Made Kaek: Amorf dan Warna Warni Diri

Senin, 11 April 2022 : 10:28

Sosoknya senantiasa riang, supel, dan hangat bersahabat. Dalam berbagai perjumpaan, termasuk ketika ditemui di studio sekaligus galeri pribadinya–Rumah Paros–di Sukawati, Gianyar, Made Kaek (55) dengan penuh semangat berbagi cerita tentang proses kreatif, idealisme berkesenian, dan bagaimana sebagai seniman ia menjaga kegairahan mencipta. Kesehariannya terbilang sederhana, namun bukan berarti pengalaman hidupnya biasa-biasa saja. Justru sebaliknya, dari karya-karyanya kita dapat melihat warna warni diri Made Kaek yang tersublimasi dari berbagai periode penciptaan sekaligus cerminan kematangannya sebagai pribadi maupun seorang kreator. 

Tentu bukan perkara mudah untuk meraih karya yang unik otentik dengan capaian stilistik dan estetik seperti yang dilakukan Made Kaek saat ini. Seniman yang dilahirkan di Denpasar, 23 Januari 1967 ini, mulanya berangkat dari langgam abstraksi, semata sebuah upaya sublimasi dari realita atau kejadian yang ditelaahnya secara pandangan langsung. Ia juga mengalami periode penciptaan hitam putih dengan mengelola conte dan tinta cina seturut fase-fase hidupnya yang dirundung murung; mengalami sakit berkepanjangan serta dibayang-bayangi kehilangan ayah di masa muda. Fase hidup dan periode penciptaan yang dilaluinya itu tergambar pada artikulasi rupa, ruang dan bidang pada kanvasnya. Kebebasan penciptaan boleh jadi bukan saja lahir dari kesehariannya yang ringan berbagi, tapi pengalamannya berkelana lintas negara. Ia sempat mengunjungi Venezia, Laos, Hanoi, Jepang, dan lain-lain. 

Bagaimana mulanya Pak Kaek akhirnya menemukan ragam ekspresi penciptaan dengan karya-karya yang terbilang amorf ini? 

Saya belajar melukis secara otodidak, semata mengikuti kesenangan atau hobi belaka. Ya, saya mencoba membuat sketsa-sketsa dari obyek-obyek yang ada di sekitar, corat-coret bebas saja.Yang penting gambar-gambar atau sketsa itu membangun bentuk, tidak penting kemudian apakah gambar itu harus menyerupai bentuk rupa tertentu yang lazim atau tidak. Dan terus terang, saya memang tidak mahir menggambar bentuk, karena itu saya memilih abstraksi. Tapi pilihan itu memang secara sadar, bukan semata-mata soal teknis ya, tapi menurut saya abstrak bisa melahirkan ekspresi dan cara pandang yang lebih kaya atas sebuah obyek. 

Bagaimana kemudian kesadaran akan pilihan bentuk itu membawa Pak Kaek dalam berbagai periode penciptaan? 

Sebenarnya, karena pergaulan di dunia seni rupa,  lambat laun saya juga mempelajari proses kreatif seniman-seniman lain, semisal Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Nyoman Erawan, termasuk Wayan Sujana Suklu dan lain-lain. Eksplorasi bentuk, media atau medium dalam berbagai periode cipta itu tak lain juga berangkat dari kegelisahan saya sebagai seniman untuk terus berkarya dan mencoba aneka kemungkinan. 

Pada periode-periode awal, saya memang kerap melakukan deformasi bentuk atau abstraksi dari sosok manusia atau obyek-obyek lain. Boleh dikata ini semacam titik berangkat kegelisahan saya sebagai seniman. 

Kemudian, pada fase berikutnya selama sekian waktu saya mengeksplorasi gaya monokrom dengan pilihan drawing hitam-putih menggunakan conte dan tinta cina. Ini mungkin semacam titik pergulatan bagi saya, baik sebagai seniman maupun seorang pribadi. Pada periode ini banyak menggabungkan goresan-goresan deformatif dengan unsur-unsur spiritual atau mitologi, dan tidak sedikit sketsa yang sengaja saya buat di atas kertas karena saya sangat menyukai medium itu. 

Yang terkini ya, seri-seri yang dibilang amorf ini, penuh warna warni. Setelah sekian fase, saya mulai meluapkan goresan di atas kanvas dengan lebih bebas dan benar-benar terbatasi dengan bentuk atau wujud tertentu. 

Apakah pada akhirnya karya-karya amorf ini adalah puncak dari kegelisahan pencarian Pak Kaek sebagai seniman selama ini? 

Mungkin saya tidak ingin menyebutnya sebagai puncak, atau akhir ya, sebab kesannya kita sudah sampai atau telah selesai. Padahal sesungguhnya proses berkarya dan menemukan itu, kan proses yang terus menerus. Saya tidak ingin berpuas diri dan berhenti di sini. 

