A Quiet Place: Melampaui Pengalaman Sinematik

Senin, 05 April 2021 : 14:14

Penulis: Siswan Dewi

Terkadang esensi atas suatu hal baru berhasil diketengahkan setelah kita menyurutkannya ke tepian untuk sesaat. Ketiadaannya boleh jadi memantik berbagai potensi lain yang tak kalah esensial. Film ‘A Quiet Place’ menjadi cerminan bagi permainan esensi bunyi yang bukan semata mampu menembus batas-batas pengalaman sinematik, tapi juga menghidupkan kembali pola pikir mendasar manusia dalam beradaptasi.

Sumber: imdb.com

‘A Quiet Place’ riuh diperbincangkan dikala film ini berfokus pada pilihan narasi yang meniadakan suara dari aktivitas manusia. Mengambil latar pada suatu tempat yang tak mampu lagi beroperasi pada tahun 2020, film ini bertutur tentang sebuah keluarga yang mencoba bertahan ditengah infasi spesies yang mudah terusik oleh suara manusia. Simpul-simpul jemari tangan kerap muncul sebagai bagian dari narasi cerita yang juga mengetengahkan kehadiran seorang gadis belia tunarungu di tengah kehidupan keluarga kecil tersebut. Konflik cerita pun dibangun bukan semata melalui dialog, melainkan dipilin apik dalam pola pengadeganan yang kausal sekaligus logis.

Sang sutradara, John Krasinski yang juga berperan sebagai ayah, menjadi sosok sentral yang merangkai berbagai perkakas dari puing-puing kota yang tersisa. Di beberapa sudut kediamannya, terdapat ruang yang didesain khusus untuk merintangi serangan tiga predator raksasa dengan sensitivitas pendengaran yang sangat tinggi. Ia pun memiliki ruang kerja dengan berbagai perangkat analog maupun digital yang ia kerahkan secara visioner. Ia berupaya mempelajari kelemahan sang predator sekaligus membangun sebuah ‘istana kedap suara’ bersama istri dan kedua anaknya. Ia berhasil merangkai kembali alat bantu pendengaran milik putrinya dengan fungsi stereo yang mampu memekakakkan gendang telinga predator. Mengajarkan kepada anggota keluarganya beberapa cara untuk bertahan hidup dengan memanfaatkan alam sekitar, serta menyiapkan berbagai bentuk distraksi yang mampu mengalihkan perhatian predator pada momen-momen genting yang akan dihadapi keluarganya.


Sumber: imdb.com

Berbagai pola adegan dirangkai secara utuh untuk membangun pengetahuan dan kesadaran kita akan karakteristik predator dan berbagai upaya logis yang dikerahkan para aktor untuk menyelamatkan diri. Maka muncul beberapa adegan yang melibatkan benda-benda alam yang sejatinya mampu dijelaskan secara ilmiah terkait korelasinya dengan sistem panca indera. Dari kebiasaan sederhana sang ayah yang menimbun pasir pantai di pekarangan rumah, memancing ikan di sumber mata air terjun yang deras, menyalakan bara api pada ketinggian yang mampu dijangkau penglihatan jarak jauh, hingga secara sengaja menenggelamkan ruang bersalin istri dan bayinya.

Pola adegan tersebut mampu dibangun berkat konsistensi atas esensi kisah yang hendak disampaikan, atau merujuk pada adanya satu topik yang sangat spesifik.  ‘A Quiet Place’ boleh dikata semacam film drama yang juga berangkat dari riset mendalam mengenai esensi bunyi, baik secara ilmiah maupun psikologi. Kita seolah diajak mengingat kembali tentang bagaimana bunyi dapat diredam dengan karakteristik tertentu pada beberapa benda, bagaimana kompleksitas indera pendengaran manusia bekerja dalam merespon bunyi-bunyi tertentu, atau bagaimana pita suara menjadi respon spontan manusia dalam mengekspresikan pikiran dan perasaan. Maka berbagai pengadeganan dalam film ini pun begitu kaya dengan adanya eksplorasi berbagai benda dan tata artistik yang bukan sebagai properti semata, namun juga mampu menjelaskan sebuah situasi pengadenganan secara logis, tanpa harus dinarasikan secara verbal oleh para aktor.

Sumber: imdb.com

Meski para aktor seolah membisu sepanjang film berlangsung, ‘A Quiet Place’ rupanya masih merangkul esensi dari ilustrasi musik. Sisipan musik dalam beberapa adegan seolah turut menjadi ‘point of view’ para aktor, disaat mata kamera masih berupaya merengkuh banyak sudut untuk menarasikan situasi kondisi beberapa adegan yang menegangkan. Terdengar beberapa kali dentuman musik yang intens dan cepat sebagai representasi detak jantung yang kalut atau alunan yang terdengar ‘membiru’ dikala para aktor bergulat dengan nurani masing-masing. Selain itu keputusan untuk meredam suara atmosfer secara mendadak beberapa kali juga menjadi upaya untuk mengetengahkan sudut pandang sosok tunarungu yang tak kalah penting dalam menarasikan sistem indera pendengaran bahkan pola pikir hingga kedalaman perasaannya. Maka fungsi ilustrasi musik dalam sajian film ini menjadi begitu terasa, dimana memang sejatinya ia diharapkan mampu melengkapi ruang-ruang kosong sebuah adegan ketika mata kamera, dialog, serta gesture para aktor tak cukup untuk mengejewantahkan hal-hal penting dari narasi film.

‘A Quiet Place’ nyatanya memiliki banyak ruang yang bisa dieksplorasi lebih jauh, seperti dalam hal sinematografi. Mata kamera seolah tak mau kalah dalam bernarasi dengan caranya sendiri untuk memaknai ketiadaan suara dan bunyi dalam film ‘A Quiet Place’. Kesunyian atmosfer beberapa kali dipecah oleh sayup-sayup hentakan telapak kaki yang siluetnya direkam apik oleh mata kamera sedari adegan awal berlangsung. Jalan setapak yang dilalui secara kompak oleh seluruh aktor juga nampak harmonis meski dijajaki dalam sunyi senyap sebuah kota yang telah mati. Beberapa adegan tersebut seolah ingin menuturkan keheningan melalui bahasa visual yang tetap artistik dengan pilihan posisi kamera yang juga menggambarkan kekompakan sebuah keluarga kecil yang mencoba bertahan hidup.
Sumber: imdb.com

 ‘A Quiet Place’ boleh jadi dipandang mengesankan hanya karena pilihan narasinya yang terbilang unik. Namun bagi para penikmatnya yang bukan sekadar ingin mencicipi pengalaman sinematik yang berbeda, film ini tentu menawarkan sebentuk ide cerita yang kontemplatif. Bukan karena ia begitu hening, melainkan karena ia mengingatkan kita kembali, bahwa kemampuan beradaptasi manusia didasarkan atas pengetahuannya mengenai lingkungan sekitar dan upayanya untuk menggunakan nalar agar mampu bertahan. Sensasi baru menikmati sajian film dalam keheningan boleh dikata sebagai bonus bagi kecemerlangan gagasan yang mampu menembus batas-batas kebiasaan.





 


Berbagi Artikel