Basquiat Tersisih, ‘Limbah’ Kaum Terpilih

Minggu, 19 Januari 2020 : 10:43
Jean Michel Basquiat tidak peduli apa itu budaya seni, melalui karyanya ia layani naluri purbanya; meluapkan naluri primitif kreatifnya. (Foto: Lizzie Himmel)
TIDAK ada agaknya gambar yang lebih sederhana dari karya pelukis ini: sekelumit torehan, sekilas garis, dan aneka bidang warna yang terkesan datar tak selesai, dengan raut muka cuek meringis.

Tak ayal lagi gambar itu mengingatkan kita pada karya anak-anak, bila tidak diimbuhi nada sinis dan komentar aneh yang mencermikan sepekikkan luka.

Gerangan siapakah yang memboyong Jean Michel Basquiat, pelukis yang konon masyhur ini, kalau bukan Jais Dargawijaya, pialang seni yang tak hanya memiliki galeri di Sanur dan Paris, namun kerap pula ulang alik mengikuti lelang barang seni di New York, London, Paris, dan kota kosmopolitan lainnya.

Jais sebelum ini sempat pula memamerkan maestro dunia seperti Picasso, Matisse, dan Miro; kini mulai 29 Januari hingga 27 Febuari 2005, dia menghadirkan anak hitam jalanan Amerika itu.

Si junky Basquiat memang bukan orang biasa, seperti terlihat pada foto-foto yang mengiringi pameran karyanya. Sorot matanya tajam menyayat ingatan siapapun pun juga.

Kulitnya hitam, tapi bukan sembarang orang hitam. Dia keturunan Haiti-Porto Rico dan konon darah Perancis mengalir dalam dirinya. Tak heran bila dia berlagak layaknya aristokrat kaum pinggiran.

Salah satu karya Basquiat. (Foto: Oracle Time)
Belum lagi gaya khas rambutnya, dengan kucir liar terikat di sana- sini, sebagian menjulang menantang langit—terlihat berayun mengikuti irama jalannya. Di kota New York kala jayanya, pada1980-an, boleh jadi tiada bandingan untuk ciri sosoknya.

Kehadiran Basqiat memang tidak lepas dari situasi kultural tahun-tahun itu. Mahzab modernis akhir tengah merajai jalanan dan galeri-galeri New York.

Ekonomi lagi booming dan kuasa modal sedemikian menjerat sehingga batas antara seni dan komoditas samar: Modal mengendalikan media, media menentukan selera dan “selera” itu mempermainkan pasar. Gerakan seni muncul bersusulan dipacu akumulasi modal dan kuasa media.

Sinergi antara modal dan media telah diekspose oleh Pop Art (1960-) yang mengangkat kebanalan keseharian dunia konsumtif modern sebagai pernyataan seni: komik, prabot rumah tangga, bahkan sampah sekalipun dihadirkan, dimaknai dan diironikannya.

Pada Pop Art itu muncul figur Andy Warhol, yang menjadikan pengelabuan oleh media sebagai hakikat ekspresi kesenian.

Karya Basquiat berjudul 'Untutled' dikoleksi Yusaku Maezawa, dibeli dari lelang Sothebys sekitar Rp1,48 triliun (Mei 2017). (Foto: sothebys.com)
Dia “mengikonkan” diri dengan “meng-ikon-kan” tokoh-tokoh yang menjadi ikon media: reproduksi dalam bentuk multiple dari foto Marlyn Monroe, Jacqueline Kennedy, dll. ditasbihkan sebagai benda seni. Andy Warhol mewakili sekaligus “kebesaran” dan keabsurdan kemodernan kita.

Apakah Basquiat seorang pelukis dalam artian umum? Tidak! Muncul pada 1970-an sebagai Samo, sang pengrafiti liar kota New York, dia sejatinya tidak “melukis”, dia meluapkan sesuatu, apa saja; bisa berupa sketsa, puisi, komentar tertulis, kolase, dll.

Dia bisa mengekspresikan diri di aspal, di semen, di kertas surat kabar, di atas kain, di atas kayu, pendeknya dengan sarana apa pun. Bahkan dia terkesan tak gentar dengan warna; dia coba menaklukkannya, namum aneka warna di tangannya selalu mengambil bentuk grafi bukan bidang.

Jadi hakekat karya Basquiat lebih terkedepankan sebagai ekpresi karya grafis—yang bukan membentuk obyek reperesentasi tapi malahan sebaliknya membongkar segalanya; segala wujud, segala makna, segala genre, dan terutama segala norma.

Itu semua dihasilkan oleh perilaku bebasnya dalam menoreh, mencoret-coret, mewarnai, menerakan puisi, atau menegaskan pernyataan.

Dia membuat lukisan, tetapi dia pula membawa seni lukis ke ujung “pembongkarannya,” ke tapal batas antara figurasi dan abstraksi. Manusia tidak pernah hadir sebagai sosok, namun lebih sebagai kerangka tubuh atau kontur kepala.

