Penulis: Warih Wisatsana*
(cover buku Emilie) |
Pada pandangan pertama, Emilie hanyalah sebuah novel tentang petualangan dan kemelut batin seorang wanita muda Eropa di Hindia Belanda. Meskipun demikian, sesungguhnya yang menjadi tema adalah pergulatan historis dari “Indonesia” pada awal abad yang lalu, tahun 1900-an, yakni ketika mulai bertunas gagasan-gagasan identitas kebangsaan sebagai akibat dari dua fenomena yang kait-mengait: di satu pihak kolonialisme yang tengah memuncak di mana-mana, dan di lain pihak arus “pencerahan” humanistis yang meniscayakan adanya keadilan, dan dengan sendirinya turut menderaskan gelombang kemerdekaan bangsa-bangsa. Kisah Emilie adalah metafor dari pergulatan zaman itu.
Emilie lahir di kota kecil Langon pada ujung abad ke-19. Dia dibesarkan ayahnya, seorang saudagar kaya, berhaluan politik Republikan-Radikal, yang memihak apa dipandangnya sebagai universalisme. Sang ayah adalah pengagum Emile Zola, yang memperjuangkan penghapusan diskriminasi anti Yahudi. Namun, mencerminkan semangat zamannya, dia meyakini bahwa, melalui kolonialisme, humanisme akan terwujud di belahan negeri manapun. Paradoks zaman itu menjadi sumber pertanyaan yang membayang-bayangi Emilie sepanjang pengalamannya di Hindia Belanda, ketika mendampingi suaminya, Lucien, yang ditugaskan sebagai asisten keamanan pada pemerintah kolonial di Batavia.
Emilie, semakin bertemu dengan manusia aneka bangsa serta beragam pengalaman, termasuk kaum pribumi, semakin pula menyadari adanya kontradiksi dalam konsep universalisme anutan ayahnya, dan lantas berangsur-angsur tercerahkan. Sebaliknya, Lucien, semakin merasuki perannya selaku pejabat kolonial, kian menerima wacana kolonialisme sebagai sarana “mengadabkan” bangsa-bangsa dunia.
Ilustrasi suasana Hindia Belanda pada masanya. |
Dalam novel Emilie terungkap paradoks yang melekat pada kebudayaan Barat sejak Auflärung abad ke-18, yaitu kontradiksi antara ideologi universalis modern, yang selalu memperluas jangkauannya dengan senantiasa mengkritisi diri, dan logika sistem kapitalis yang cenderung melahirkan aneka ragam dominasi.
Namun segera harus dikatakan disini bahwa “pencerahan” yang dialami Emilie, tidak sepenuhnya merupakan buah pemahaman intelektual yang sadar. Yang menjadi pemicu dari kesadaran baru adalah gejolak pengalaman pribadinya, khususnya gelora cintanya. Bukankah memang pengalaman tersebut kerap memegang peranan utama di dalam pembentukan cara pandang seseorang.
Sang Sejarah
Layak dikemukakan, walau di sana sini pembaca disuguhi petualangan cinta antar bangsa, hal ini bukanlah sajian utama. Pengarang Catherine van Moppès sesungguhnya menyuguhkan suatu karya yang mengeksplorasi Geistzeit alias jiwa zaman Hindia Belanda seratus tahun lalu.
Pada saat kisah Emilie berlangsung, kolonialisme memuncak. Sesuai kesepakatan Kongres Berlin (1995) wilayah-wilayah seberang benua Eropa yang masih “bebas” telah habis dibagi-bagi di antara negara-negara penjajah. Pergolakan berkobar dimana-mana: di Kongo, lawan Belgia, di Afrika Barat dan Indocina lawan Perancis, di Asia Tengah lawan Inggeris dan Rusia, di Filipina lawan Amerika, setelah kuasa Spanyol atas kepulauan itu direbutnya dalam perang 1995. Rusia dan Jepang, usai menduduki paksa wilayah-wilayah Tiongkok Utara, terlibat perang di Siberia. Adapun Tiongkok dicabik-cabik oleh bangsa Eropa dan Jepang. Sementara Belanda tengah mematahkan perlawanan Aceh serta menyiapkan serangan atas Bali. Jadi persaingan imperialisme memuncak, seolah menyiapkan musibah-musibah paroh pertama abad ke-20, yakni perang dunia pertama dan berikut kedua.
