Ketika Sensor Menyemangati Aktivitas Perupa di Yangon

Minggu, 19 Januari 2020 : 12:03
Dua belas perupa Indonesia dan Myanmar mengikuti program "artists exchange" di antaranya pameran bersama di Beik Thano Art Gallery Yangon. (Foto-foto: Ema S.)
APA jadinya ketika sebuah pameran harus disensor? Ya, kebebasan berekspresi, yang merupakan salah satu hakikat seseorang untuk berkarya, menjadi terkekang. Namun, aktivitas seniman di Myanmar yang selalu berhadapan dengan pemerintah junta militer, tidak menjadi halangan untuk terus menekuni profesi.

Ini adalah pengalaman sekitar 10 tahun silam ketika sensor menimpa enam seniman Indonesia yang pameran di Myanmar. Keenam seniman itu adalah Nyoman Sujana Kenyem, Antonius Kho (Bali), Ronald Apriyan, Muhammad Lugas Syllabus (Yogyakarta), Bahtiar Dwi Susanto (Jakarta) dan Heri Purwanto (Malang).

Mereka menggelar pameran bersama seniman setempat di Beik Thano Art Gallery, Yangon, Myanmar. Keenam seniman diundang New Zero Art Space, yang banyak menginisiasi pertukaran seniman antarnegara.

Selama sepekan pada pada Juli 2010 silam seniman Indonesia itu intensif bertinteraksi dengan enam seniman Myanmar —Aye Kho, Kaung Su, Sandy, Kyu Kyu, Sandar Kaing, dan Hnin Dali Aung— yang berpameran bersama dengan tajuk Ongoing Echos.

Petugas pemerintah Myanmar (berbaju putih) sedang melakukan pengamatan terhadap karya yang dipamerkan.
Menjelang pembukaan pameran, semua peserta berharap-harap cemas, apakah sertifikat izin pameran akan dikeluarkan Pemerintah Uni Myanmar? Sekitar 10 orang pejabat pemerintah meneliti satu per satu dari 24 karya yang telah dipajang rapi di galeri milik pelukis terkenal Myanmar, Tin Win.

Sebanyak 12 karya perupa Myanmar langsung lolos, karena mereka sudah terbiasa menghadapi sensor semacam itu. Para perjabat pemerintah itu bertanya agak lama saat giliran meneliti karya seniman Indonesia.

Mereka menanyakan banyak hal mulai dari tema, inspirasi hingga ke makna yang tersurat dan tersirat dari karya.

Karya Kenyem yang mengusung spirit Buddha dalam naungan alam semesta, Antonius yang menampilkan tema kesetiaan profesi, dan Heri yang mengeksplorasi kekayaan etnik Indonesia, tak menjadi masalah.

Begitu pula saat para petugas itu meminta seniman dan pihak penyelenggara mengupas karya Ronald yang menyajikan citraan dan figur-figur naif dan Bahtiar yang berbasis fotogram. Selain menanyakan beberapa hal kepada panitia, para petugas pemerintah itu juga ’menginterogasi’ senimannya.

Sebuah karya yang dipersoalkan milik Lugas yang bergambar makhluk jadi-jadian dengan pose telanjang. Lukisan telanjang dan kegiatan melukis model nude merupakan hal tabu di sana.

Setelah terjadi perdebatan panjang, akhirnya pihak pemerintah mengizinkan dengan catatan judulnya arus diubah. Judul yang ditulis dalam aksara Myanmar itu pun diganti dari Angel with a Tailor menjadi Angel with a Monkey.

Lugas tak masalah, kata dia seraya ngakak itu justru ’melugaskan’ lukisannya. Sebuah sertifikat lengkap dengan stempel pemerintah setempat pun diserahkan ke panitia yang kemudian dipasang di sudut ruang galeri, pertanda pameran sudah bisa dinikmati khalayak.

Muhammad Lugas Syllabus dan karyanya yang terkena sensor.
Kegiatan ini masih beruntung, pada saat eksibisi bersama seniman ASEAN 2009 lalu sekitar sembilan karya terpaksa diturunkan karena tak diizinkan pemerintah.

Ini merupakan pengalaman bagi seniman Indonesia yang meskupun tidak pernah berhadapan dengan sensor masih was-was dengan jerat perundangan dan peraturan yang banyak ditafsirkan, baik oleh penegak hukum maupun organisasi massa berbasis agama.

