“Hari ini selalu berhubungan dengan masa lalu. Bali dulu memiliki komponis Wayan Lotring yang jejaknya masih membekas hingga hari ini. Masa lalu itu sudah selesai, dan agar budaya tidak patah, kita perlu komponis hari ini. Mereka ibarat gigi-gigi baru. Setiap zaman memerlukan gigi baru untuk menggantikan gigi lama yang tanggal. Kita perlu gigi baru untuk mengunyah kehidupan, budaya hari ini…”
Pandangan ini diungkapkan oleh Komposer I Wayan Gde Yudane (53) pada acara “Komponis Kini: A Tribute to Lotring“ di Bentara Budaya Bali tahun 2016 serangkaian pertunjukan new music for gamelan. Program yang dikuratorinya tersebut, sesungguhnya mencerminkan proses kreatifnya sebagai seorang komposer selama ini, yakni selalu berupaya melakukan re-formasi, memberi format dan pemaknaan baru (re-interpretasi) terhadap gending-gending yang tergolong klasik atau yang sudah ada, sekaligus melakukan penciptaan (re-kreasi) yang sungguh baru, buah respon perenungan yang panjang atas musik gamelan. Maka yang dikedepankan bukan semata upaya konservasi, namun juga eksplorasi mendalam terhadap ragam komposisi musikal ini; sebuah penciptaan baru melampaui kebakuan serta tetap merefleksikan makna filosofis tertentu.
Yudane memang tumbuh dalam keluarga yang berlatar seni gamelan. Dilahirkan di Kaliungu, Denpasar, ayahnya adalah I Nyoman Gebiyuh, salah satu seniman pembuat instrumen gamelan di Denpasar selain juga dikenal sebagai undagi atau arsitek tradisional Bali. Sebenarnya, Yudane sedini kanak ingin menjadi tukang kayu, persis mengikuti garis profesi yang turun-temurun di keluarganya. Memori masa kecilnya pun amat lekat dengan kenangan kultur tradisi Bali, suatu hal yang sampai kini masih dihayatinya.
Sepengakuan Yudane, ada dua pertemuan penting yang mewarnai cakrawala hidupnya. Pertama, bertemu dengan mentor musiknya, Jack Body seorang komposer internasional, sewaktu ia mendapat Artist in Residence di Selandia Baru selama dua bulan (Ford Foundation). Melihat kesungguhan dan totalitasnya, John Stanley "Jack" Body (7 Oktober 1944 – 10 Mei 2015) mendorongnya melanjutkan studi di Jurusan Musik Victoria University mendalami komposisi hingga selesai tahun 2004.
“Jack Body mendorong saya untuk menemukan cara pandang baru tentang musik, termasuk gamelan, bahkan hingga esensi bunyi. Justru karena tidak ada Gamelan Bali di Selandia Baru, melainkan Gamelan Jawa, saya terdorong bekreatifitas guna menemukan paradigma baru yang mempertautkan kemungkinan capaian musikal barat dan timur. Dengan demikian, komposisi-komposisi saya adalah sebuah bahasa musikal yang universal.”
Tahun 2004, Ia memperoleh kesempatan untuk memperluas cakrawala musikalnya dengan mendapat Artist in Residence selama dua bulan di Bourges, Perancis, juga atas dukungan Ford Foundation. Namun, sebagaimana yang terjadi di New Zealand, ia menyiasatinya menjadi studi selama setahun di IMEB (Institut International de Musique Electroacoustique) mendalami musik elektro-akustik. Sepulang dari Perancis inilah, ia kemudian dipercaya mengajar di Jurusan Musik Victoria University atau sekarang menjadi New Zealand School of Music.
Pada tahun 2009, Yudane bertemu dengan sekaa Gamelan Wrdhi Cwaram, ensemble gamelan Bali yang memungkinkan komposisi-komposisinya dipresentasikan ke publik. Sekaa gamelan tersebut didirikan oleh Ketut Widianta, seorang pembina gamelan yang piawai pada tahun 1998. Sejak pertemuan inilah new music for gamelan bertunas dan bertumbuh seiring kegairahan penciptaannya.
