Penulis : Siswan Dewi
Sumber: imdb.com |
MIRACLE IN MILAN boleh jadi sebuah film masterpiece yang (justru) andal dalam hal “menertawakan” kemiskinan. Ironi kemiskinan tak melulu identik dengan hal-hal melankolia, nyatanya ia mengada bersama dengan kenyataan hidup yang berpotensi mengundang gelak tawa.
Pada garapannya kali ini, sutradara sohor Italia, Vittorio De Sica, merancang berbagai pengadenganan dalam balutan satire mengenai kesengsaraan hidup masyarakat Milan melalui pendekatan yang humoris. Film berlatar visual hitam putih produksi tahun 1951 ini diadaptasi dari kisah klasik novel bertajuk Totò il Buono oleh Cesare Zavattini.
Miracle in Milan mengisahkan tentang Toto, anak yatim piatu yang tumbuh menjadi sosok dengan sudut pandang optimistis, bahkan di saat ia melebur dengan kehidupan masyarakat Milan yang begitu sederhana. Berbagai ironi atas kesengsaraan hidup masyarakat kelas bawah Milan divisualisasikan dengan pengadeganan yang sebagian besar bersifat kolektif. Si tokoh sentral, Toto, kerap dimunculkan di tengah-tengah kerumunan orang yang bergerak kompak mencari “kebahagiaan” dan melawan berbagai bentuk penindasan lahan oleh para penguasa kapitalis. Kebersamaan atas kesamaan nasib yang coba dibangun dalam beberapa adegan dalam film ini, justru mengubah absurditas kehidupan sosial menjelma menjadi sebentuk kewajaran yang masih memungkinkan untuk terjadi di kehidupan nyata.
Cuplikan adegan film/Sumber foto: google |
Pengadeganan Toto yang berebut mandi cahaya matahari pagi dengan penduduk lainnya tampak atraktif. Melalui sudut pengambilan gambar dari jarak jauh (long shot), gerak-gerik tubuh para aktor terlihat begitu kompetitif, yakni beradu mempertahankan posisi berdiri di tengah lingkaran sorot cahaya matahari yang berdiameter tak lebih dari 100 meter. Gestur tersebut menyiratkan hal yang mungkin kita anggap absurd, di tengah kondisi kita yang berlimpah cahaya matahari setiap hari.
Seperti halnya dengan beberapa adegan yang menampilkan euforia Toto bersama para penduduk Kota Milan lainnya. Adanya kesamaan nasib diantara mereka justru disandingkan dengan esensi solidaritas yang semakin lugas menyampaikan bahwa, kemiskinan justru masih bisa dirayakan dan dinyanyikan. Sebuah pilihan narasi yang selain kreatif dan atraktif, boleh dikata juga cukup berani menembus batas-batas sudut pandang kita yang sudah kadung terkungkung oleh berbagai stereotip mengenai kemiskinan itu sendiri.
Cuplikan adegan film/Sumber foto: google |
Ironi tak hanya dimunculkan secara kolektif, melainkan juga secara lebih personal bahkan kontemplatif, namun tetap bersetia dengan gaya humor yang ringan dan renyah. Yakni ketika sepasang tetangga Toto yang kompak memindahkan posisi sebuah rumah mungil ke sebuah titik dimana cahaya matahari lebih terik menyoroti tanah Milan. Mudahnya para pria tersebut memindahkan posisi rumah, menyiratkan bagaimana keadaan sosial ekonomi masyarakat Milan yang hanya mampu memiliki tempat tinggal yang mungkin berselisih bobot tipis dengan penghuninya.
Terdapat pula satu adegan di mana ironi yang ditampilkan berangkat dari keadaan fisik yang memantik dilema kita. Ketika seorang kakek penjual balon turut terbang bersama seikat balon yang ia genggam, hingga kedua kakinya tak lagi mampu menginjak bumi dan memperkuat gaya gravitasi akibat bobot tubuh yang begitu ringan. Kemudian datanglah si Toto yang memberikan si kakek sepotong roti untuk dimakan. Permainan simbol-simbol bersifat jenaka yang mengandung lapisan satir tersebut menjadikan Miracle in Milan mampu menohok dengan pendekatan yang lebih segar. Mampu menarik setidaknya atensi audiens, sebelum mengarahkan mereka untuk menyelami kedalaman adegan demi adegan, yang sejatinya merilis satire demi satire kemiskinan.
Cuplikan adegan film/Sumber foto: google |
Sebab, selain berbagai adegan konyol Toto bersama para tetangganya yang menyeruak ke permukaan, terdapat beberapa adegan yang menyiratkan kondisi psikologi masyarakat kelas bawah Milan yang tergerus depresi akibat kemiskinan, sehingga memunculkan berbagai keinginan yang bersifat manipulatif. Seperti tatapan seorang pria yang mengagumi sosok patung wanita cantik di hadapannya, tak peduli bahwa ada perkelahian yang riuh tepat di belakang punggung pria tersebut. Atau sepasang pria dan wanita yang sama-sama pemalu dan menginginkan warna kulit pasangannya. Terdapat pula sosok pria individualis yang kerap berhalusinasi menjadi tawanan para tetangga lainnya, dan sosok pria lainnya yang bahkan hendak menabrakkan dirinya di tengah rel kereta api sebelum akhirnya Toto menghibur dengan lelucon lugu penuh pengharapan.
Cuplikan adegan film/Sumber foto: google |
Berbagai upaya narasi yang secara unik ditampilkan oleh Vittorio De Sica dalam Miracle in Milan, telah memposisikan film garapannya kali ini terbilang kreatif dan berbeda bila dibandingkan dengan dua masterpiece-nya yang lain, seperti Bicycle Thieves (1948) dan La Ciociara (1960). Kedua film De Sica tersebut dinarasikan dengan pendekatan yang lebih melodramatik. Ruh kisah Perang Dunia II menjadi sesuatu yang sangat diketengahkan, dengan berbagai pilihan pengadeganan yang merujuk pada situasi sosial dan psikologis akibat perang kala itu. Maka ironi yang ditampilkan dalam film Bicycle Thieves dan La Ciociara berangkat dari pergolakan batin para lakon utama yang tersirat dalam dialog maupun aksinya dalam setiap adegan.
Cuplikan adegan film/Sumber foto: google |
Sebagai buah masterpiece yang lahir dari aliran sinema Neoralisme, baik Bicycle Thieves, La Ciociara, maupun Miracle in Milan sama-sama memiliki jiwa zaman yang identik dengan kemiskinan, luluh lantah, dan kepedihan. Namun diantara ketiganya, Miracle in Milan tampak berbeda, ironi justru tampil sebagai sesuatu yang dirayakan dengan nyanyian dan gimmick yang menyiratkan bahwa Toto dan para tetangganya bukanlah masyarakat miskin biasa. Ketidakbiasaan yang menyeruak dan menggelitik pada berbagai adegan dalam film ini, justru menjadi alternatif atas pilihan narasi dan sinematografi yang lebih berwarna dan kaya dalam menerjemahkan kemiskinan menjadi sebentuk karya seni, yang sejatinya selalu memiliki ruang untuk ditafsir lebih jauh.
All we need's a shack to live and sleep in
All we need's a bit of groundto live and die on
All we ask is a pair of shoes, some socks and a bit of bread
That's all we need to believe in tomorro