Penulis : Ganesa Putra
(Foto:
Poster film “Happy Old Year”. Sumber: IMDB) |
Siapa sangka kegiatan bersih-bersih rumah dapat menjadi begitu emosional? Barangkali kegiatan umum semacam itu hanya akan menguras waktu dan tenaga. Namun tidak halnya dengan Jean (Chutimon Chuengcharoensukying), seorang perempuan muda yang sibuk membersihkan berbagai barang di rumahnya dalam fim Happy Old Year (2019).
Sutradara Nawapol Thamrongrattanarit berhasil membangun unsur naratif menjadi kekuatan utama dalam film ini. Secara garis besar, film ini mengisahkan Jean yang ingin mendesain ulang interior rumahnya dengan konsep minimalis, namun terhambat oleh barang-barang kenangan masa lalunya. Selama satu jam lima puluh tiga menit penonton akan dituturkan tentang bagaimana idealisme Jean berusaha melawan perasaannya sendiri ketika berhadapan dengan begitu banyaknya barang serta kenangan-kenangan masa lalunya.
ANTARA JEAN, BARANG, DAN KENANGANNYA
Selalu ada kenangan yang menempel pada setiap barang. Hal itu membuat Jean harus melawan barang-barang masa lalunya, baik secara fisik maupun mental. Keinginan Jean dalam film ini cukup sedarhana: sebuah desain interior dengan konsep minimalis untuk rumahnya. Namun kondisi rumah yang sesak dengan berbagai jenis barang tentu bukan awal yang baik untuk memulai mewujudkan keinginannya itu.
Walau ide dasar film ini terbilang cukup sedarhana, namun proses Jean dalam merealisasikannya menjadi daya tarik utama dalam film dengan genre drama-romantis ini. Sutradara Nawapol Thamrongrattanarit memilih menggunakan barang-barang masa lalu Jean tidak hanya sebagai objek atau pelengkap mise en scene di dalam layar semata, namun mereka—barang-barang itu—lah yang membawa Jean kembali ke berbagai aspek kehidupan yang pernah dia tinggalkan, dan memaksanya untuk menyelesaikan beberapa hal yang belum sepenuhnya usai di masa lalu.
Banyaknya barang yang harus dikelola Jean membawanya menemui beberapa teman lamanya, dan juga Aim (Sunny Suwanmethanont) yang diceritakan sempat menjalin hubungan dengan Jean di masa lalu. Secara halus penonton diajak untuk mulai menyelami bagaimana hubungan antara kedua karakter ini. Kejutan-kejutan kecil mewarnai proses Jean dalam mendamaikan hubungannya dengan Aim, sampai menuju akhir film tercipta satu keputusan akhir di antara keduanya. Walau hal ini awalnya tidak menjadi motivasi utama dari Jean, namun metode yang digunakan oleh sutradara dalam memasukan penggalan kisah diantara keduanya ke dalam unsur naratif film menjadikan film ini terkesan sedikit lebih “manis”.
Menggunakan barang sebagai media untuk memantik perjalanan tokoh utama dalam sinema bukanlah hal yang baru. Beberapa film sudah lebih dulu menggunakan metode ini sebagai unsur penggerak ceritanya. Katakanlah seperti film A Copy Of My Mind (2015) karya Joko Anwar yang menggunakan kepingan DVD sebagai alat untuk menggerakan film menuju akhir cerita, begitu juga film Rear Window (1956) karya maestro Alfred Hitchcock yang menggunakan kamera sebagai perantara tokoh utama dalam memecah kasus pembunuhan. Tidak hanya dalam kancah film panjang, dalam ruang lingkup film pendek, karya sutradara Wregas Bhanuteja yang berjudul Lemantun (2014) juga menggunakan lemari sebagai penggerak utama cerita filmnya.
Dalam kasus film Happy Old Year, barang-barang yang begitu beragam membawa kita untuk dapat mengenal Jean lebih mendalam. Kita jadi tahu bagaimana hubungan keluargaanya dari piano peninggalan ayahnya yang masih berada di rumahnya. Kita jadi paham bagaimana hubungan asmaranya dulu dengan Aim yang divisualisasikan dalam beberapa scene khusus. Pada akhirnya karakter Jean dalam film ini secara perlahan dipaksa untuk dapat melepaskan, baik barang dan kenangan yang terdapat di dalamnya. Melepaskan dan merelakan apa yang sudah terjadi menjadi tujuan akhir Jean yang tersirat dalam film ini, dan hal itu dapat terbaca dengan mudah dan tentunya selaras dengan apa yang awalnya diinginkan oleh Jean dalam film ini: sebuah desain minimalis untuk rumahnya, atau lebih tepatnya sebuah kesempatan untuk dapat memulai segalanya lagi dari awal.
BERPIKIR ULANG TENTANG GAYA HIDUP MINIMALIS
Membenturkan gaya hidup minimalis yang belakangan menjadi tren masyarakat modern dengan kenangan yang tersimpan pada setiap barang milik pribadi menjadi modal utama dalam film Happy Old Year. Kedua sisi saling memberikan motivasi bagi tokoh utama dalam film ini untuk mencapai tujuannya.
Memilih konsep minimalis sebagai landasan awal dalam film ini menjadikan film ini cukup relevan dengan kehidupan masa kini. Seperti yang diketahui bersama, belakangan gaya hidup yang menjunjung tinggi nilai esensial dari suatu barang ini menjadi tren yang cepat menyebar, khususnya di media sosial. Gaya hidup yang mengajak setiap orang untuk tidak berprilaku konsuntif ini seakan mencoba melawan kecenderuangan dari kehidupan modern yang serba mudah untuk mengkonsumsi apapun secara berlebihan. Film Happy Old Year mencoba untuk memberikan sudut pandang yang barangkali tidak baru, namun relevan dan mungkin dialami sebagaian besar orang yang berpikir atau mencoba juga untuk menerapkan gaya hidup minimalis. Apakah semudah itu membuang setiap barang sudah lama menetap di rumah kita dan tentunya memiliki kenangan tersendiri? Bagaimana sebaiknya memproses perasaan agar dapat terlepas dari barang yang telah menyimpan berbagai kenangan di masa lalu?
Perubahan yang bersifat memaksa, tentu tidak akan mudah. Keteguhan hati dan idealisme Jean diuji sepenuhnya dalam film ini. Akankah transformasi ini berhasil untuk dilakukannya atau tidak, dapat disaksikan dalam film ini melalui salah satu layanan streaming film berbayar. Kesempatan menyaksikan film Happy Old Year dapat dimaknai sebagai kesempatan untuk berpikir ulang tentang gaya hidup minimalis, atau bahkan mempertanyakan kembali keberadaan suatu barang itu sendiri.