Alih-alih menjadi tukang kayu, Yudane kini malah menjadi ‘tukang’ menggubah komposisi yang sohor bereputasi Internasional. Karya-karyanya bukan semata dipagelarkan di Bali, melainkan juga berbagai peristiwa internasional penting lainnya. “Crossroads of Denpasar” merupakan salah satu karya Yudane pesanan radio New Zealand yang kemudian disebarluaskan juga oleh Radio Australia dan BBC London. Karya lain, “Paradise Regained”, yang terinspirasi oleh peristiwa bom Bali tahun 2002, dimainkan pianis Ananda Sukarlan diberbagai pergelaran Internasional. Karya kolaborasi dengan Paul Grabowsky, “The Theft of Sita”, dipentaskan di Next Wave Festival, New York City, 2011, karyanya untuk musik film ‘Sacred and Secret’ (2010), Laughing Water and Terra-Incognita, dan Arak (2004), dan lain-lain. Selain itu ia diundang dan tampil di Festival Jazz Wangarata, Australia (2001), keliling Eropa dengan Teater Temps Fort, Grup France and Cara Bali, juga Festival Munich dan La Batie. Meraih penghargaan Melbourne Age Criticism sebagai Creative Excellent pada Festival Adelaide, Australia (2000); Penghargaan Helpman sebagai Musik Orisinal Terbaik, Adikara Nugraha dari Gubernur Bali sebagai Kreator Komposisi Musik Baru (1999).
Tak heran ia bukan hanya mendapat pujian dari Jack Body, melainkan juga banyak pengamat musik internasional, termasuk dari budayawan Prof. Dr. I Made Bandem yang menyatakan bahwa Yudane adalah komponis baru yang karya-karyanya melampaui hal-hal baku serta dapat memberi nafas baru pada gamelan Bali.
Selain sebagai komposer new music for gamelan, Yudane juga memiliki pergaulan yang sangat luas, lintas disiplin dan bidang seni. Ia kerap mendorong lahirnya berbagai peristiwa kolaborasi yang membuka cakrawala baru bagi proses cipta dan berkesenian di Bali khususnya. Selain itu, ia bertindak juga sebagai kurator bersama Dewa Alit dan I Wayan Sudirana pada program “Komponis Kini: A Tribute to Lotring” menghadirkan tujuh rangkaian pertunjukan New Music for New Gamelan sepanjang tahun 2016 bekerjasama dengan Bentara Budaya Bali, sebuah ruang publik seni budaya nirlaba didedikasikan oleh Kompas Gramedia.
Program tersebut bukan hanya menghadirkan karya-karya kreasi komponis muda terkini, melainkan juga menampilkan suatu garapan musik karya-karya klasik dari para maestro terdahulu. Diniatkan bukan semata untuk memberikan pencerahan, namun juga berbagi apresiasi agar masyarakat turut merayakan bentuk-bentuk kesenian yang lahir dari ekspresi kekinian dengan capaian artistik yang terpujikan serta bermutu tinggi.
"Komponis Kini: A Tribute to Lotring”, tidak lain adalah sebuah penghargaan dan penghormatan mendalam kepada maestro gamelan yang karya-karyanya terbilang immortal. Lotring adalah sebuah fenomena, seorang seniman pelopor yang memberi sentuhan personal pada keberadaan seni gamelan Bali. Musik bagi warga asal Banjar Tegal – Kuta kelahiran 1887 ini, bukan semata sebuah persembahan untuk memaknai upacara atau ritua-ritual tertentu, melainkan juga sebuah proses penciptaan dan penemuan diri yang menandai hadirnya kemodernan pada masa itu. Semangat pencarian dan penemuan diri Lotring itulah yang menjadi spirit program ‘Komponis Kini’.
