Kemudian bayangan sebuah kayon tampak meliuk-liuk perlahan, menembus sudut-sudut layar, dan mengawal sebuah lakon dalam Pertunjukan Wayang Kontemporer Kawamura Koheysai’s Shadow and Music.
Dalang asal Jepang, Kamamura Koheysai, menampilkan lakon bertajuk ‘Pulau Walak Pulau Fiksi’ pada Sabtu (15/7/2017) di Bentara Budaya Bali, Jl. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, No. 88A, Ketewel.
Lakon tersebut mengisahkan tentang sosok binatang kodok, monyet dan ayam, yang tinggal di sebuah pulau antah berantah bernama Walak.
Di pulau tersebut terdapat gunung dan lautan yang begitu indah. Setiap seratus tahun sekali, para binatang yang tinggal disana mendapatkan mutiara, yang kemudian disembah dengan nyanyian-nyanyian tentang alam.
Kohey mengisahkan lakon tersebut dengan permainan bayangan beberapa sosok dan wujud benda yang diselingi dengan alunan musik dan nyanyian. Sebagai pengantar kisah, ia menampilkan bayangan jemari lentiknya sendiri yang membelah pijaran cahaya dan nampak bersentuhan dengan gelas-gelas kristal.
Romantisme ilustrasi demi ilustrasi berhasil ia bangun berkat kepiawaiannya dalam menghadirkan harmonisasi antara cahaya, musik latar, dan bayang-bayang wujud benda yang bergerak anggun.
Dalam menciptakan visual yang tampak nyata dan dinamis, Kohey memaksimalkan sebuah lampu pijar yang ia gunakan sebagai satu-satunya sumber cahaya selama pertunjukan.
Lampu pijar tersebut ia gerakan ke kiri dan ke kanan, atas, dan bawah mengelilingi area berdalangnya di balik sebuah layar berukuran 3x4 meter.
Berbagai properti seperti meja, gelas, dan tanaman, dibuat seolah-olah tampak membesar dan mengecil, serta bergerak melintasi batas-batas layar.
Ia pun bergerak lincah mengatur posisi cahaya, properti, dan tubuhnya sendiri, sehingga ukuran bayangan berikut pergerakannya dapat divisualisasikan dengan tepat dan proporsional.
Tidak hanya sampai di situ, demi berbagi keseruan bermain bayangan dari balik layar, Kohey mengundang beberapa audiens untuk berinteraksi dengannya. Tiga bocah laki-laki dengan riang menghampirinya ke balik layar dan bermain adegan berjabat tangan.
Nampak bayangan sosok Kohey yang berukuran raksasa sedang berinteraksi dengan bayangan bocah yang nampak mungil seperti liliput.
Bayangan mereka tampak saling bersentuhan, meski sesungguhnya terdapat jarak yang melintang cukup jauh di antara mereka, sehingga tidak memungkinkan mereka untuk bersentuhan secara nyata.
Sebuah seni visual yang unik dari teknik pencahayaan wayang kontemporer yang ingin diperkenalkan oleh sang dalang, Kawamura Koheysai.
Sehari sebelumnya, Jumat (14/07), telah dilaksanakan lokakarya mengenai wayang kontemporer di Bentara Budaya Bali dalam bingkai program Kelas Kreatif Bentara.
Dalam kesempatan tersebut, Kohey berbagi tentang teknik pencahayaan, properti pendukung berwujud tiga dimensi, hingga alat musik garapannya sendiri, yang memungkinkan dirinya mewujudkan sebuah pertunjukan wayang kontemporer.
Dalang asal Bali, Made Sukadana, yang juga tampil sebagai pembicara dalam lokakarya tersebut, menyatakan bahwa, konsep kontemporer yang diaplikasikan dalam pewayangan merupakan salah satu cara untuk melihat dan menilai pewayangan dari sudut pandang yang berbeda.
“Wayang, pertama kali bermula dari permainan bayangan. Ternyata sekarang ini, pertunjukan bayangan itu bisa berkembang dengan berbagai alat IT (Information Technology). Di Hongkong, saya pertama kali bermain dengan menggunakan LCD dan membawakan cerita ‘Kang Cing Hui’ “ jelas Made Sukadana.
Sedangkan Kohey menjelaskan bahwa, di negeri asalnya, Jepang, belum banyak masyarakat yang mengenal konsep wayang kontemporer seperti yang sering ia tampilkan, namun wayang tradisi telah ada sejak dahulu di sana.
Ia hanya menggunakan konsep bayangan dasar dalam pementasannya, kemudian mengemasnya dengan cara bertutur dan sajian musik yang lebih kontemporer.
Kawamura Koheysai dikenal sebagai seorang dalang multilatenta yang juga kerap menciptakan tokoh-tokoh pewayangan serta musik latarnya sendiri. Sejak tahun 1999 ia telah mempelajari kesenian Bali seperti gamelan dan teater.
Suatu saat seorang sutradara teater dari Jepang, Kei Wada, yang juga mempelajari musik gamelan tradisi Bali, memintanya untuk melukis sebuah karakter menyerupai wayang kulit khas Bali.
Hingga akhirnya teknik pencahayaan yang ia ciptakan untuk pewayangan juga digunakan oleh sang sutradara. Sejak saat itu Kohey merasa ingin mendalami dunia pewayangan.
Ia pun belajar cara mendesain kostum dan teknik pencahayaan, hingga berhasil memperoleh penghargaan Juara Seni dari The Gotoh Memorial Foundation, Jepang, tahun 2016 lalu.
Ia kemudian belajar wayang kontemporer dan aktif terlibat dalam pementasan bersama Larry Reed pada tahun 2011-2013 di Jepang.
Selama kurun tiga tahun tersebut mereka kerap berkumpul di Hokkaido, Jepang, untuk menggarap pewayangan mengenai mitos yang dipercaya masyarakat Ainu, penduduk asli Hokkaido.
Selain di Jepang, garapan pertunjukan wayang tersebut juga telah dipentaskan hingga di New Hampshire dan San Francisco, Amerika Serikat (2013).
Beberapa produksi wayang kontemporer yang telah ia garap antara lain : Kawamura Koheysai no Kage to Ongaku (2009), Jizo ni tsuite (Yamagata Biennale,2014), Hebiwa Hebiwa (Yamagata, Hukushima ,2015), Kousetsu Syohukuji Engi (Yamanashi, 2016), Bam Boo Nest (Yamagata Biennale, 2016).
Kawamura Koheysai menjadi salah satu seniman yang mampu memperkenalkan kemungkinan kombinasi antara seni tradisi dan seni kontemporer. Berbagai eksperimennya dalam seni pewayangan bahkan telah ia perkenalkan hingga melewati batas-batas negara.
Melalui proses kreatifnya selama ini, ia membuktikan bahwa inovasi dalam tataran gagasan, teknik, dan media, dapat menjelma menjadi pilihan artistik dan presentasi seni yang memikat dalam melestarikan nilai-nilai tradisi.(Siswan Dewi)
Artikel ini pernah dimuat di Harian Tribun Bali Juli 2017
Berbagi Artikel