Meskipun demikian, dan seperti tertera pada kisahnya, ekspansi kolonial itu bukanlah tanpa disertai aneka perdebatan di kalangan politikus, cendekiawan, perserikatan buruh dan bahkan kaum pemilik modal itu sendiri.
Ilustrasi suasana Hindia Belanda pada masanya. |
Di antara yang sepakat, ada yang mengatasnamakan kejayaan bangsa, kepentingan ekonomi negara atau hasrat adventurir; tetapi, pada zaman dan lingkungan asal Emilie, yang mengemuka justru para pendukung ekspansi kolonial atas nama panggilan historis sebagai “burden of the white man” (Kipling), atau upaya “mengadabkan bangsa-bangsa yang terbelakang”. Meskipun demikian, tidak sedikit pula orang yang mulai mempertanyakan keabsahaan penjajahan –terutama sejak gelombang revolusi 1848 di Eropa. Di antara kritik utama atas penjajahan tercatat seruan Victor Hugo, tokoh favorit ayah Emilie, yang menentang perang opium di Tiongkok (1858). Menyangkut kritik lebih mendasar, hendaknya diingat maraknya kritik dari aneka kalangan sosialis, termasuk Marxis. Pada waktu Emilie tumbuh dewasa, pengarang Amerika Mark Twain memelopori Liga Anti-Imperialis yang menentang pendudukan Filipina. Bahkan satu tahun setelah Emilie di Batavia, keluar karya besar Conrad “In the Heart of Darkness” (1905) yang mengisahkan horor yang menimpakan masyarakat Kongo, kala itu milik pribadi raja Belgia. Semua penjelasan ini layak dipaparkan sebagai latar situasi sosial politik yang membingkai jalinan cerita Emilie.
Pergulatan pendapat di atas itu merupakan tema utama pengarang sedini awal kisahan novelnya, ketika Emilie berangan-angan menuju negeri jauh. Meskipun demikian, kala itu Emilie belumlah menyadari adanya kontradiksi-kontradiksi antara pandangan-pandangan pembenaran atas kolonialisme dan realita sosial-politik. Jadi pencerahan yang dicapainya pada akhir novel, ketika dia mendukung gerakan kemerdekaan, berbeda dari “pencerahan” ilusif yang mengilhaminya sebagaimana terbaca pada awal cerita, di mana Emilie belum menyadari bahwa universalisme humanistis Eropa, zaman itu, pada galibnya hanya sekadar selubung bagi penindasan kolonial. Di antara kedua ujung pencerahan itu terdapat aneka pertemuan di Belanda dan di kapal, pengenalan atas gagasan Multatuli dan Raden Ajeng Kartini, pertemuan dengan kaum radikal Tionghoa di Batavia, serta kisah petualangan seksual dengan seorang pribumi. Jadi semangat kemanusiaan Emilie berkembang selaras dengan bertambahnya pengalaman hingga menyeruak mengilhami keseluruhan dinamika kepribadiannya.
Ilustrasi suasana Hindia Belanda pada masanya. |
Di dalam hal ini, sang pengarang berhasil memadukan pandangan post-modern, menyangkut kenisbian universalisme Barat, dengan kisah hidup seorang tokoh wanita yang terbawa gelombang sejarah. Catherine Van Moppès menjadikan pertumbuhan kepribadian Emilie sebagai sarana untuk mengekspresikan pertarungan zamannya: Emilie-lah sang Sejarah itu sendiri.
Jalinan Tematis
Tokoh Emilie muda berwatak naif: dunia-dunia luar hanya hadir berupa kapal-kapal, nama toko dan lalu-lalang pedagang antarbangsa. Akan tetapi semua itu tak lebih dari lamunan kesehariannya tentang tanah janjian. Sebagaimana umumnya masyarakat setempat, gagasan-gagasan humanistis yang ada dalam dirinya, hanyalah menyangkut pertarungan politik lokal Perancis, di seputar isu-isu Republik versus Kerajaan, isu penghapusan diskriminasi anti-Yahudi, emansipasi wanita dll. Bangsa-bangsa seberang hanya hadir sebagai dongengan.
Variabel pribadi memainkan peranan penting dalam memicu kesadaran Emilie. Meskipun demikian, seks, baginya bukanlah petualangan hedonis, melainkan sarana mengeksplorasi batas jati diri. Kekhasan perilaku ini dapat dirunut sedini usia remajanya, ketika dia tersangkut hubungan dengan Sarah, pengasuh pribadinya dari Inggris. Kemudian, ketika berhubungan dengan calon suaminya, dia mengalami distorsi pribadi antara cinta sebagai birahi, yang terpuaskan, dan cinta yang lebih utuh, yang ketiada-adaannya menimbulkan angst mendalam baginya. Angst tersebut adalah kehampaan yang disebabkan oleh tautan batin dengan kekasih lesbinya, yang tak kuasa dipupuskannya.
