Pararupa Sukawati, Ritual 'Desa Dunia' Bali

Sabtu, 18 Januari 2020 : 13:36
Pameran Gaze of Ritual di Bentara Budaya Bali, 29 September 2012 hingga 7 Oktober 2012, menghadirkan enam perupa tergabung dalam Komunitas Pararupa dari seniman Sukawati, mencerminkan dinamika tersebut
JIKA berkunjung ke desa-desa di Bali, bukan hanya wangi dupa, bunyi genta dan rangkaian upacara yang menyapa, melainkan juga aktivitas berkesenian masyarakatnya yang tak kunjung surut.

Desa dengan banjar-banjarnya adalah pusat kreativitas, dari yang tradisi hingga modern dan kontemporer sekaligus. Di sini, ragam seni yang komunal berbaur dengan yang individual, yang bersemangat agraris bertaut dengan kapital global.

Pameran Gaze of Ritual di Bentara Budaya Bali, 29 September 2012 hingga 7 Oktober 2012, menghadirkan enam perupa tergabung dalam Komunitas Pararupa dari seniman Sukawati, mencerminkan dinamika tersebut.

Keenam perupa yakni Nyoman Erawan, Made Mahendra Mangku, Galung Wiratmaja, Wayan Wirawan, Made Wiguna Valasara dan Kadek Ardika, menghadirkan karya-karya mereka dari dua dimensi hingga seni-seni instalasi, merefleksikan apa yang terkesan paradoks dari nilai lampau (tradisi) dan kini (modern/kontemporer).

Kelompok ini seakan mengelak dari suatu alienasi sebagai akibat kontraksi antara tradisi yang tengah surut dengan modernitas yang mereduksi keberadaan kita (warna lokal) sekadar suatu bagian keglobalan yang terpinggirkan, yang eksistensinya cenderung semu.

Tema pameran Gaze of Ritual yang di dalamnya mengandaikan laku memandang dengan olah intelektual serta daya kritis, secara nyata mengkonstruksi peristiwa ini sebagai ritual seni kini ala para perupa Desa Sukawati.

“Ritual seni” versi kontemporer ini diharapkan melahirkan makna baru yang akan menjadi “penawar” antara kedua kutub itu.

Sudah dapat diduga ialah bahwa ritual yang bakal “efisien” sebagai penawar ialah yang berkandungan “kesadaran” dan terutama kesadaran terhadap proses alienasi itu sendiri. Ritualisasi berfungsi sebagai “penolak” magis.

Di hadapan suatu dunia kebendaan nan global yang berpotensi menghilangkan makna keberadaan mereka, baik sebagai mahluk individual maupun komunal, justru membuka peluang sebaliknya: tercapainya eksistensi yang mempribadi tanpa kehilangan akar tradisinya.

Meraih kesadaran yang didamba ini, Sukawati adalah ajang pergulatan yang ideal. Posisinya yang unik di daerah Gianyar yang tak jauh juga dari Ibukota Bali, Denpasar, menjadikannya sebagai kota sekaligus desa, bahkan desa yang mendunia.

Puluhan bis wisatawan dari generasi ke generasi datang meramaikan pasar seni. Disadari atau tidak, menjadikan wilayah itu suatu medan pertarungan antara dunia simbolis Hindu Bali dengan semangat industri pariwisata nasional dan internasional.

Karya-karya dua dimensi ataupun yang instalasi, mencoba melampaui kontradiksi itu atau setidaknya menggambarkan pemaknaan yang bersifat kolektif dalam ragam seni yang individual.

Tentu saja tidak semuanya kuasa menampilkan karya unggul dari kreativitas mereka, kadang untuk sebagian ide dan gagasan terkesan membebani, sedang di sisi lain kehendak untuk tampil estetik membiaskan pembacaan mereka atas tradisi yang hendak dikritisi itu, termasuk ‘tradisi’ dalam langgam yang paling kontemporer, passion nan hedonis dengan ikonik benda-benda konsumsi global.

Akan tetapi, secara keseluruhan pameran ini berhasil memetakan kontradiksi dan hal-hal paradoks dari sebuah desa yang mendunia tersebut.

Nyoman Erawan (lahir 1958), selama ini berkarya dengan situasi kreatif dan problematik seperti itu. Kontradiksi-kontradiksi yang lahir dari benturan lokal-global tersebut, sesungguhnya sudah sejak lama menjadi meda ekspresi seninya.

