Penulis : Ganesa Putra/Jurnalis Katarupa.id
Kolaborasi selalu memungkinkan terciptanya beragam karya yang unik. Dengan latar bidangnya masing-masing, tiga kreator bertemu pada satu titik kolaborasi: Nagabanda. Mereka adalalah Putu Ajus Mulyawarman yang merupakan builder motor custom yang sudah kaya akan prestasi, Putu Marmar Herayukti, seorang kreator multitalenta yang namanya sudah tidak asing di Bali, serta Monez yang merupakan ilustrator Bali terkemuka.
Foto: Ganesa Putra |
Titik awal kolaborasi ini bermula dari commision work milik Putu Ajus Mulyawarman yang didapatkannya dari salah seorang kolektor motor custom ternama. Ketiga kreator ini lantas dipertemukan oleh commisioner tersebut untuk masing-masing menggarap satu buah karya sesuai bidangnya. Maka terciptalah motor custom buah cipta Putu Ajus Mulyawarman, mural dari Monez, dan film pendek karya Marmar Herayukti. Masing-masing karya mencoba untuk memvisualisasikan konsep Nagabanda yang menjadi titik temu mereka.
Foto: Ganesa Putra |
Putu Ajus Mulyawarman/Foto: Ganesa Putra |
Mengenai nama, ia menuturkan bahwa “Nagabanda” tercetus ketika kepala motor ini selesai dibentuk. Lekukan menyirip yang terkesan tegas pada bagian kepala motor ini dapat disimbolkan sebagai tanduk naga itu sendiri. Hal inilah yang lantas diterjemahkan oleh dua kreator lainnya—Monez dan Marmar—ke dalam proses berkarya pada bidangnya masing-masing.
Film karya Marmar Herayukti/Foto: Ganesa Putra |
Ada kesatuan yang terbangun antara motor Nagabanda dengan mural Nagabanda ciptaan Monez. Hal itu bukan semata karena mural ini menemani motor itu di ruang display sebagai latar belakang, namun susunan warna yang selaras antara keduanyalah yang memungkinan mereka tampak menjadi satu kesatuan yang utuh.
Marmar Herayukti merespon konsep Nagabanda ini melalui medium film. Dalam film perdananya, Marmar berangkat dari satu etimologi perihal tali yang mengikat siklus kehidupan. “Tali” ini merupakan pemaknaan Nagabanda dalam proses penciptaan Marmar.
Foto: Ganesa Putra |
Dalam satu konsep bersama, ketiga kreator ini berhasil memberikan suguhan yang menarik. Masing-masing berdiri tegak dan kuat dalam gerak bersama menompang konsep ini. Capaian ketiganya terbilang “berhasil” dalam menerjemahkan konsep Nagabanda ini, publik sebagai apresiator pun terpuaskan. Barangkali upaya kolaboratif semacam ini akan semakin menarik ke depannya, mengingat Bali dan konsep-konsepnya merupakan medan yang sangat luas untuk dieksplorasi bersama. Selain sebagai bentuk pelestarian terhadap konsep-konsep yang luhur, tentunya juga akan berdampak pada peningkatan eksistensi dan penguatan aktualisasi diri.
Editor : Ni Wayan Idayati