Karya-karya pada seri amorf sekarang ini mungkin lebih tepat disebut penjelajahan abstraksi saya terhadap hal-hal yang bersifat esensial dan menghindar dari hal-hal yang terkesan banal, riuh gaduh atau terlalu verbal. Sebagai pelukis saya tidak ingin kehendak diri yang lebih terdepankan, atau muatan pesan tertentu yang justru bisa menjadi tirani estetika dan membatasi keleluasaan kita sebagai kreator. 


Bila tidak ada muatan pesan tertentu, lalu apa sesungguhnya yang hendak disampaikan melalui karya-karya Pak Kaek? 

Karya-karya amorf saya ini tidak bertendensi untuk mengungkapkan pesan sosial, protes keadaan atau terbebani pernyataan. Semua pilihan warna, komposisi, hingga wujud rupa amorf itu adalah goresan ekspresi kebebasan dan perayaan kehidupan sehari-hari kita yang solider sekaligus soliter. Kalau pun hendak dibaca sebagai pesan, ya, semata adalah ungkapan kebebasan untuk Kebebasan itu sendiri.

Sebagai seniman, Pak Kaek tidak hanya berkarya di studio pribadi, tetapi juga mendirikan Rumah Paros, galeri alternatif yang memberi ruang apresiasi seni seluas-luasnya bagi para seniman maupun anak-anak muda. Apakah ini tercetus dari pergaulan Pak Kaek yang lintas batas? 

Rumah Paros atau Paros Gallery bisa dibilang adalah impian saya sejak lama. Setelah selesai menempuh pendidikan di Fakultas Hukum di Yogyakarta, saya kembali ke Bali pada 1991. Saya mulai aktif dalam pergaulan seni rupa di Bali, termasuk bergabung dengan Sanggar Dewata Indonesia. Waktu itu galeri seni di Ubud, Sanur, dan Denpasar masih terbatas, maka saya tergerak untuk mendirikan galeri sendiri dengan sistem yang lebih egaliter. Kita berbagi dan memberi ruang untuk seniman-seniman yang muda juga. 

Kini setelah lebih dari 20 tahun, saya bercita-cita Rumah Paros bukan saja menjadi galeri alternatif yang menghadirkan berbagai peristiwa pameran dan apresiasi seni, terutama lagi adalah untuk ruangnya anak-anak muda bertemu dan bertukar gagasan yang visioner. Saat ini di Rumah Paros saya tengah merancang studio kecil untuk residensi seniman serta area yang dapat dimanfaatkan sebagai panggung pertunjukan. Ke depan, bila situasi telah semakin pulih, kita sudah siap dan terbuka untuk berbagai aktivitas kesenian dan kolaborasi seniman. Dengan teknologi dan perkembangan digital saat ini, segalanya menjadi sangat dimungkinkan. 

Anak-anak muda sekarang harus mulai menekuni dunia kreatif yang lebih intens ya, bukan semata untuk jadi seniman, tapi bisa untuk mengasah kepribadian, mempelajari manajemen yang baik, dan membangun visi masa depan. Dan ini saya banyak terinspirasi dari Bli Made Wianta. 

Seperti apa sosok Made Wianta menurut Pak Kaek, dan apa hal yang menginspirasi dari pergaulan bersama selama ini? 

Bermula dari sahabat Ema Sukarelawanto yang mengajak saya berkunjung ke rumah seniman sohor Made Wianta di Jalan Pandu, Denpasar, kedekatan saya dengan Bli Made Wianta mulai terjalin. Kami kerap berdiskusi mengenai berbagai hal, mulai dari kesenian hingga fenomena sosial yang tengah mengemuka. Persahabatan berpuluh tahun tersebut menyimpan banyak kenangan indah dan berkesan.

Bli Made Wianta di mata saya merupakan salah satu seniman yang pemikirannya sangat visioner, tidak heran ia menjadi salah satu seniman besar Bali yang namanya bergaung sampai ke mancanegara. Gagasan dan cara pandang Bli Wianta menginspirasi saya dalam berkesenian. Hal yang menjadi keunggulan Bli Wianta diantara seniman-seniman lain, sebagaimana ia ajarkan kepada saya, yakni menjadi seorang seniman kita bukan hanya berkarya, tetapi juga memahami tentang manajemen seni, bagaimana seorang seniman mengelola karya-karyanya.

Kami pernah melakukan perjalanan bersama ke Venezia, bersama Suklu dan juga Panji Tisna. Selama hampir 2 minggu di Venezia, Bli Made tiada hentinya mengejutkan saya dengan berbagai ide ‘gila’ dan kreatifnya. 

Jadi, dari pertemuan dengan Made Wianta, keberadaan Rumah Paros dan soal program residensi mendatang, apa yang menjadi cita-cita atau tujuan Pak Kaek? 

