Menuju 1000 Tahun Batuan, Upaya Aktualisasi dan Pelestarian Seni Di Desa Batuan

Kamis, 01 April 2021 : 15:21

(GIANYAR)-Menyongsong 1000 Tahun Batuan, Perkumpulan Pelukis Baturulangun dan kelompok topeng Citrakara menyelenggarkan diskusi seni, Minggu (28/03) bertempat di Desa Batuan, Sukawati. Pertemuan kecil terbatas ini berangkat dari kesadaran para seniman di Batuan bahwa peringatan 1000 Tahun atau Milenium ini merupakan momentum berharga dan tidak akan terulang. 

Diskusi mengundang seniman dan kurator, diantaranya Made ‘Kaek’ Dharma Susila, Ema Sukarelawanto, Warih Wisatsana, serta pegiat seni muda dari Sahaja Sehati, Ni Wayan Idayati dan Vanesa Martida. Sementara dari pihak Batuan sendiri hadir I Ketut Sadia, I Wayan Diana, Made Geriyawan, Wayan Dana Wirawan, I Wayan Eka Mahardika Suamba, I Made Jaya Jemena dan I Wayan Malik. 

I Ketut Sadia, Ketua Perkumpulan Pelukis Baturulangun Batuan mengungkapkan, “Momentum 1000 Tahun Batuan ini harus kita beri makna. Ini terjadi tepat pada generasi kita. Masih banyak warga, terlebih generasi muda di desa ini yang belum menyadari atau tidak mengetahui warisan seni budaya dan kekayaan kultural yang kita miliki di Batuan ini.”

I Wayan Diana, salah satu pengurus Baturulangun Batuan juga menambahkan bahwa telah ada beberapa warisan nilai intangible (tak berwujud) seperti keahlian dan teknik mematung dan pandil di Desa Batuan yang hampir punah karena tidak ada generasi muda yang meneruskan. 

“Kita tidak ingin hal-hal seperti ini terjadi. Bagaimana pun kita harus berupaya untuk melestarikan dan memaknai momentum 1000 Tahun Batuan. Ini penting agar generasi muda Batuan memahami sejarah Citrakara yang menjadi cikal bakal seni di Batuan dan bisa melestarikannya,” ungkapnya.

Aneka gagasan mengemuka untuk mewujudkan sebuah peristiwa seni memaknai momentum ini, termasuk upaya membangun Pusat Kajian dan Dokumentasi Batuan. Selain pameran karya-karya seni rupa, dokumentasi pementasan/pertunjukan Gambuh, Rejang Sutri, Kekawin, Kidung, Karawitan, dan lainnya agar dapat diinventarisasi, disimpan, dan dirawat di desa ini. Di samping berwujud fisik, agar tersedia pula dalam arsip digital nantinya.

“Program ini tentu saja kita harapkan bisa melibatkan SDM yang ada di Desa Batuan sendiri, baik para seniman maupun akademisi, juga anak-anak muda yang canggih menggunakan teknologi digital dan media sosial. Selain itu kami juga berharap bisa ada partisipasi dari berbagai pakar, pengamat seni, peneliti, akademisi dari berbagai institusi untuk mewujudkan acara ini,” ujar I Ketut Sadia.

Made ‘Kaek’ Dharma Susila, perupa juga Ketua Tim Kreatif Pameran Bali Megarupa 2019 dan 2020, mengungkapkan bahwa kesadaran untuk memaknai momentum 1000 Tahun Batuan ini adalah hal yang membahagiakan dan sudah sepatutnya kita bekerja bersama untuk mewujudkan hal tersebut.

“Ide-ide program untuk memaknai peristiwa ini akan kita rancang dan diskusikan. Hal-hal strategis kerjasama antar stakeholder serta publikasi untuk mewujudkan hal ini juga akan kita upayakan. Ini supaya masyarakat Bali serta publik internasional memahami bahwa Batuan tidak hanya untuk Bali, tapi persembahan seni untuk dunia,” tambah Made Kaek.

Keberadaan seni di Batuan terbukti memiliki sejarah panjang, bila merujuk pada keberadaan prasasti Baturan caka 944 (1022 Masehi), telah ada lebih dari 1000 tahun. Seni-seni yang berkembang di Batuan—yang dulu disebut Citrakara—meliputi Seni Lukis, Seni Topeng, Tari Gambuh, Karawitan, Pandil, Ukiran Batu, dan lain-lain. Seniman-seniman di Batuan hampir seluruhnya merupakan seniman otodidak yang mempelajari teknik seni lukis, topeng dan ukiran Batuan secara turun temurun—bukan secara akademis di bangku sekolah/kuliah.

Diskusi ini sebelumnya didahului dengan pertemuan awal di Rumah Paros Galeri pada 14 Februari 2021 yang diinisiasi oleh Made Kaek dan seniman Batuan, dilanjutkan audiensi ke Perbekel Desa Batuan pada 26 Maret 2021. (Teks: Vanesa/Editor:IDY/Foto:IDY)


Berbagi Artikel