Sarasehan Mi-Reng: Gamelan, Bunyi, dan Gagasan yang Terus Berevolusi

Kamis, 15 Mei 2025 : 11:48

Gamelan tak sekadar gema dari masa lampau, melainkan bunyi dan ruang bagi gagasan yang terus berevolusi—mewujud dalam kreasi, kolaborasi, dan percakapan lintas generasi. Sarasehan Mi-Reng: New Music for Gamelan, yang digelar pada 9–10 Mei 2025 di Museum Wiswakarma, Batubulan–Gianyar, menghadirkan forum dua hari yang coba memetakan arah baru gamelan sebagai ekspresi budaya yang hidup, berkelanjutan, dan terbuka terhadap dinamika zaman seraya membingkai kebaruan tanpa tercerabut dari akar.

Sarasehan yang merupakan bagian integral dari Festival Mi-Reng ini memosisikan gamelan bukan sekadar warisan, melainkan ruang cipta yang hidup—terbuka pada kebaruan, tetapi tetap berpijak pada akar tradisi. Kegiatan ini diselenggarakan  oleh Mireng Festival, didukung Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dan LPDP melalui platform Dana Indonesiana, juga berkolaborasi dengan Museum Wiswakarma dan Bentara Budaya. 


Sarasehan dibuka oleh kurator Mi-Reng, Wayan Gde Yudane, dan menghadirkan narasumber lintas latar belakang yang mewakili spektrum praktik, refleksi, kebijakan seni, hingga ekosistem musik gamelan baru. Hari pertama tampil pembicara: etnomusikolog Christopher J. Miller, komponis dan performer Gema Swaratyagita, budayawan dan akademisi Prof. Dr. I Made Bandem, serta penyair dan kurator Warih Wisatsana. Diskusi dipandu oleh Galuh Praba.

Christopher J. Miller, etnomusikolog dari Cornell University, membagikan gagasannya mengenai posisi gamelan dalam ranah modernisme global. “Saya tertarik dan terkesan oleh perkembangan gamelan Bali dalam lintasan canonical modernism,” ujar Miller, sembari menyinggung capaian Dewa Alit dalam “memecahkan batas lima nada” lewat karya Geregel dan Gamelan Salukat . Dalam makalahnya, Miller juga menyatakan bahwa istilah New Music for Gamelan seperti yang digunakan Mi-Reng menawarkan kerangka baru yang lebih relevan dibanding sekadar istilah “kontemporer”, karena memuat semangat kosmopolitan sekaligus lokal yang saling menyulam.


Gema Swaratyagita, komponis sekaligus performer yang juga tampil sebagai narasumber, menggarisbawahi pentingnya pendekatan interdisipliner dalam mencipta musik baru. “Metode TUBUKA—Tubuh, Bunyi, dan Kata—saya temukan sebagai kerangka kerja yang memungkinkan bunyi tidak lagi hanya menjadi pendamping, tetapi tubuh dari ekspresi itu sendiri,” ungkap Gema. Lewat karya-karyanya, Gema mengurai keterhubungan antara gerak, bunyi, dan makna yang saling berlapis dan setara, seperti dalam komposisi Da-Dha-Dah dan TUBUKA yang telah dipentaskan di Frankfurt hingga Jakarta.
Sementara itu, Prof. Dr. I Made Bandem, MA menegaskan bahwa penciptaan musik gamelan baru sejatinya telah bergulir sejak dekade 1930-an. Ia menyingkap kontribusi tokoh seperti Colin McPhee yang menggabungkan struktur gamelan ke dalam orkestra Barat dalam karya Tabuh-Tabuhan. Bandem menekankan pentingnya ekosistem seni yang ditopang oleh kebijakan berkelanjutan. “Masyarakat perlu diajak untuk mengapresiasi gamelan klasik hingga kontemporer, dan ekosistem kesenian mesti dibangun dengan tanggung jawab bersama,” ujar Bandem.
Menutup hari pertama, Warih Wisatsana menyampaikan pandangan mengenai peran kuratorial dalam membentuk ruang penciptaan lintas batas. “Kurator dalam Mi-Reng bukan sekadar memilih karya, melainkan merumuskan arah gagasan, menjaga kesinambungan nilai, serta menghubungkan ruang, seniman, dan audiens,” jelasnya. Mi-Reng, dalam pandangan Warih, adalah laboratorium penciptaan dan ekosistem seni yang tumbuh dari kesadaran kolektif, bukan sekadar selebrasi sesaat.

“Dalam konteks penciptaan, seorang komposer atau kreator, sering kali tampak begitu spontan, seolah sebuah karya dapat tercipta begitu saja. Tapi sesungguhnya, itu buah dari disiplin yang sangat tinggi, hasil latihan yang panjang, dan penguasaan teknik yang betul-betul matang. Ada kesadaran estetik,  kematangan cipta, dan kepekaan untuk mengolah bunyi-bunyi tersembunyi secara sangat cermat. Itulah yang saya sebut sebagai kespontanan yang terlatih,” ujar Warih.