Selama ini Erawan selalu menjadikan peristiwa seninya sebagai ritual yang mempribadi, mencoba melampaui batasan-batasan dan sekat-sekat dalam bentuk apapun. Ia sejatinya bukanlah figur baru di dalam kancah seni rupa Indonesia.

Karyanya telah dipilih untuk menghiasi sampul depan buku Astri Wright “Soul, Spirit and Mountain”.

Dia juga menjadi pelopor dari abstraksi simbolik Bali tahun 1980s-1990s, yaitu dari suatu ragam abstraksi yang mengetengahkan simbol-simbol religius Bali di dalam suatu jubah formal yang mirip abstraksi.

Konsep-konsep kosmis seperti Rwabhinneda atau Pralaya (Kehancuran) diberikan bentuk visual melalui gambar dan terutama instalasi yang mengintegrasikan unsur-unsur visual adat (misalnya kain kafan) di dalam karyanya.

Puncaknya ialah performance Cak Seni Rupa Latamahosadii (1988) yang seakan-akan memainkan pertarungan kekuatan kosmis melalui benturan pot-pot grabah catur warna kosmis ke layar raksasa.

Namun yang menarik pada Nyoman Erawan ialah bahwa dia tidak terhenti disitu. Ritual-ritual yang dilakukannya di dalam performance-nya tidak hanya merupakan “pengambil-alihan” atau pemaknaan dari modernitas oleh religi.

Dia juga mampu meritualkan di dalam artian “membersihkan” gejala sosial kekinian. Jadi ritualisasi simbolik dari kekinian dilengkapi gugatan yang bersifat sosial. Puncaknya ialah suatu gugatannya terhadap citra seksual dari pariwisata, yang disampaikan melalui suatu performans pada 2009.

Kala itu dia membuat burger menyerupai payudara wanita (Bali) yang dimakan oleh wisatawan asing. Sebuah ironi untuk kehadiran pariwisata di Bali.

Dalam karya dua dimensinya, ia menghadirkan potret dirinya yang penuh distorsi melalui aneka sapuan dan torehan warna hingga memberikan kesan penderitaan, konflik dan kegamangan; antara kesadaran diri yang narsistik dan hasrat melebur di dalam alam kesunyian.

Pendeknya ia memakai suatu pendekatan psikologis.

Prosesi karya Made Mahendra Mangku. (Foto: Istimewa)
Made Mahendra Mangku (1972) justru mengelak dari ekspresi yang mencekam, ia memilih sapuan yang puitik dan imajinatif. Karya ritualnya bertajuk ‘Konstruksi’ ditandai oleh ikonik magis ‘tapak dara’ sebagai penolak bala.

Ruang kosong membayang-bayangi seluruh karyanya, semacam tawaran untuk kita masuk lebih dalam ke wilayah meditatif, mengatasi kegaduhan dan keriuhan dunia modern yang banal.

Adapun instalasinya adalah peringatan akan senantiasa hadirnya Rwabhinneda, dialektika unsur-unsur yang bertolak belakang satu sama lainnya. Adapun Wayan Wirawan, di dalam lukisannya, menghadirkan ritual di dalam bentuk sosok yang hadir samar-samar di tengah ketiadaan.

Efek serupa dicapai oleh rekannya Galung Wiratmaja yang lukisannya menampilkan petapa-petapa, tetapi terlihat dari belakang. Keduanya menghadirkan instalasi beragam jenis sesajian yang melayang dan bergantungan.

Peserta lainnya, Kadek Ardika, menggugah kita dengan wujud mata yang menembus pandang warna kebiruan yang dalam, di mana aspek visual yang sensasional hendak dilampauinya, selaras dengan judul karyanya yang cenderung filosofis, ‘Menari Pikiran’ dan ‘Pikiran Mencari’.

Gugatan langsung justru muncul melalui bahasa rupa Made Wiguna Valasara. Ia menepis wujud-wujud simbolis yang menjadi ciri khas kultural Bali, serta merta menyampaikan buah pertanyaannya atas apa itu Ritual.

Pameran Gaze of Ritual mengukuhkan bahwa seniman Bali kini masih tetap berputar di seputar suatu dunia simbolis yang sepenuhnya “Bali”. Mereka berbicara tentang problem spesifik Bali: evolusi budayanya; apakah tetap sarat makna atau tidak?

Problematika ini adalah problematika “Bali”, bukan Eropa atau Amerika. Inilah elan kreatif ‘Desa Dunia’, yang hingga sejauh ini, terbukti mampu menghantar Bali sebagai salah satu penyumbang wacana dan peristiwa. (Warih Wisatsana dan Jean Couteau)
Berbagi Artikel