Penulis : Ganesa Putra
Dalam situasi yang masih abu-abu seperti saat ini, upaya Sika Gallery dalam menyelenggarakan Bali Emerging Artist (BEA) 2021 patut diapresiasi. Terselenggaranya perhelatan seni rupa ini mencerminkan bahwa kegiatan seni rupa di Ubud tidak padam walau pandemi masih berlanjut. Apalagi mengingat Ubud adalah salah satu daerah pariwisata di Bali yang sangat terdampak situasi pandemi saat ini.
Melalui sistem open call, BEA berhasil menyaring sebanyak 17 perupa muda Bali dari lebih 100 seniman yang mengirimkan aplikasi, untuk berpameran bersama sekaligus menunjukan capaian terkini kekaryaan mereka ke hadapan publik. Pameran yang berlangsung sedari tanggal 20 Maret 2021 – 25 April 2021 menampilkan 25 karya terpilih, terdiri dari patung, instalasi, fotografi, keramik, gambar dan lukisan, dan cetak grafis.
Adapun para seniman muda terpilih tersebut antara lain: Anis Kurniasih, Andre Yoga, Deny Kurniawan, Dewa Made Johana, I Gusti Ngurah Dalem Diatmika, I Gede Sukarya, I Kadek Didin Djunaidi, I Made Surya Subrata, I Putu Sastra Wibawa, I Putu Yoga Satyadhi Mahardika, I Wayan Aris Sarmanta, I Wayan Piki Suyersa, I Wayan Sudarsana, Kuncir Sathya Viku, Lilu Herlambang, Rama Indirawan dan Vinent Chandra.
Terselenggaranya BEA 2021 menjadi momentum yang baik bagi para perupa muda Bali untuk mengekspresikan diri dan menunjukan aktualisasi diri mereka ke publik. Tidak adanya keterikatan pada satu tema maupun media dalam pameran ini dapat memberikan kebebasan kepada para perupa dalam merespon situasi sekaligus membuka berbagai kemungkinan penciptaan. Hal ini tergambarkan dengan gamblang dalam ruang galeri, di mana setiap perupa benar-benar menampilkan capaian teknik, konsep, serta pemaknaan terhadap situasi dengan kemampuan dan kemauan masing-masing secara optimal.
BEA diinisiasi oleh Sika Gallery dan Kemal Ezedin Studio. Kurator pameran ini Dwi S. Wibowo, mengungkapkan bahwa seniman-seniman yang terpilih dalam seleksi kali ini merupakan perupa yang karya-karyanya menggambarkan keterkaitan yang kuat dengan konteks sosial kontemporer, dan sebagian lainnya adalah kreator yang mencoba menyajikan eksplorasi artistik yang berakar pada tradisi dan konteks budaya yang melekat pada dirinya.
Kebebasan yang diberikan kepada para perupa muda ini sesungguhnya dapat memberikan proyeksi atau gambaran perihal bagaimana wajah medan seni rupa Bali di masa mendatang. Capaian estetis yang ditampilkan dalam pameran ini menunjukan kecendrungan perupa muda Bali untuk mencoba memadupadankan apa yang sudah ada di masa lalu, dengan kemungkinan-kemungkinan di masa kini dan mendatang. Atau bahkan keluar dari “kenyamanan” masa lalu dan sepenuhnya mengeksplorasi berbagai kemungkinan secara totalitas.
Sebagai contoh, dalam karya “Prababhipraya II & III: Caring For New Hope Ahead” (2020), I Wayan Aris Sarmanta tampak mengeksplorasi dua aspek, yakni bentuk dan cara penyajian karyanya di ruang galeri. Hal itu dapat disimak pada gestur dari obyek dalam karyanya yang terlihat menyerupai gestur yang umum dijumpai pada obyek pewayangan dalam lukis tradisional Bali. Titik berangkatnya boleh jadi adalah dari daerah asalnya, yaitu Batuan yang memang dikenal sebagai salah satu dari daerah dengan gaya lukis tradisional Bali selain Kamasan dan Ubud. Dalam karyanya ini terlihat bagaimana dua bentuk—tradisi dan modern—dipadupadankan sedemikian rupa demi mencapai satu pemaknaan yang relevan dengan situasi terkini. Sedangkan metode penyajian karyanya yang tidak konvensional adalah bagian dari upayanya untuk menunjukkan berbagai kemungkinan dalam aspek presentasi karya ke publik.
Karya Aris Sarmanta |
Ke tujuh belas perupa muda ini tentunya sudah mencoba berbagai kemungkinan dalam jejak mereka berkarya selama ini. Sampai pada akhirnya memilih apa serta bagaimana sebuah makna diterjemahkan ke dalam suatu bentuk karya seni secara utuh dengan metode-metode tertentu. Dengan berangkat dari akar tradisi Bali yang kuat, proses regenerasi seni rupa Bali ke depan patut untuk selalu ditunggu perkembangannya.
Ruang Seni dan Upayanya Terkini
Walau ruang publik untuk mengapresiasi seni memang sudah semakin banyak, namun konsistensi dan gerak bersama menjadi modal dasar untuk membuat medan seni rupa Bali tetap berputar. Apalagi di tengah berbagai terobosan metode pameran virtual akibat dari adaptasi situasi pandemi, seharusnya memberikan ruang seni lebih banyak kemungkinan baru untuk menyelenggarakan sebuah acara pameran.
Begitu juga dengan beragam isu menarik yang barangkali dapat menjadi pijakan dasar dalam membuat konsep narasi pameran. Bagaikan karya seni rupa itu sendiri, baik bentuk maupun isi, sebuah pameran penting untuk selalu memikirkan imbas yang mungkin akan tersampaikan kepada publik, dan bukan sekadar capaian estetis semata. Semua ini akan membuat ekosistem seni tetap terjaga baik kuantitas dan kualitasnya, yang mana tentu semakin menarik ke depannya.