Hari kedua sarasehan menyoroti tema “Melampaui Tradisi: Kekinian dalam Kebaruan”, dimoderatori oleh I Wayan Diana Putra, akademisi ISI Bali. Komponis Putu Arya Deva Suryanegara membuka sesi ini tentang dinamika gamelan baru di luar Bali sekaligus mendemonstrasikan praktik penciptaan berbasis gamelan yang dipadukan dengan sistem komposisi elektroakustik. Ia secara khusus melakukan spasialisasi suara berbasis riset psikoakustik. Arya menyebut pentingnya menjembatani praktik notasi tradisional dengan teknologi mutakhir, agar gamelan tidak hanya lestari tetapi juga relevan di ruang global.
Zachary Hejny, musisi asal California yang aktif di Bali sejak 2012, memaparkan konsepnya tentang penciptaan musik gamelan berbasis prinsip-prinsip alami, terutama melalui teknik mendengarkan lingkungan (environmental listening), struktur politemporal, dan pemanfaatan data sonik non-manusia seperti suara kodok, napas, hingga interaksi antarfisik manusia dalam ruang sosial-kultural dan ritual Bali.

“Untuk menciptakan musik eksperimental yang bermakna, kita perlu membongkar bias budaya kita dan mengarahkan perhatian ke segala penjuru, pada semua bunyi dan struktur suara yang menyelubungi kita,” ujarnya. Hejny menolak ketergantungan pada struktur metrik Barat dan menyarankan penciptaan musik gamelan melalui gestur tubuh, komunikasi antar-pemain, dan struktur yang lebih reflektif terhadap dinamika lingkungan dan pengalaman spiritual masyarakat Bali.

Komponis Wayan Sudirana menggenapi perbincangan dengan refleksi tentang proses cipta lintas batas. Ia membedah istilah meminjam, mencuri, dan mentransformasi dalam konteks komposisi. “Kita tidak hanya dituntut bisa memainkan dan mencipta, tapi juga menjelaskan dan merawat makna dari musik yang kita mainkan. Tanpa tata kelola yang baik, nilai musik tidak akan tersampaikan dengan utuh kepada publik,” papar Sudirana . Ia juga mencontohkan pendekatannya dalam film Samsara, yang memadukan gamelan, elektronik, dan interaksi visual dalam komposisi yang menantang batas konvensional.
Wayan Gde Yudane mengakhiri sesi  sarasehan dengan rangkuman gagasan tentang masa depan New Music for Gamelan. Menurutnya, keberlanjutan bukan hanya terletak pada produksi karya, tetapi juga pada kesanggupan membangun jejaring lintas budaya yang memungkinkan gamelan berinteraksi dengan tradisi musik lain di tingkat lokal maupun global.

Ia menegaskan bahwa munculnya musik baru untuk gamelan adalah bagian dari arus kosmopolitan lintas negara yang menandai pergeseran praktik budaya dalam skala global. Bagi Yudane, hal ini bukan sekadar fenomena hibriditas, tetapi sebuah bentuk ekspresi kontemporer yang berakar pada sejarah lokal namun terbuka terhadap percakapan artistik dunia. Dengan cara inilah, gamelan terus berkembang sebagai medan kreasi yang hidup dan relevan, menyemai keberlanjutan melalui inovasi, kolaborasi, dan regenerasi dalam lanskap budaya global yang dinamis.

“Musik baru untuk gamelan terus mendobrak batas-batas tradisi dengan tetap menjaga rasa hormat yang mendalam terhadap asal-usulnya. Melalui inovasi dalam penyeteman, instrumentasi, dan komposisi, musik gamelan kontemporer mencerminkan kemampuan beradaptasi dan semangat tradisi yang telah berusia berabad-abad,” ujarnya.
Sarasehan Mi-Reng menjadi penanda bahwa gamelan bukan semata warisan yang harus dilestarikan dalam bentuknya yang konvensional, melainkan sumber daya kreatif yang terus mencipta, menafsir ulang, dan berdialog dengan zaman. Festival ini menyuguhkan bahwa new music bukan sekadar musikalitas baru, tetapi juga medan artikulasi nilai, kesadaran, dan keberlanjutan budaya.

Rangkaian Festival Mi-Reng: New Music for Gamelan akan berpuncak pada bukan Agustus 2025, menampilkan komposer dan grup-grup yang berfokus pada eksplorasi musik baru gamelan.

Sebelumnya, menyongsong Festival Mi-Reng juga diadakan Masterclass atau Loka Cipta pada bulan April 2025, mengetengahkan topik diantaranya; Sistem Pelarasan dalam Gamelan dan Tantangan Kekinian; Eksplorasi Microtonality dalam Gamelan; Rekaman Gamelan dan Produksi Suara untuk Pertunjukan Live; Musikalitas dan Puisi dan Kreasi Alihmedia; Melampaui Tradisi: Komposisi dan Penciptaan Baru. (Katarupa/ID)



Berbagi Artikel