Yangon, Potret Kota Tua nan Eksotik

Rabu, 08 Januari 2020 : 13:37
Yangon dulu bernama Rangoon adalah ibukota Birma. Setelah militer berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan ke Naypyidaw (Kota Para Raja] dan Birma diganti menjadi Myanmar. (Foto-foto: Ema S.)

YANGON di pagi yang basah. Tiga biksu bergegas melintas perempatan dekat Traders Hotel Yangon yang padat lalu lintas. Di ujung jalan, Pagoda Sule yang menjulang ke angkasa seolah mengucapkan selamat pagi di kota yang sibuk itu.

Di sela-sela program Myanmar-Indonesia Art Exchange di Yangon, selama sepekan Juli 2010 silam, disediakan tiga hari penuh untuk berwisata. Saya diajak perupa Nyoman Sujana Kenyem untuk menyaksikan pameran, workshop dan simposium di sana, karena tahun depan kita akan menjadi tuan rumah di Ubud, Bali untuk program serupa yang dihelat komunitas New Zero Art Space Yangon itu.

Yangon dulu bernama Rangoon adalah ibukota Birma. Namun, setelah militer berkuasa pusat pemerintahan dipindahkan ke Naypyidaw (Kota Para Raja] dan Birma diganti menjadi Myanmar. Di sinilah kami menjelajah sudut-sudut kota yang menyimpan sejarah panjang tentang kolonialisme, perdagangan ganja, spiritualitas Buddha, dan pengalaman pertanian yang tak kalah dibanding Thailand, tetangganya.

Pemandu kami yang juga seorang seniman, di sela penjelasannya tentang kota ini, sepintas menyinggung peran Birma saat membantu Indonesia pada prakemerdekaan dengan menyumbang transportasi udara dan pada 1970-an Birma mengirim bantuan beras untuk Indonesia.

Karena perjalanan ini diikuti sejumlah seniman, tempat yang dikunjungi pertama adalah museum dan beberapa galeri yang menggambarkan perkembangan seni rupa di negeri itu. Sebagian besar galeri memanfaatkan gedung-gedung tua peninggalan kolonial Inggris yang berarsitektur Renaisance hingga abad pertengahan. Bangunan-bangunan itu seolah menjadi penanda kota, apalagi kebanyakan dibiarkan menua tanpa sentuhan cat baru, menjadikan kota tampak kusam.

Sayangnya, wisatawan tidak boleh sembarangan memotret. Ada larangan mengambil gambar kemiskinan, kantor pemerintah, atau tentara dan polisi yang sedang bertugas. Jika ketahuan, masih beruntung cuma diinterogasi dan file dihapus, tak jarang pula yang kameranya dibanting. Padahal justru arsitektur perkantoran milik pemerintah itulah yang menggiurkan untuk dipotret.

Yang menarik, tidak ada sepeda motor di kota ini, namun transportasi massal bagi warga tercukupi kendati menggunakan bus-bus tua. Kendaraan jadul produksi tahun 1970-an kebawah banyak menghiasi kota ini. Tak salah kota dengan old fashion ini mirip Jakarta pada awal Orde Baru. Bedanya, meskipun lalu-lintas di kota ini sangat padat dan tampak semrawut, sangat jarang terjadi kemacetan.

Untuk memuaskan keinginan memotret, Anda bisa lakukan sesering mungkin di kuil-kuil Buddha yang tersebar di seantero Yangon. Yang paling besar adalah Pagoda Shwedagon yang konon berusia 1.000 tahun. Inilah pagoda paling suci di Myanmar yang diabadikan dalam empat Buddha yakni staf Kakusandha, air filter Konagamana, sepotong jubah Kassapa dan delapan rambut Gautama. Pagoda ini juga dikenal dengan Golden Pagoda karena kubahnya setinggi 98 meter itu berlapis emas dan tampak berkilau dari kejauhan. Sebelum memasuki kawasan yang terletak di sebelah barat Danau Kandawgyi ini kita harus menanggalkan alas kaki dan membayar hanya 6.000 kyat atau sekitar Rp60.000.

Sesampai di dalam, kita dapat menyaksikan relief-relief yang menggambarkan perjalanan Buddha dan tempat bersembahyang mengitari pagoda. Sebaiknya menikmati dulu pada sisi luar dan pada putaran kedua bisa mengamati stupa-stupa tinggi yang mengitari pagoda induk. Tempat ini terbuka siang dan malam bagi siapa saja yang ingin berdoa. Sekembali dari pagoda, sebaiknya tidak turun menggunakan lift, lewatilah tangga melalui lorong yang memiliki atap tinggi. Di kanan dan kiri lorong ini terdapat kios cenderamata.

Pagoda Shwedagon.
Jika belum terpuaskan belanja suvenir di sini, ada Bogyoke Aung San Market di pusat Yangon. Jenderal (Bogyoke) Aung San adalah ayahanda Aung San Suu Kyi tokoh penerima Nobel Perdamaian yang memperjuangkan demokratisasi di Myanmar. Di pasar ini terdapat aneka kerajinan tradisional dan bermacam batu yang digunakan perhiasan seperti jade, rubby dan saphire yang berkualitas dan harganya terjangkau.

Jika ingin melakukan wisata religius ke peninggalan sejarah Buddha yang lebih tua bisa berkunjung ke Bagan yang bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama sepuluh jam atau bisa juga ke Mandalay. Kedua kota itu menyimpan peradaban Buddha sejak masa Gautama. Rombongan kami hanya sempat sampai Bago untuk menikmati pemandangan danau perawan yang belum tersentuh pembangunan. Di wilayah inijuga terdapat sebuah patung Buddha tidur yang sangat terkenal.

Meskipun memiliki potensi wisata yang bagus, Myanmar bukanlah destinasi yang banyak menyedot kunjungan wisatawan. Duta Besar RI untuk Myanmar Sebastianus Sumarsono mengatakan sangat sedikit wisatawan asal Indonesia ke negeri yang dijuluki The Golden Island itu. Selain tiadanya direct flight dari Indonesia, barangkali pemberlakuan visa juga menjadi kendala bagi wisatawan ke Myanmar.

Salah satu pemandangan Kota Yangon: dialog peradaban tradisional dan modern.
Matahari agak lamban terbenam di Yangon. Sore itu sekawanan burung gagak melintas di atas kota. Suaranya yang membuat hati miris. Di Yangon, gagak ada di mana-mana. Ia bukan pertanda buruk, tapi justru menjanjikan kedamaian. Biasanya wilayah di sekitar pohon-pohon rimbun yang didiami gagak menjadi lebih nyaman. Barangkali ini karena aura spiritual Yangon.

Saat kota menjadi gelap, jangan lewatkan wisata kuliner yang menyajikan citarasa Myanmar sangat cocok dengan lidah Indonesia. Bumbu dengan rempah-rempah lengkap melezatkan makanan asli Myanmar yang nyam-nyam ...(Ema Sukarelawanto)
Berbagi Artikel