Ketika Emile mulai merasakan bahwa cara Lucien menyikapi tanah jajahan semakin jauh dari pemahaman dirinya, dia menjadikan seksualitas sarana pemberontakan politiknya. Perlahan tanah jajahan bukan lagi tanah janjian sebagaimana pada masa remajanya, melainkan tanah perjuangan bagi humanisme yang sesungguhnya, meski untuk itu ia harus rela mengorbankan cinta utuh yang ditemuinya di Batavia. Maka Anendo mewakili sisa impian masa mudanya tentang tanah janjian eksotis, dan sekaligus terbitnya kesadaran baru yang bersifat politik.
Cerita pergolakan jiwa Emilie itu terjadi di tengah pusaran perubahan sosial politik yang tengah terjadi di Negeri Belanda dan Hindia Belanda. Pada waktu itu, akibat kegagalan ekonomi culturstelsel, Negeri Belanda tengah mempertanyakan kebijakannya kolonialnya.
Negeri Belanda kala itu adalah relatif lebih tercerahkan daripada bangsa penjajah lainnya. Kekuatan liberal, perserikatan buruh dan bahkan kelompok sosialis Marxis mulai memainkan peran yang semakin signifikan di dalam kehidupan sosial dan politik. Yang berkuasa adalah pemerintahan-pemerintahan koalisi yang kerap mengakomodasi kelompok Katolik dan kaum kiri tengah. Hal ini berdampak pada upaya untuk mengubah kebijakan kolonial. Ternyata novel Max Havelaar (1860) sudah menjadi bacaan wajib calon petugas kolonial. Di sisi lain, sedini di Institut Kolonial Leiden-lah, di mana Lucien memperoleh pembekalan, mulai nampak benih-benih perbedaan antara Emilie dan suaminya.
Ilustrasi suasana Hindia Belanda pada masanya. |
Kebijakan Politik Etis (1901), yang bersemangat reformis itu, tidak mampu mengatasi kontradiksi-kontradiksi yang inheren pada aneka kepentingan yang diwakilinya. Reformasinya konkrit, tetapi terbatas. Tujuannya ialah mengadaptasi kolonialisme pada ragam kapitalisme yang lebih terbuka, bukan menggantikan penjajahan dengan sistem yang lain. Meskipun demikian, ketika hendak memperluas ruang gerak dan kuasa politik penduduk setempat, kebijakan etis serta merta ditanggapi secara reaktif oleh berbagai kelompok yang merasa terganggu posisi sosial serta politiknya.
Penanganan gejolak itu, yang menjadi tugas suami Emilie, melatarbelakangi kian menjauhnya Emilie dari Lucien. Pengarang tidak mengisahkan secara rinci gejolak politik terkait. Hanya disiratkannya bahwa terjadi kerusuhan lokal dan bahwa kelompok-kelompok reaksioner Belanda berupaya menggagalkan Politik Etis. Disitu terlihat dengan jelas nasib segala bentuk reformisme kolonial: alih-alih membendung arus sejarah, ia malahan mempertajam kontradiksi antara mereka yang berkiblat “ke depan” menuju pembebasan, atau sikap sebaliknya, menolak segala perubahan, terutama bagi mereka yang merasa kepentingannya terancam.
Simpang Pilihan
Terjepit antara kedua kecenderungan itu, Lucien memilih status-quo: apapun humanisme acuan masa mudanya, dia semakin berpihak pada sistem kolonial, hingga menjadi semakin reaksioner dan represif. Emilie mengalami evolusi yang sebaliknya. Selaras dengan kian meluas hubungannya dengan masyarakat umum, dia kian menyadari betapa hampa selubung humanis-universalis yang melekat pada ideologi kolonial. Semakin Emile sadar atas manipulasi ideologis itu, dan semakin dirinya menyadari Lucien buta terhadap keadaan sesungguhnya, semakin pula ia merasa tak salah mengkhianatinya. Oleh karena itu pengkhianatan seksual Emilie, dengan Anendo yang pribumi itu, sejatinya berarti tercapainya puncak kesadaran politiknya.
