Membaca Kembali Tingkat Apresiasi Pameran Seni Rupa

Selasa, 23 Maret 2021 : 17:09

 Penulis : Ganesa Putra

(Foto: Pameran Penetrasi. Batu 8 Studio. 2020. Dok. Pribadi)

Pameran seni rupa bukan sebatas ajang pamer. Bukan juga sekedar ajang meraup keuntungan materi dan eksistensi. Banyak hal di balik itu yang sebenarnya tengah diperjuangkan oleh perupa yang berpameran. Bisa berupa capaian dalam hal kekaryaan, atau barangkali ada isu tertentu yang mengusik perupa untuk mendialogkannya ke hadapan publik dalam medium pameran seni rupa. Pameran seni rupa bukan sekedar hubungan antara perupa dengan karyanya saja, namun juga dengan pihak ketiga: apresiator.

Pada saat pembukaan, umumnya pameran akan dibuka oleh seseorang yang memiliki bidang profesi atau kapasitas yang sesuai dengan tema pemeran tersebut. Katakanlah apabila sebuah pemeran mengangkat tema besar tentang ruang, maka ada kemungkinan seorang arsitek yang akan membukanya. Namun sebelum menuju ke sana akan ada sambutan atau pertanggungjawaban dari pihak penyelenggara pameran (pemilik galeri, direktur acara), kurator, serta perupanya sendiri. Barulah setelah itu pameran dibuka secara simbolik, baik dengan pemotongan pita, membuka pintu ruang galeri, atau bahkan ada juga yang menampilkan performing art yang tentunya juga senyawa dengan tema dari pameran tersebut. Ketika seluruh hadirin mulai masuk berbondong-bondong ke dalam ruang galeri, di sinilah muncul sebuah pertanyaan sederhana: seberapa fokusnya apresiator dapat mengapresiasi seluruh karya seni yang dipamerkan pada hari pembukaanya tersebut?

Barangkali jawabannya relatif, tergantung sang apresiator. Namun secara umum tingkat fokus sang apresiator dipengaruhi oleh bagaimana para apresiator berinteraksi di dalam ruang galeri. Dalam hal ini bukan hanya sebatas “berinteraksi” dengan karya seni yang dipamerkan, namun juga kepada para apresiator lainnya. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana seorang apresiator bertemu dengan orang yang kebetulan dikenalnya di pameran tersebut. Sadar atau tidak keadaan semacam ini akan memecah konsentrasi sang apresiator ketika sedang mengapresiasi karya yang ada. Selain itu keinginan apresiator untuk melihat seluruh karya secara menyeluruh dengan waktu yang singkat juga dapat memaksanya untuk secepat mungkin beralih dari karya satu ke karya yang lainnya. Belum lagi hal ini juga dipengaruhi oleh seberapa ramainya pengunjung yang hadir di hari pembukaan, yang tentunya akan menyulitkan apresiator untuk menemukan fokus saat mengapresiasi setiap karya yang dipamerkan secara mendalam.

Distraksi yang muncul sebagai akibat dari pembukaan pameran seni rupa ini menjadikan tingkat apresiasi para apresiator sebatas melihat atau menikmati karya secara pasif. Kecenderungan ini membuat para apresiator hanya sebatas menikmati karya seni rupa dari sisi luarnya saja sebagai suatu objek atau benda yang indah (Sunarto & Suherman, 2017:28). Dari sudut pandang perupa atau penyelenggara pameran, barangkali hal ini menjadi sebuah pencapaian yang kurang memuaskan untuk karya atau pamerannya itu sendiri. Itu karena tidak terjalin apa yang disebut oleh Bambang Bujono (2017) sebagai bergaul dengan karya seni rupa. Pergaulan antara karya seni dengan apresiatornya merupakan esensi dari terselenggaranya sebuah pameran. Perhatian seharusnya menjadi milik karya seni dalam momen itu. Walau pada kenyataannya distraksi dapat mengalahkan karya seni yang dipamerkan dalam hal merebut perhatian. Namun hal ini tentu tidak salah, mengingat manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk bercengkrama dengan sesamanya. Alternatif pilihan bagi para apresiator untuk dapat berinteraksi dengan karya yang dipamerkan mungkin bisa didapatkan pada hari-hari setelah hari pembukaan pameran. Apabila para apresiator mampu menahan diri untuk tidak menghadiri pembukaan pameran dan kemudian menyempatkan waktu untuk datang di hari lain setelahnya, saat itulah tingkat apresiasi dari apresiator dapat “naik kelas”.

Hanya pada saat itu dialog antara karya dengan apresiator dapat terjalin dengan kuat.  Apresiator akan dapat lebih fokus dalam mengapresiasi setiap karya yang menjadi capaian estetik sang perupa, atau bahkan dapat sudut pandang baru mengenai suatu isu yang tengah disampaikan oleh sang perupa lewat karyanya. Tingkat apresiasi yang awalnya bersifat pasif dapat berubah menjadi aktif. Detail-detail karya akan dapat terbaca dengan lebih seksama oleh sang apresiator. Karya yang terpajang di dalam ruang pameran jadi dapat “berkomunikasi” dan “bergaul” lebih instens dengan apresiator yang tentunya dibantu oleh ruang yang ada.


Berbagi Artikel