Puisi Sebagai Zikir, Esai Sebagai Cermin Diri — Menyelami “Log In Haramain” dan Suara dari Jeddah

Selasa, 24 Juni 2025 : 15:06

oleh: Rissa Churria*)

Dalam dunia yang semakin sibuk dengan kepentingan pragmatis, spiritualitas kerap terpinggirkan dari percakapan manusia modern. Namun hadirnya karya Log In Haramain karya Riri Satria, yang ditulis dalam suasana ibadah haji, beserta dua esai reflektif “Surat Kepada Sahabat dari Jeddah” dan “Kesombongan”, menghadirkan ruang hening di tengah riuh, sekaligus menjadi cermin untuk bercakap dengan batin terdalam. Di sinilah kita mendapati perpaduan antara puisi, esai, dan perenungan sebagai satu kesatuan zikir, yang menuntun pembaca untuk tidak hanya merenungi Tuhan, tetapi juga dirinya sendiri dan relasi sosial yang kompleks.

Log In Haramain adalah narasi spiritual yang dibingkai dalam bentuk puisi dan esai. Pemilihan istilah “log in” bukanlah metafora sembarangan. Dalam dunia teknologi, “log in” mengandaikan akses kepada sistem tertutup, yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang diberi izin. Maka, ibadah haji dalam pemahaman Riri Satria adalah bentuk akses spiritual—hanya mereka yang dipanggil oleh Tuhan yang bisa “log in” ke ruang suci Haramain.

Puisi-puisi dalam buku ini, seperti Tawaf, Munajat, Jalan Puisiku, Senja, dan Pesan dari Langit , bukan sekadar ekspresi estetika. Ia adalah bentuk zikir modern: doa yang dirangkai dalam diksi, kontemplasi yang ditulis dengan irama. Riri menulis:

“Tuhan, jangan cabut puisi-Mu,

sudah tertanam dalam roh diriku.”

Kalimat ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jalaluddin Rumi sebagai “syair ilahiah”—bahwa dalam puisi sejati, penyair bukanlah pengarang melainkan penerima. Maka puisi bukan ciptaan, melainkan wahyu kecil yang menggugah. Teori ini sejalan dengan pemikiran Paul Ricoeur tentang hermeneutika simbolik, bahwa bahasa puisi menyimpan makna terdalam yang hanya bisa ditangkap dalam perenungan batin.

Dalam esai “Surat Kepada Sahabat dari Jeddah,” Riri menulis dengan gaya surat pribadi, namun sarat dengan filsafat moral Islam. Ia menegaskan bahwa memaafkan adalah kemuliaan, membantu sesama adalah keharusan, tetapi melindungi harga diri adalah keniscayaan. Kalimat seperti:

“Jangan sampai dikerjain, lalu harga diri kita diinjak-injak oleh manusia yang memanfaatkan kebaikan dan pemaaf kita.” menandakan sikap yang matang secara spiritual dan sosial. Di sinilah kita menemukan dialektika antara kelembutan dan ketegasan. Ini bukan paradoks, melainkan hikmah. Seperti kata Karen Armstrong, spiritualitas yang sehat adalah compassion with clarity—kasih sayang yang tetap jernih menilai.

Sementara dalam esai “Kesombongan,” disorot fenomena umum: orang merasa dizalimi padahal ia yang menzalimi. Riri mengutip nasihat ustadz, bahwa:

“Jika memang punya niat baik, maka tidak penting sampai menyelidiki siapa yang salah atau benar. Mulailah dengan meminta maaf.”

Namun ia menambahkan bahwa jika masalah terlalu serius, pengadilan menjadi tempat etika dan kebenaran diuji. Di sini ia menggemakan prinsip Al-Ghazali tentang hisbah, bahwa umat Islam perlu menjaga keseimbangan antara introspeksi diri dan memperjuangkan keadilan.

Dalam bagian esai “Penyair dan Kepenyairan dalam Perspektif Islam,” Riri membuka ruang refleksi historis dan teologis. Ia menegaskan bahwa Islam memberi tempat terhormat bagi puisi. Surah Asy-Syu’ara (26) menjadi fondasi: penyair dapat membawa kebaikan atau kesesatan. Hasan bin Tsabit, Ka'ab bin Malik, dan Abdullah bin Rawahah menjadi contoh penyair yang syairnya memperkuat iman dan memotivasi umat.

Pendekatan Riri terhadap puisi sebagai kekuatan etis dan sosial sejalan dengan Mc Luhan yang menyatakan the medium is the message. Dalam konteks ini, puisi bukan hanya estetika, melainkan senjata kesadaran. Maka penyair bukan sekadar perangkai kata, tetapi penjaga nurani zaman.

Puisi Agility of Life dan esai Keinginan dan Kebutuhan menggambarkan perpaduan antara iman dan manajemen modern. Gagasan bahwa Allah memberi apa yang kita butuhkan (not always what we want) menyatu dengan prinsip agility dan self initiative. Ini sejajar dengan prinsip Stephen Covey dalam 7 Habits, dan juga dengan QS Ar-Ra’d:11 bahwa Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah dirinya sendiri.

Dalam konteks ini, istikamah bukan hanya ajaran spiritual, tapi juga strategi eksistensial. Keberhasilan bukan hasil nasib, tapi buah dari konsistensi dan penyerahan penuh kepada kehendak Ilahi.

Karya Riri Satria adalah dokumen spiritual dan intelektual. Ia memperlihatkan bahwa pengalaman haji bukan hanya peristiwa fisik atau ritual, melainkan perjalanan eksistensial dan epistemik. Puisi menjadi ruang zikir, esai menjadi cermin batin. Keduanya menyatu dalam napas reflektif yang mengajak pembaca tidak hanya beriman, tetapi juga berpikir dan menjadi manusia yang lebih jernih.

Dengan demikian, Log In Haramain dan dua esai dari Jeddah bukan hanya oleh-oleh rohani, tetapi manifesto spiritual zaman ini: bahwa dalam dunia yang penuh tipu daya, manusia tetap bisa mencari cahaya; melalui puisi, melalui maaf, melalui jalan kembali kepada Tuhan.

Bekasi, 23.06.2025

Rissa Churria, adalah pendidik, penyair, esais, pelukis, aktivis kemanusiaan, pemerhati masalah sosial budaya, pengurus Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), pengelola Rumah Baca Ceria (RBC) di Bekasi, anggota Penyair Perempuan Indonesia (PPI), saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat, sudah menerbitkan 10 buku kumpulan puisi tunggal, 1 buku antologi kontempelasi, 1 buku Pedoman Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa, 1 buku Esai, serta lebih dari 100 antologi bersama dengan para penyair lainnya, baik Indonesia maupun mancanegara. Rissa Churria adalah anggota tim digital dan siber di bawah pimpinan Riri Satria, di mana tugasnya menganalisis aspek kebudayaan dan kemanusiaan dari dunia digital dan siber.


Berbagi Artikel