Awal dari kesadaran politik Emilie tidak terjadi akibat persentuhan langsung dengan masyarakat pribumi. Emilie hidup di Batavia, yang pada masa itu sepenuhnya “dikuasai” oleh penjajah Belanda dan kelompok-kelompok penyokong kekuasaannya. Orang-orang Jawa dan Sunda, yaitu penduduk yang menempati pedalaman pulau Jawa, belum merupakan mayoritas penduduk Batavia. Orang-orang “Inlander” memang boleh dikata tidak hadir di dalam kisah awal Emilie di Batavia, selain sebagai aneka pembantu yang nota bene menjadi “pembuka pintu” Emilie pada rahasia-rahasia Jawa dan Timur lainnya. Tetapi absennya kaum pribumi janganlah dianggap sebagai kelalaian pengarang. Batavia seratus tahun yang lalu adalah suatu metropolis kolonial berpenduduk terbatas –di seputar 100.000 penduduk—di mana orang Belanda dikelilingi masyarakat Tionghoa, Indo, dan “Inlander” lapisan bawah. Kala itu kebijakan pendidikan dari Politik Etis baru saja dirintis, dan belum banyak kaum bangsawan lokal terdidik yang menghuni kota itu.
Fokus dari kisah penyadaran politik Emilie adalah masyarakat Tionghoa. Pengarang memang dengan tepat mengisahkan peranan masyarakat ini kunci dari modernisasi Hindia-Belanda. Orang Tionghoa menempati posisi yang khas di persimpangan: sebagai perantara penjajah Belanda dan masyarakat pribumi; sebagai pedagang antarkota dan antarpulau; sebagai perantara lalu-lintas barang dan ide antara daratan Tionghoa dan Nusantara; sebagai kaum terdidik pertama dan penampung ide-ide dari Belanda dan Eropa pada umumnya. Pengarang memang mengisahkan segi “gelap” yang melekat pada posisi tersebut – triad, pemegang hak cukai, pemegang kedai candu dll- tetapi, dan itu yang merupakan segi paling menarik dari novelnya, dia menekankan pentingnya peran masyarakat Tionghoa sebagai penyebar gagasan baru tentang kebebasan dan kemerdekaan.
Disini suatu catatan historis perlu ditambahkan. Pada tahun 1904, Tiongkok berada di dalam suatu periode « antara », antara perang Boxer (1900), perang saudara melawan « setan-setan asing », dan revolusi Tiongkok pertama, yang menjatuhkan kekaisaran Qing pada tahun 1911. Periode itu dicirikan oleh reaksi politik di bawah kaisar Ts’eu Hi. Gagasan-gagasan revolusioner yang diilhami oleh cita-cita berbagai revolusi-revolusi Barat, terutama Revolusi Perancis (1789) dan “Commune Paris” (yaitu pemerintahan sosialis tahun 1871), kian merebak. Dikejar oleh polisi Ts’eu Hi, tidak sedikit di antara penganut gagasan radikal itu yang berlindung di luar negeri, di antaranya di Nusantara, di mana mereka meneruskan perjuangannya –serta menyebarkan gagasan pembebasan dan kemerdekaan.
Emilie bertemu secara kebetulan dengan aktivis pelarian dari Tiongkok itu. Dia segera menyadari bahwa idealisme mereka sejatinya jauh lebih radikal daripada “humanisme” burjuis yang diyakininya. Keterpikatan dengan gagasan mereka memaksanya melanggar aneka tabu sosial: tabu yang melarangnya untuk bergaul secara leluasa dengan orang-orang di luar kalangan Eropa. Setiap pelanggaran Emilie disertai oleh rasa pembebasan baru dan sekaligus peningkatan kesadaran politiknya. Meskipun masih kerap dipandang “kulit putih”, Emilie semakin nekat hingga pada akhirnya melakukan pelanggaran yang terberat: alias pengkhianatan atas pernikahannya, yang dilakukannya dengan Anendo, seorang “Inlander” dari sebuah pulau nun jauh di Timur sana, pulau Solor.
Titik Puncak Kesadaran
Sekilas membaca selubung adegan-adegan erotis, terkesan bahwa Emilie adalah seorang Lady Chatterly yang haus seks dengan bawahan sosialnya. Tetapi pengarang disini tidak membicarakan seks sebagai kuasa seorang wanita atas tubuhnya, melainkan sebagai alat kesadaran politik. Kesadaran itu mencapai titik sempurna ketika dia menyaksikan pembunuhan Robert Müller, atasan Lucien, pada suatu pertunjukan teater Tionghoa. Posisi Anendo, rekan selingkuh Emilie berbeda: yang Yang diidamkannya adalah Nusantara yang bebas. Pada dirinya naluri politiknya lebih mengemuka daripada kehendak cinta. Jadi dia sesungguhnya adalah sosok yang lebih matang daripada Emilie, yang kesadaran politiknya tergapai justru melalui bahasa tubuhnya.