Di dalam bahasa visual Basquiat, semua memang disederhanakan sampai ke hakekat ekpresif primernya, ke dekonstruksi bentuk dan lambang. Karyanya adalah wujud dari kehampaan yang sempurna dan pemberontakan terhadap kehampaan itu sendiri.

Namun, meski pun bahasa seni Basquiat berupa pekikan tak teratur itu, dia adalah seniman sesungguhnya. Dia telah membangun “sosok karya” yang utuh, yang dikerjakan sebagai cerminan keseharian jalanan kaum pinggiran. Maka dia menjadi sosok seniman yang tak tertolak lagi.

Basquiat bersama Warhol. (Foto: © The Andy Warhol Foundation for the Visual Arts, Inc.)
Basquiat bukan pelukis pertama menggali kemampuan ekspresif dari grafisme primitivis. Klee sebelumnya mengawali kesponstanan kejenakaan kanak-kanak. Lebih lagi Dubuffet telah dengan sistematis menggali keprimitifan bentuk.

Bahkan, Dubuffet telah juga menghadirkan figur-figur “outsiders”, yang tidak memiliki latar belakang seni sama sekali, untuk menghasilkan “art brut” yang naif-primitif itu.

Tetapi untuk kebanyakan pelukis itu, fokusnya tetap pada “seni lukis”, yang ingin ditemukan sarana ekspresi belaka. Sebaliknya Basquiat justru tidak peduli apa itu budaya seni. Dia melayani naluri purbanya; gambarnya hanyalah luapan naluri primitive kreatifnya itu.

Bukan kebetulan Andy Warhol-lah yang paling dini menyadari bahwa si pecandu muda yang “mencemari” tembok-tembok New York dengan graffiti itu, layak dientaskan menjadi “seniman”.

Dia tahu bahwa dunia modern menghasilkan “limbah” sosial, dan bahwa “limbah” tersebut berhak pula bersuara. Di dunia musik bukan fenomena baru, tapi bunyi musik tak “bersuara”!

Dengan menjadi mentor Basquiat, Warhol mempelopori munculnya wakil “limbah” -kaum hitam- ke permukaan seni rupa Amerika. Yang “terpilih” Warhol, merangkul si tersisih bisex nan liar itu.

Dengan dirangkul, dikemas, diekspose dan dimediakan, gugatan sosial yang dipekikan Basquiat seketika menjadi kesenian besar - meski bersamaan itu, gema politiknya redam dengan sendirinya!!

Basquiat adalah figur balikan dari Warhol, namun yang satu menyempurnakan yang lainnya: yang satu putih, yang lainnya hitam; yang satu anggun, yang lainnya funky.

Bila Warhol secara sadar menghasilkan sebentuk seni yang “kering”, yaitu figur-figur para bintang yang tampil tak berjiwa, Basquiat sebaliknya mempresentasikan sosok-sosok intens, lugas polos, lepas bebas tak terkungkung apapun.

Terlebih lagi, Warhol sadar benar akan peran media, tetapi menikmatinya; sedangkan Basquiat mungkin tidak menyadari hal itu, malahan memberontakinya. Warhol berada di puncak budaya yang diwakili, sedang Basquiat adalah puncak gerakan penolakan budaya tersebut.

Mimpikah Warhol bahwa Basquiat bakal hadir di Indonesia. Mungkin tidak, tetapi bukan sedikit seniman Indonesia yang tak cukup sabar menunggu kehadirannya untuk “menghadirkannya”. Goresan ala grafiti pun marak, bukan berawal di dinding, namun di sudut-sudut kecil kanvas para perupa.

Apakah “grafiti” mereka pekikan luka kaum tersisih pula, ekspresi “limbah” sosial Indonesia? Boleh jadi tidak. Di negeri ini, para “outsiders” tulen belum menyuarakan diri dan kaumnya. Grafiti ala ini lebih merupakan anutan estetik kaum “terpilih” untuk mengekspresikan sikap sosial dan corak keprihatinan pribadinya. Tafsirnya lain. Dan kenapa tidak!?

Sejak tahun 80-an, banyak diantara para penyapi pop papan atas, bintang film termasyhur serta pedagang saham Wall Street yang ingin memiliki Warhol; banyak pula yang berlomba memiliki Basquiat.

Apakah para “the have” Indonesia kini telah gilirannya untuk mengoleksinya? Siapa tahu dengan itu mereka akan mendengar nyaringnya pekikan luka kaum tersisih! Dan bahkan mungkin juga memahami sinisnya nada ironis si anak buangan ini. (Warih Wisatsana, Jean Couteau)

(Dimuat di Majalah Tempo, Februari 2005)

Simak pula video tentang Jean Michel Basquiat di sini.
Berbagi Artikel