Sikap rezim militer di Myanmar jelas tak bisa diterima oleh masyarakat yang hidup di negara penganut demokrasi, namun siapa yang menjamin kebebasan berekspresi jika masih ada kekhawatiran akan pelarangan, breidel, dan penghakiman sepihak?

Entah, apakah rencana pemilihan umum di Myanmar sekitar November 2011 bakal mendatangkan keajaiban demokrasi di negeri berjuluk the golden island itu.

Pemerintah Myanmar tak membolehkan karya pornografi dan tema-tema politik, juga satire terhadap polisi, tentara, dan kemiskinan. Namun, hal itu tidak menghalangi seniman di sana untuk mendunia, seperti kiprah pelukis Min Wae Aung yang laris berpameran di berbagai benua.

Begitu juga para aktivis New Zero Art Sapce yang aktif mengikuti residensi di luar negeri dan memanfaatkan jaringan antarseniman di berbagai negara.

Yayasan yang menggerakkan kegiatan seni rupa kontemporer di Myanmar ini memiliki perpustakaan, galeri, dan menyelenggrakan workshop, residensi seniman, pertukaran seniman dan pernah menggelar Myanmar-Hong Kong Performance Art Exchange.

Selain pendanaan secara swadaya juga mendapat bantuan di antaranya dari Prince Claus Fund for Culture & Development dan Heinrich Bll Stiftung South East Asia.

Program Myanmar-Indonesia Art Exchange 2010 ini tak hanya diisi pameran semata, tetapi juga workshop, simposium, dan diskusi tentang perkembangan seni rupa di kedua negara.

Tentu, tak ketinggalan melakukan kunjungan ke berbagai galeri, museum, tempat bersejarah di kota Yangon yang dipenuhi kuil Buddha dan bangunan kuno peninggalan kolonial Ingrris.

Tak lupa belanja di Pasar Jenderal Aung San (mengambil nama pahlawan yang juga ayahanda aktivis pro demokrasi Aung San Syuu Kyi) sebuah pasar seni terbesar yang menawarkan aneka suvenir khas Myanmar seperti aneka batu perhiasan, songket, loji (sarung), dan pernak-pernik lainnya.

Tuan rumah juga mengajak ke Shwedagon, pagoda terbesar yang diperkirakan berusia 1.000 tahun. Seniman Min Wae Aung yang juga pemilik New Treasury Art Gallery secara khusus mengundang seniman ke tempatnya biasa menyepi di pinggir sebuah danau di kawan Bago, sekitar dua jam perjalanan mobil dari Yangon.

Soal menu makanan jangan ditanya karena sangat cocok dengan lidah Indonesia apalagi Jawa apalagi dengan nasinya yang punel dan lezat. Yang melagakan, Kaung Su, direktur program di New Zero memastikan tahun 2011 akan melanjutkan program ini di Indonesia dan memilih Bali sebagai temnpat penyelengaraan pameran.

Aye Ko sang pendiri yayasan itu berharap hubungan seniman kedua negara bisa terjalin lebih erat melanjutkan tradisi diplomasi Myanmar, ketika masih bernama Birma, dengan Indonesia sejak prakemerdekaan.

Dia sedang menjajaki kerjasama dengan galeri di Bali dibantu perupa Antonius dan Kenyem. Kata Kenyem kehangatan dan kebersamaan seniman Myanmar akan dibalas suka cita dalam program serupa di Bali.

Duta Besar RI untuk Myanmar Sebastianus Sumarsono memberikan apresiasi tinggi terhadap program ini. Dia bersama istri dan sejumlah staf kedutaan hadir saat pembukaan pameran.

Dia berharap lebih banyak lagi kegiatan seni budaya Indonesia diperkenalkan di Myanmar seperti yang selama ini dilakukan pihak kedutaan. Kata Sumarsono semangat antarseniman perlu dijalin dengan jalan saling memahami latar seni dan budaya masing-masing.

Sebelum pameran itu, para seniman diundang ke Indonesian International School Yangon, satu-satunya sekolah internasional milik Indonesia di luar negeri. Ketika itu staf kedutaan sedang memperingati Isra’ Mi’raj di Masjid Al-Mush’ah yang berada di lingkungan sekolah Indonesia di Ahlone Township, Yangon.

Entah, apakah kini sensor masih berlangsung di tengah upaya negara tersebut untuk semakin terbuka dan demokratis. (Ema Sukarelawanto)
Berbagi Artikel