Melalui kisah Emilie, pengarang juga menyiratkan betapa kompleks fenomena perubahan mentalitas di seputar konsep kebebasan menurut ruang budaya asalnya: Di Barat, cita-cita pembebasan bersifat normatif-ideal, sedangkan di “Timur” harus berhadapan dengan situasi penindasan yang lebih kongkrit. Di sini pengarang melakukan loncatan kualitatif: dia menyiratkan bahwa di Barat kaum intelektual “progressif” sesungguhnya dikelabui –tanpa disadari–, oleh ideologi humanis-universalis anutan mereka sendiri. Para inlektual itu, sejatinya menjadi pelaku, dan sekaligus korban, dari suatu manipulasi simbolis yang berakar secara struktural pada sistem kapitalis imperialis yang telah membesarkan mereka. Dalam kondisi ini, ideologi universalis mereka adalah sarana pembebasan dan sekaligus alat penindasan. Kontradiksi-kontradiksi ini hanya dapat diatasi melalui tindakan kongkrit, seperti dilakukan Emilie yang terjun langsung ke tengah masyarakat terjajah.
Serangan atas universalisme semu seperti ini sudah menjadi salah satu tema favorit dari kelompok post-modern. Meskipun demikian, pengarang tidak mengacu secara eksplisit pada teori post-modern dan tetap meyakini kekuatan dari cita-cita universal.. Revolusi Perancis dan Commune Paris. Posisinya disini tidak jauh berbeda dengan posisi Derrida sendiri yang, menjelang mautnya, menyatakan bahwa yang diharapkannya adalah datangnya Auflärung baru, dengan cita-cita humanistis dan sosial yang bebas manipulasi, baik sadar maupun struktural.
Emilie dan Minke
Bila tafsiran sejarah Indonesia ala Catherine de Moppès begitu menarik, tentu akan lebih memikat lagi menyandingkan dan membandingkannya dengan tafsiran Pramudya Ananta Toer di dalam Tetralogi Pulau Buru-nya. Memang kedua pengarang ini, satu Perancis, dan lainnya Indonesia, membicarakan periode kunci sejarah Nusantara ini, ketika benih-benih kebangsaan mulai rekah.
Catherine de Moppès |
Bila Catherine van Moppès bertutur dengan sudut pandang seorang wanita muda Eropa yang mencari jati dirinya sembari merumuskan apa yang dipandangnya sebagai masa depan antarbangsa, Pramudya, melalui tokoh Minke, bicara tentang hal yang tak jauh beda. Kedua tokoh rekaan tersebut, yang berbeda latar budaya dan psikologinya, hidup dalam kurun waktu yang sama. Tentu saja, mengingat bahwa karya Pramudya ini merupakan tetralogi, sosok Minke dan juga Nyai Ontosoroh—mertua sekaligus ‘guru’ kesadaran kemanusiaannya—tahun kisahannya dapat terbaca lebih panjang. Sementara kita, sebagai pembaca, tak salah bila penasaran ingin lanjutan petualang Emilie di Tiongkok, pun kemungkinanya bersua Tan Malaka.
Kedua penulis ini hendak mewartakan pentingnya memperjuangkan humanisme yang melampaui batas-batas bangsa, di mana Emilie dan Minke terlibat dalam situasi-situasi pelik, serta dicekam prasangka-prasangka rasial-kultural. Bila Minke menyemai benih kemanusiaan di Surabaya, tepatnya Wonokromo, adapun Emilie mulai tercerahkan setelah ‘bertualang’ di Batavia. Menariknya, kedua sosok anak manusia muda, sama-sama menyinggung perihal perjuangan Multatuli serta mengagumi sosok R.A. Kartini, yang ramai diperbincangkan karena gagasan emansipasinya.
Emilie dan Minke diceritakan bertemu dengan para aktivis pergerakan Tionghoa serta juga rekan-rekan Eropa yang berpikiran progressif-liberal, yang masing-masing mendorong mereka untuk menyadari problematik kemanusiaan di tengah pertarungan kepentingan dan ideologi masa peralihan abad itu.
