Langgam Abstraksi Made Supena, Kesatuan yang Utuh dan Harmoni

Sabtu, 18 Januari 2020 : 12:31
Made Supena sejak remaja telah mengikuti serangkaian pameran yang kelak mewarnai sosoknya sebagai perupa Bali yang terbilang unggul. (Foto: Ema S; 2016)

Perupa Made Supena, yang meninggal dunia pada 16 April 2019 dalam usia 49 tahun, dikenang sebagai salah satu seniman yang giat memperjuangkan proses berkarya secara individu maupun menggerakkan komunitas untuk mewarnai jagat kesenirupaan di Bali.

Berikut diunggah kembali artikel yang menarasikan sebagian dari kesenimanan Supena untuk mengenang kiprahnya selama ini:

DAYA PIKAT karya seni rupa bukan semata karena kandungan makna keindahannya ataupun ragam stilistik-estetiknya, melainkan juga pada bagaimana proses karya itu tercipta. Setiap perupa pada galibnya memiliki cara dan proses kreatifnya tersendiri dalam berkarya.

Tidak sedikit yang malahan beranggapan bahwa masing-masing karya pada dasarnya lahir melalui jalan kreasi yang berbeda. Ini menyiratkan dalam dunia penciptaan tersedia sebuah ruang untuk merayakan kebebasan berkreativitas yang mengandung aneka kemungkinan tak terduga.

Lantaran itu pula, menarik bagi kita mencermati serta menelisik lebih jauh, gerangan apakah yang terjadi sewaktu sapuan warna, goresan garis, luluh menyatu mewujudkan sosok-sosok tertentu dalam kanvas; atau semata habluran berlapis warna, semisal dalam karya Made Supena, di mana komposisi terpilihnya tidak hanya indah namun sekaligus melahirkan pesona yang tidak kasat mata, sugestif ataupun asosiatif, yang dapat diresapi oleh pikiran maupun rasa.

Tidak tertutup pula karya Made Supena itu dapat dihayati oleh indra lainnya, bukankah hakikat seni rupa dalam dinamikanya memiliki unsur irama dan nada, cerminan dari musikalitas warna dan komposisinya.

Made SupEna, Meruwat Cakrawala, 2016, 200 x 300 cm, mixed media on canvas (Katalog Pameran Nitibumi, Komunitas Nitirupa, Bentara Budaya Bali, Juni 2019)
Sebagaimana sedini Komunitas Galang Kangin didirikan, yang salah satu penggagasnya adalah Made Supena, acuan estetik mereka adalah upaya mengusut warna dan garis hingga ke nir-rupa, meraih yang hakiki dari ragam abstraksi tersendiri.

Upaya ini menandai juga proses cipta Made Supena, yang tak bisa dilepaskan dari pertemuan Galang Kangin dengan almarhum Thomas Freitag, kurator yang tak segan terlibat sebagai mentor.

Ini adalah sebuah titik mula estetik mereka yang intens berekspresi melampaui figurasi; menghablurkan aneka warna menjadi sebentuk musikalisasi sebagaimana selintas ingatan kita pada Kandinsky, Mondrian; atau ragam visual sejenis rayonism Sonya Delunay; atau pilihan minimalis nir-figur selaras ragam abstrakisme lainnya.

Akan tetapi, harus segera ditegaskan bahwa titik mula estetik Galang Kangin jelaslah tak sepenuhnya secara stilistik maupun teknik mengacu pada keberadaan abstrakisme Barat.

Kalau para pelukis abstrak Barat berproses melalui sejumlah pemertanyaan tentang Realita, terutama secara rasional dan sistematis, sedangkan pelukis yang tergabung dalam Galang Kangin barangkali lebih dipicu oleh permenungan batin; atau penghayatan rasa.

Pada Made Supena, karya abstraksinya bolehlah dikata sebentuk penghayatan akan ketransedenan atau sesuatu yang melampaui nalar, merangkum pula tahapan sublimasi dari sikap kritisnya yang mencemaskan perubahan tak terkendali dari alam Bali; sekaligus cerminan spiritualitas yang mempribadi.

Kawitan
Dari manakah mula asal karya abstraksi Made Supena? Apakah semata pertemuannya dengan seni rupa Barat melalui pendidikan di ISI Denpasar atau persahabatanya dengan Wayan Sukra (Thomas Freitag), dan lain-lain?

Made Supena berkarya di Pulau Serangan, 2004 (Foto: Ema Sukarelawanto)
Tidak sejauh itu sebenarnya dan tidak sepenuhnya demikian. Langgam abstraksi yang menjadi kekuatan Made Supena kini sesungguhnya bermula dari proses cipta sedini kanak dulu, seiring ayahnya, Ketut Muja (kelahiran 1944, Singapadu Gianyar, Bali) yang sohor sebagai pematung termasuk pembuat topeng mumpuni.

Ketut Muja dikenal sebagai seniman yang pada fase-fase kematangannya tak berhenti pada bentuk-bentuk realis, melainkan melakukan penjelajahan pribadi untuk meraih ragam stilistik yang unik dan otentik.

Kita menandai pameran tunggalnya pada tahun 1997, di mana sikap cipta otodidaknya itu kuasa hadir dalam wujud patung-patungnya yang lebih eksploratif, surealistik, dan tetap kontemplatif.

Semasa tahun 1990-an itulah, ketika Ketut Muja berkreasi dengan lebih mengikuti kebebasan ciptanya merespon wujud asli kayu, melepas-bebas nalar dan instuisinya tak terikat lagi pada pola sosok klasik dari wiracarita Mahabrata atau Ramayana, Made Supena justru tengah intens dan total sebagai perupa muda yang berupaya mencari jati dirinya.

Made Supena saat itu berusia sekitar 20-an tahun, telah turut mengikuti serangkaian pameran yang kelak mewarnai sosoknya sebagai perupa Bali yang terbilang unggul.

Dengan demikian, ragam abstraksi pada karya Made Supena berangkat dari kawitan-nya, di mana ragam warna yang dihablurkan atau segala nir-bentuk pada kanvasnya, lahir dan hadir terpicu penghayatan keseharian masyarakat Bali yang meyakini bahwa selain dunia yang sekala (nyata – kasat mata), terdapat pula dunia niskala (nir-wujud).

Keduanya adalah satu kesatuan yang utuh dan harmoni; di dalam diri Made Supena, nilai-nilai itu adalah segugusan proses cipta yang penuh pertanyaan, pemertanyaan, sekaligus penghayatan sepenuh seluruh. (Warih Wisatsana)

Ritus Gunung, pameran tunggal Made Supena di Maya Sanur Resort & Spa, Februari 2018. (Foto: Facebook @mayasanurbali)
Berbagi Artikel