Rizoma Empat Perupa di Rumah Paros

Kamis, 01 April 2021 : 14:36
Ilustrasi karya yang dipamerkan/Dok. Rumah Paros

(GIANYAR)-Rumah Paros kembali menyediakan ruang apresiasi karya seni rupa melalui sebuah pameran bertajuk “Rizoma”. Galeri di bilangan Banjar Palak, Sukawati-Gianyar ini menampilkan karya-karya terpilih empat perupa, yakni Ida Bagus Putu Purwa, Wayan  Paramarta, Made Budiadnyana dan AA Ngurah Paramartha (Ten Fine Artists). Adapun peresmian diselenggarakan Kamis, 1 April 2021 oleh pecinta seni dan pemilik Galery Zen1, Nicolaus F. Kuswanto. 

Pemilik Rumah Paros, Made Kaek mengatakan, kendati dalam suasana Pandemi Covid-19, denyut berkesenian tidak boleh mandek. Semangat para perupa tak boleh kendor. Karena itu pihaknya menyambut baik pameran yang bertema ‘’Rizoma’’ ini. Memang terbukti, pandemi tidak menghalangi perupa melakukan penajaman intuisi untuk menghasilkan karya yang berkualitas. 

Ilustrasi karya yang dipamerkan/Dok. Rumah Paros

‘’Melalui gelar karya rupa ini, kita harapkan ruang apresiasi senirupa selalu tersedia, kendati kita masih berkutat menghadapi pandemi Covid-19. Tentu protokol kesehatan (prokes) tetap dijalankan agar penyebaran Covid-19 segera bisa diputus, sehingga ke depan pameran senirupa bisa digelar seperti sebelum pandemi,’’ ujar Made Kaek yang juga seniman ini.

Empat perupa yang berpameran, A.A. Ngurah Parartha, I Wayan Paramartha, I Made Budiadnyana dan Ida Bagus Putu Purwa sepakat bahwa pada masa yang dipaksa jeda oleh pandemi Covid-19 kreativitas sesungguhnya tidak dapat dihentikan. Meski pandemi telah menginjak satu tahun (di Indonesia dan Bali khususnya), aktivitas untuk bertemu, berdiskusi, membicarakan proses cipta, dan berkarya masih terus dirawat serupa kehidupan tumbuhan rimpang.

Demikian filosofi “Rizoma” yang menjadi tajuk pameran ini, di mana ruas batang yang terus berkelindan di bawah tanah, melahirkan akar juga tunas, pergerakannya tidak dapat dilihat meski tetap tumbuh. 

Ilustrasi karya yang dipamerkan/Dok. Rumah Paros

Adapun pameran yang berlangsung hingga 9 April ini dikuratori oleh Dewa Gede Purwita-Sukahet. Ia mengatakan, kreativitas dianalogikan oleh Deleuze dan Guattari sebagai hasil dari mesin hasrat yang bekerja terus-menerus sehingga menghasilkan kebaruan. Yang dianggap baru adalah kelanjutan yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya, sebuah kebaruan sangat mustahil dicapai ketika terjadi kemelekatan tubuh pada sebuah norma sosial, kemelekatan pikiran pada sistem mutlak pengulangan (tradisi), kemelekatan pada hirarki yang membentuk tubuh seolah berkembang (menuju kebaruan) namun sejatinya rapuh (penuh pengulangan dan tidak bergerak). 

Di sini Deleuze dan Guattari merumuskan dua tipikal bentuk masyarakat yaitu pohon dan tumbuhan rimpang atau rizoma, keduanya terdiri dari struktur, pohon dengan awal (akar) dan akhiran (ranting), sedangkan rimpang memiliki batang tumbuhan yang tumbuh menjalar di bawah permukaan tanah dengan struktur tubuh beruas yang selalu menghasilkan tunas juga akar baru. 

Pohon jika dipotong batangnya sangat memungkinkan untuk sebuah pohon menjadi mati sedangkan rizoma apabila dipotong maka ruas yang dipotong tersebut melahirkan akar dan tunas baru. Singkat kata, Rizoma selalu menumbuhkan realitas-relaitas baru meskipun dipotong menjadi bagian kecil, hal ini tidak berlaku dalam realitas pohon.

Ilustrasi karya yang dipamerkan/Dok. Rumah Paros

Kerja mesin hasrat harusnya layaknya rizoma dalam sebuah garis kreativitas, meski diputus maka akan tetap tumbuh menghasilkan akar dan tunas baru. Sehingga, dengan kata lain tubuh dalam konteks sosial tidak mesti berada dalam keterikatannya dalam sistem hirarki yang mengekang, melainkan ia dapat melekat dan juga terlepas darinya. Kreativitas tidak dipandang sempit hanya milik kuasa seniman, setiap orang memiliki kreativitasnya tersendiri tergantung dari seberapa banyak mereka mengupayakan daya kreasi dan dalam bentuk apa daya itu disalurkan. 

Dalam proses ciptanya, keempat perupa mulai melihat kembali perjalanan-perjalan pada awal bergelut dengan dunia seni rupa, mengevaluasi diri secara sederhana sehingga timbul sebuah keinginan untuk merubah pola. Pola yang dimaksud disini adalah bagaimana mereka kembali mengevaluasi bentuk-bentuk sistem praktik dalam kerja kesenimanan baik dari persoalan pola kerja secara personal maupun bentuk sistem manajerial. Melalui kesepakatan ini kemudian, mereka berempat menyepakati untuk mengkonstruksi sebuah pemikiran tentang manajerial dalam pameran.

Ilustrasi karya yang dipamerkan/Dok. Rumah Paros

Dalam pameran Rizoma, pergerakan ini berdasar pada sebuah studi kasus tentang pemahaman manajemen seni oleh para seniman (visual) Bali—notabene adalah bagian dari dunia personal mereka dalam pusaran sosial seni rupa. Oleh karenanya ada sebuah usaha untuk memantik kesadaran manajemen dalam seni, sebagaimana Becker menyatakan bahwa “Art is Collective Activity”, dunia seniman sangat naif jika dikatakan sebagai dunia individual, bahwa ada kenyataan ketika seniman membutuhkan kerja sama dengan seseorang yang berlaku sebagai manajer, sebagai asisten, dan lainya. Tolok ukurnya tidaklah berdasar pada kecepatan penjualan, melainkan seberapa penting seniman membutuhkan orang-orang di sekitarnya dan bagaimana mereka bekerja bersama untuk tujuan tertentu yang disepakati. Semangat inilah yang sebenarnya diusung oleh empat orang ini dalam pameran Rizoma, mencoba memanajemen diri dan masuk kepada wilayah dunia kesenian yang profesional.

Akhir kata, Rizoma dipilih berdasarkan kenyataan bahwa apa yang mereka lakukan selama pandemi adalah tetap menjaga api kreativitas dengan berkarya, lebih dari itu bahwa ada potongan-potongan realitas lain yang menawarkan kebaruan dan harus dihidupkan yaitu sistem manajerial, meski secara fisikal tidak sehebat cerita tentang pohon besar yang menjulang tinggi di atas tanah, rimpangakan terus menumbuhkan akar dan berkembang di dalam tanah serta memunculkan tunas baru walaupun dipotong berkali-kali. (RLS)


Berbagi Artikel