tidak punya, kemudian ada teman saya yang harus berjualan tempe sambil bersekolah. Lingkungan yang sungguh lain dari apa yang sehari-hari saya alami. Dari sana saya mulai memperhatikan lingkungan sekeliling. Taman Siswa mengubah karakter saya, “ kisah Irna H. N. Hadi Soewito. 

Ia pun melanjutkan, dari pengalaman dan nilai-nilai yang diperolehnya selama belajar di Taman Siswa, Irna berketetapan ingin mengabadikan nama Ki Hajar Dewantara. “Menurut saya, banyak orang, terlebih orang Taman Siswa sendiri, harus mengetahui pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara, “ ujarnya. Kisah-kisah itu kemudian dituangkan dalam buku 'Soewardi Soerjaningrat di Pengasingan' yang telah terbit tahun 1985, kemudian diterbitkan ulang oleh Penerbit KPG (2019).

“Penerbitan buku 'Soewardi Soerjaningrat di Pengasingan' ini sebenarnya dalam rangka kerja sama kami (KPG) dengan Balai Pustaka. Setelah kami melihat daftar buku-buku yang bisa diterbitkan ulang, oh, ini adalah buku yang penting dan menarik untuk diterbitkan, “ ungkap Christina M. Udiani dari KPG. 

Christina mengungkapkan bahwa fenomena kehadiran dan perkembangan Taman Siswa di Indonesia hampir mirip dengan yang terjadi pada Nai Talim yang didirikan oleh Mahatma Gandhi; setelah sekian periode berlalu tidak lagi ada gaungnya. Keduanya sama-sama memiliki gagasan yang besar, namun dalam realita masyarakat tidak lagi hidup. 

Tangkapan layar Christina M. Udiani dari Penerbit KPG menunjukkan buku tentang Ki Hajar Dewantara
“Namun, perbedaannya, di India kita bisa dengan mudah dan murah mengakses buku-buku (Mahatma Gandhi dan Nai Talim) karena ada yayasan yang menerbitkan karya-karya tersebut, website, hingga lembaga penelitian. Maka, ketika bertemu dengan daftar buku-buku tentang Taman Siswa ini, boleh dikata itu merupakan upaya dari penerbit (KPG) untuk menerbitkan kembali gagasan (Ki Hajar Dewantara) yang relevan, “ ungkap Christina. 

Cermin Masa Depan

Christina M. Udiani juga berbagi pemikirannya—yang selama ini menjadi satu pertanyaan besar—yakni mengapa satu-satunya ikon pendidikan nasional, yakni Taman Siswa, dengan nilai-nilai kultural, kebangsaan dan gagasan besarnya kini hanya sebuah nama; semangatnya tidak lagi bergema di hati publik luas. 

Widya Noventari tidak memungkiri bahwa selama sekian periode Taman Siswa telah mengalami kemunduran oleh berbagai faktor internal maupun eksternal. Termasuk pula soal ketimpangan ‘perhatian’ pemerintah terhadap sekolah negeri dan swasta. 

Menurutnya, kini harus ada upaya penyegaran kembali terkait pemikiran tokoh-tokoh besar bangsa sebagaimana yang dilakukan melalui Bincang Taman Siswa Menuju Seabad ini. 

Tangkapan layar paparan dari Widya Noventari
Merujuk apa yang disampaikan Christina M. Udiani, Widya Noventari sepakat bahwa dengan dokumentasi-dokumentasi yang terarsipkan itu akan menjadi literatur bagi generasi mendatang tentang warisan (heritage) pendidikan nasional. Dan ini juga bisa menjadi cerminan untuk pengembangan sistem pendidikan Indonesia selanjutnya. 

Sementara itu, dalam pidato memperingati Hari Pendidikan Nasional, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, bertolak dari pemikiran Ki Hajar Dewantara. Nadiem menyebut, esensi mendasar pendidikan adalah memerdekan kehidupan manusia.

Dalam pidato tersebut, Nadiem juga menekankan bahwa lembaran baru pendidikan Indonesia berarti transformasi. Transformasi yang tetap bersandar pada sejarah bangsa, dan keberanian menciptakan sejarah baru yang gemilang. 

Nadiem pun menyerukan untuk menjiwai dan menghidupkan kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara—Bapak Pendidikan Indonesia—agar lekas terciptanya pendidikan yang berkualitas tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia, serta terwujudnya kemerdekaan belajar yang sejati. (Teks: IDAYATI)


Berbagi Artikel