Para aktivis Tionghoa, Khouw Ah Soe untuk Minke, dan Pei serta Zhun bagi Emilie, bukan hanya membagikan semangat perjuangan mereka, yakni cita-cita gerakan angkatan muda Tionghoa yang tak sudi lagi diperintah oleh angkatan tua yang dianggap bodoh dan korup, melainkan pula melihat bangsa-bangsa dan manusia di dunia ini sebagai hal yang setara. Di sisi lain, Minke memperoleh sebagian pencerahannya lantaran berkarib dengan Jean Marais, pelukis asal Perancis yang juga bekas serdadu legiun kolonial. Sedangkan dalam kasus Emilie, tak sedikit sosok-sosok Eropa, yang berpikiran radikal, turut pula membuka kesadarannya ke arah yang tercerahkan.
Patut ditelisik bahwa cara pandang dan sikap sosial politik kedua tokoh utama novel tersebut turut dipengaruhi oleh pengalaman pada masa-masa awal kehidupan seksual mereka. Kemelut batin keduanya tak bisa dipisahkan dari benturan yang dialami. Emilie, sedini usianya, telah menjalin hubungan seksual dengan pengasuh pribadinya, Sarah, yang mana kemudian telah mendorong ayahnya, untuk mencoba memisahkan mereka. Sedangkan Minke, selepas malam pertama, terus dihantui kenyataan bahwa istrinya tercinta, Annelies, putri Nyai Ontosoroh, telah terampas kegadisannya justru oleh perbuatan biadab kakak kandungnya sendiri, Robert Mellema.
Hendak dicatat juga bahwa jalinan kisah kedua tokoh berangkat dari titik tolak ideologis berbeda. Minke, mengikuti paham Pramudya, tergambar dalam novel yang bergaya realisme sosial, sedikit banyak mencerminkan keyakinan Marxisme “materialis” tentang sejarah yang dianggapnya digerakkan oleh kekuatan material, dan dimana kelas-kelas sosial memperebutkan satu sama lain akses pada hasil ekonomi.
Adapun pada Emilie terlihat pengaruh dari gagasan kaum “idealis”, yang antara lain dianut Hegel dan Weber, menurut mana ide dan ideologi adalah penggerak utama dari sejarah. Idealisme itu, yang dianut pengarang Emilie, jelaslah memang berseberangan dengan materialisme Marxis anutan Pramudya.
Apapun perbedaan pandangannya, kedua novel itu tetaplah memiliki keunggulan serta nilai-nilai sastrawi yang layak dikaji. Membandingkan kedua pengarang ini hendaknya membuka peluang bagi pengarang-pengarang berikutnya mengeksplorasi peristiwa historis yang bersifat universal lainnya? Perspektif dan teknik pengisahan yang berbeda dari dua pengarang itu, menawarkan kemungkinan bagi generasi penulis era kini guna berkarya dengan cara pandang yang lintas-kultur dan lintas bangsa. Setiap langkah ke arah itu adalah pula langkah ke Auflärung baru.
*Ditulis bersama Jean Couteau dan dimuat sebagai epilog dalam Novel ‘Emilie Java 1904’ (Terbitan KPG)
PRAMOEDYA
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia ternama, berulang dinominasikan sebagai peraih Nobel. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 60 bahasa di dunia, serta dianugerahi berbagai penghargaan internasional.
Prof. Koh Young Hun, peneliti serta pengamat kesusastraan Indonesia secara khusus menuliskan kajiannya terhadap karya-karya Pramoedya ini dalam bukunya "Pramoedya Menggugat, Melacak Jejak Indonesia" (Gramedia Pustaka Utama, 2011).
Ditunjang dengan sumber data yang akurat, dokumen, serta teori sastra terkini, Koh mengungkapkan cara pandang Pram terhadap keindonesiaan secara lugas dan tajam. Ia meraih Ph.D dari University of Malaya (1994) dengan tesis Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel-novel Mutakhirnya. Koh juga merupakan promotor Megawati Soekarnoputri sewaktu menerima gelar Profesor Kehormatan (Guru Besar Tidak Tetap) dari Universitas Pertahanan (Unhan) RI.
Prof. Koh Young Hun, Profesor di Jurusan Kajian Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studi (HUFS), Seoul, Korea, sempat memaparkan kajian mendalamnya tentang Pramoedya pada Kuliah Umum Program Studi Seni Program Doktor di ISI Denpasar, 22 Agustus 2022.