Menuju Eropalia
Berangkat dari puisi-puisi karya penyair Ketut Yuliarsa, Yudane menghadirkan empat komposisi terkininya untuk Festival Europalia bertajuk antara lain: Spring (11:30), Aquifers (26:00), Ephemeral (3:20), dan Journey (35:00) yang dipresentasikan oleh Sekaa Gamelan Wrdhi Cwaram.
Empat komposisi ini hadir melalui serangkaian dialektika Musik dan Puisi, antara nada dan kata atau antara bunyi dan arti. Dalam prosesnya, menurut Yudane, ia menciptakan komposisi berangkat dari puisi Ketut Yuliarsa yang sudah ada, tapi tidak jarang juga terjadi yang sebaliknya, yakni sebagian komposisi tercipta dan kemudian memicu lahirnya puisi sebagaimana dalam Journey dan Aquifers. Empat komposisi ini digarap selama empat tahun sebelum akhirnya dipersembahkan secara utuh kepada publik.
Proses cipta ini adalah sebentuk kolaborasi yang mengandaikan adanya kesediaan semua pihak untuk membuka diri berikut kedekatan latar tertentu yang mempertemukan kedua seniman ini. Bukan kebetulan bahwa Yuliarsa selain penyair juga memiliki pemahaman dan pengalaman bermusik, sebagai seorang pemain Sitar. Sedini muda usia, keduanya juga aktif berteater, antara lain di Sanggar Putih, Denpasar.
Konsep musikal pertunjukan kali ini berangkat dari elastisitas, yakni perenggangan waktu dan tempo serta kespontanan di dalam kesetikaan juga kebersamaan, merespon ombak (vibrato) pada gamelan Semarandhana guna menciptakan ruang meditatif di mana nada-nada melodi terhubung secara imajinasi di dalam benak para pendengar.
Secara khusus, Yudane menggarap unsur bunyi dalam Gamelan Bali dengan pendekatan baru dengan pilihan tone mikrotonal antara ngumbang dan ngisep. Adapun ngumbang ngisep adalah suatu istilah musikal Gamelan Bali perihal nada dasar yang terhubung pada sistem Pelarasan Berpasangan, yakni instrumen yang sama dilaras berbeda sehingga jadi berpasangan guna menghasilkan vibrato (ombak) atau alun bunyi terpilih pada Gamelan Bali. Seluruh komposisi ini disuratkan dalam not-not balok (partitur), digarap khusus untuk presentasi musik gamelan. Sehingga komposisi yang diciptakan tidak ada yang bersifat spekulasi, semua bunyi terencana, tertata, dan terukur.
Dengan kata lain, empat komposisi ini adalah new music for gamelan, sebentuk penciptaan gending baru dari perangkat gamelan (warisan terdahulu) yang disikapi secara baru pula. Kebaruan itu tecermin semisal adanya pengolahan instrumentasi, pelarasan, orkestrasi, warna suara dan sebagainya. Semangat kebaruan itu pula terwakili oleh capaian teknik permainan berikut struktur dan sistem kerja antar instrumentasi. Hal mana ini melahirkan sebentuk kebaruan sudut pandang, terutama adanya tata racik gending baru yang pada giliran berikutnya menciptakan pengetahuan dan perbendaharaan teknis racik baru.
Karya-karya Yudane kali ini merefleksikan perjalanan pencarian kreativitasnya guna merambah wilayah penciptaan baru, memperkaya kemungkinan musik gamelan serta merefleksikan keberanian sang kreator untuk menyikapi sesuatu yang sudah baku dan mentradisi, guna melahirkan karya baru yang orisinal dan unggul. Empat komposisi ini dicirikan oleh kesanggupan menghadirkan melodi lembut dan sangat hening sepanjang pertunjukan. Orkestra ini memanfaatkan ruang keheningan dan pengaturan irama pernafasan sebagai suatu kesatuan musikal yang utuh menyeluruh. (warih wisatsana)
*) tulisan ini telah dimuat dalam buku proceding program Europalia