Affandi, Sang Maestro Perupa Lintas Negeri

Minggu, 25 April 2021 : 12:42

Penulis: Ni Luh Febri Darmayanti 

“Affandi adalah pelukis yang cerdas dan rendah hati. Ia melukis melalui perasaan yang digoreskan dengan tangannya, lalu lukisan itu selesai secepat kilat saat itu juga. Tampak jelas emosi yang dirasakan Affandi kala itu dalam karyanya” – Oei Hong Djien

Figur Affandi tentu telah sohor akan karya-karyanya yang mendunia. Setelah 30 tahun wafat, karyanya masih ditampilkan dan didiskusikan di berbagai kesempatan. Salah satu di antaranya yakni pada Pameran Imersif Affandi – Alam, Ruang, Manusia yang berlangsung sedari  27 Oktober hingga 25 November 2020 secara luring di Gedung A Galeri Nasional Indonesia.

Pameran Imersif Affandi di Pekan Kebudayaan Nasional 2020 (Sumber foto: Google)

Saat pertama kali memasuki ruangan, pengunjung seolah dihipnotis, dan ‘masuk’ ke dunia Affandi. Tampak ruangan yang gelap, seketika muncul cahaya yang bersumber dari proyeksi gambar bergerak (video mapping) lukisan-lukisan Affandi--terdiri dari 98 lukisan bertema alam, ruang, dan manusia dalam beragam warna. Ada yang berupa bunga matahari, wayang, potret seorang Ibu, Tari Topeng, dan masih banyak lagi. Gambar-gambar tersebut menyebar ke seluruh dinding ruangan. Selain itu, terdengar pula suara iringan musik gamelan, juga suara-suara khas yang semakin melengkapi suasana. Pengunjung seakan dibuat makin larut dalam dunia Affandi.  

Berjalan ke stand yang lain, dihadirkan 15 lukisan Affandi koleksi Galeri Nasional Indonesia periode 1940-an hingga 1970-an dengan beraneka macam warna, dan tema. Selain itu, di stand terakhir, terdapat tulisan perjalanan hidup Affandi sedari tahun 1907 hingga 2019; berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris, juga puisi ‘Kepada Pelukis Affandi’ karya Chairil Anwar.

Sosok Affandi

Affandi merupakan pelukis lintas zaman (sedari sebelum hingga sudah merdeka) ini telah melalang buana ke berbagai negara di belahan dunia. Maestro yang lahir dengan nama lengkap Boerhanoedin Affandi Koesoema ini semasa remaja tahun 1929 sempat mengajar HIS Met de Qur’an (sekolah dasar yang didirikan organisasi Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda). Di saat itulah Affandi bertemu Maryati, salah satu muridnya yang kemudian dinikahinya.

Di tahun 1933, Affandi mendapat tawaran menjadi pegawai pemerintah yang gajinya jauh lebih besar dari menjadi pengajar, dan tentu dapat memenuhi kebutuhannya. Namun, Affandi menolaknya. Dengan dukungan dari Maryati, Affandi mengukuhkan tekadnya untuk melukis. Dalam kesehariannya, Affandi justru selalu menyebut dirinya sebagai ‘Tukang Gambar’, bukannya pelukis. Selain itu, beliau juga merupakan pelopor organisasi seni rupa pertama di Indonesia yang bernama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).

Karya-karya yang dihasilkan pun sangat beragam. Tema yang diangkat berasal dari hal-hal sederhana yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu potret, kegiatan kesenian, binatang, tumbuhan, dan sebagainya. Affandi mampu meresapi, peka akan keadaan sekitar, dan mampu memberikan ‘sentuhan yang dalam’ dalam karyanya yang mungkin jika orang kebayakan melihatnya seperti hal yang biasa saja. Salah satunya ialah karyanya yang berjudul Burung Mati di Tangan. Hal ini tentu dramatis. Affandi mampu menangkap keseketikaan dan momentum dan menjadikannya ‘sesuatu’ yang bermakna.

Tahun 1940, Affandi sekeluarga pindah ke Bali untuk belajar melukis. Bali menarik perhatian Affandi karena ia mendengar banyak pelukis-pelukis di sana, selain biaya hidup yang jauh lebih murah dibanding di Bandung. Pada waktu itu belum umum seorang pelukis dari Jawa untuk tinggal di Bali. Pelukis yang tinggal di Bali kala itu dominan berasal dari Eropa, di antaranya Adrien-Jean Le Mayeur (1880-1958) dari Belgia, dan Rudolf Bonnet (1895-1978) dari Belanda. Tjokorda Gde Agung Sukawati selaku Raja Ubud kala itu meminjamkan salah satu rumahnya di Ubud untuk ditempati Affandi sekeluarga. Sebagai tanda jasa,Affandi pun memberikan kursus Bahasa Inggris kepada pemuda di Ubud.

Maka dari itu, tak heran lukisan-lukisan Affandi kemudian lahir lukisan Barong Landung dan Barong Melis yang juga ditampilkan di Pameran Imersif Affandi. Tampak kedua lukisan ini warnanya lebih gelap daripada warna lukisan yang lainnya, sehingga unsur magis Bali yang terdapat dalam lukisan itu kian jelas.

Kemudian, ditahun 1950’an keluarga Affandi melanjutkan pengembaraan mereka ke Eropa, di antaranya ke London, Paris, Belgia, dan Italia (Venesia). Setelah itu, karyanya pun semakin mendunia.

Dialog Affandi Hari Ini

Dikarenakan antusiasme pengunjung yang membludak, maka ditetapkan beberapa sesi waktu untuk berkunjung ke Pameran Imersif Affandi. Bahkan H-7 sebelum penutupan pameran, tiket sudah habis di-booking secara daring. Hal ini menandakan bahwa Affandi tetap memiliki keistimewaannya tersendiri bahkan hingga hari ini.

Beruntungnya, pameran yang juga diselenggarakan serangkaian Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) ini juga dimaknai dengan beberapa diskusi daring, salah satunya adalah Dialog Membaca Affandi Hari ini (19/11/2020) yang menampilkan beberapa speakers, yakni: Judi Wahjudin (Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Koordinator Pameran PKN 2020), Pustanto (Kepala Galeri Nasional Indonesia), Suwarno Wisetrotomo (Kurator Galeri Nasional Indonesia), Bayu Genia Krishbie (Kurator Pameran), dr. Oei Hong Dijen (Kolektor, Pemilik OHD Museum), Mutiara Marta Lena Nauli (Pengarah Kreatif Pameran), serta turut bergabung pula Kartika (putri Affandi).

Affandi di Google Doodle 

Bukan hanya perihal lukisan Affandi saja yang dibincangkan, namun pula kiprah Affandi setelah beliau wafat yang dampaknya sangat besar. Terlebih telah banyak buku tentang Affandi yang diterbitkan, nama Affandi yang kemudian dijadikan salah satu nama jalan di Yogyakarta, dan tahun 2017 silam, Google Doodle merayakan ulang tahun Affandi dengan menyimpan lukisan potret Affandi sebagai tampilan muka di situs Google. 

 “Affandi melukis melalui suara batin. Cerita sederhana dalam kehidupan sehari-hari namun diberi rasa olehnya” ujar Suwarno Wisetrotomo.

Affandi melukis menggunakan momentum, dilukis secara seketika, namun tetap sarat makna. Maka dari itu, penting bagi kita selain menyimak karya-karya yang telah dihasilkan, juga turut membaca perjalanan hidup Affandi yang sungguh luar biasa.  

Editor: Ni Wayan Idayati


Berbagi Artikel