Ya, seperti tadi, saya banyak belajar dan terinspirasi dari Bli Made Wianta. Selain seorang seniman yang unggul, kreatif, dan punya ide-ide gila, beliau juga memiliki manajemen seni yang bagus. Made Wianta juga satu dari sedikit seniman yang mendokumentasikan proses kekaryaannya dengan baik serta lengkap. Mungkin hal ini juga berkat pergaulannya yang luas dan masa-masa residensinya di luar negeri.

Nah, dari situlah kita bisa belajar, bahwa ternyata ekosistem pergaulan kreatif yang tepat juga penting dalam mengasah kecakapan kita sebagai seniman. Lalu, membuat manajemen organisasi juga merupakan hal yang pokok, karena sebagai seniman kita harus terus berkembang, tidak cukup berhenti sebagai kreator di studio, tapi juga bisa mengelola karya seni dan kehadiran di ruang publik. 

Dokumentasi dan arsip pribadi itu penting, bukan saja agar kita bisa membaca proses perjalanan kreatif diri sendiri tapi itu juga catatan sejarah, dan sebagai bahan studi atau kajian untuk seniman-seniman muda atau mahasiswa seni. 

Ke depan di Rumah Paros saya ingin mewujudkan cita-cita itu, melalui program kolaborasi dan residensi. Paros sebagai ruang bertemu yang hangat, kekeluargaan, dan intens. Ada program dan aktivitas khusus yang melibatkan seniman-seniman lokal di sekitar. Dengan demikian, siapa saja yang datang ke Rumah Paros atau residensi, juga bisa mendapatkan pengalaman langsung dengan sentuhan yang mempribadi serta suasana lokal yang kental. 

Pak Kaek bukan hanya seniman yang berkarya di studio, tapi juga kerap mengelola program pameran, tidak saja di Rumah Paros, tapi beberapa kali sempat pula terlibat dalam pameran kolosal-nasional, semisal Bali Megarupa dan Bali Kandarupa. Bagaimana Pak Kaek melihat peluang seni rupa Bali pada ajang internasional melalui dua perhelatan besar itu? 

Jelas ada perbedaan peran dan titik pandang kita ketika menjadi seorang seniman atau pengelola pameran. Sebagai orang yang terlibat dalam persiapan di lapangan, saya menyadari tidak mudahnya mengelola sebuah event seni rupa kolosal, ada banyak hal yang harus menjadi perhatian dari hulu hingga hilir. 

Namun demikian, dari dua perhelatan yang digelar berkala setiap tahunnya itu, Bali Megarupa sedari 2019 dan Bali Kandarupa sejak 2021, saya melihat sesungguhnya seniman-seniman Bali memiliki potensi yang luar biasa. Eksplorasi dan penjelajahan kreatif mereka harus diapresiasi. Yang mengemuka bukan saja karya-karya seniman modern kontemporer yang diwadahi lewat Megarupa, tetapi kekayaan seni klasik tradisi Bali beserta capaian turunannya yang dipresentasikan melalui Kandarupa, juga terbukti senantiasa unggul. 

Dari dua ajang itu sebenarnya bisa melihat bahwa elan kreatif perupa Bali terus berkembang, terlebih tidak sedikit memang yang berangkat atau terilahmi warisan memori kultural agraris Bali, filosofi, teknik, atau wujud rupa tradisi, kemudian bertemu dengan pengetahuan dan pengalaman modern-kontemporer, maka melahirkan karya-karya yang bisa bersanding, bahkan bersaing, dengan capaian seniman-seniman dunia di ajang internasional. Saya optimis dengan masa depan seni rupa Bali. 

Ya, demikianlah sosok Made Kaek yang senantiasa rendah hati dan terbuka. Capaian karya-karyanya adalah buah sublimasi dan pergaulan kreatif yang guyub serta intens. Ia tak segan belajar dan menggali pengetahuan kepada siapa saja. Terlebih, ia selalu riang berbagi dengan teman seniman lain, menyediakan waktu dan ruang pribadinya untuk sebuah kebersamaan yang diwujudkan melalui Rumah Paros. (WW/ID)


MADE KAEK 

Tempat, tanggal lahir : Denpasar, 23 Januari 1967

Alamat            : Rumah Paros

                                   Jalan Margapati, Banjar Palak, Sukawati, Gianyar Bali

Pameran tunggal 

1997 : Solo exhibition at Pesona Bali Resort Seminyak, Bali

2002 : Solo exhibition at Gallery Sembilan Lod Tunduh Ubud  Title “Humanity and Eccentricity” (Catalog) Solo exhibition at Tree Monkey CafĂ© & Gallery Ubud

2006 : Solo exhibition at Ganesha Gallery Four Season Jimbaran   Bali title “My Playful   Journey “(Catalog)

2017 : Made Kaek #50 at VIN PLUS, Seminyak, Bali

2021 : Amorf Made Kaek at Jimbaran HUB

Award 

1990          : Young and Sport Minister of Indonesia

1991-1992    : Bali Art Festival

1995                : Citra Usadha Indonesia Foundation Award

Buku

4 + 1 = Venezia (Publish @2004)




Berbagi Artikel