Anjangbudaya I La Galigo di Pulau Dewata

Minggu, 19 Januari 2020 : 14:11
PEMENTASAN ‘Revival 2018 I La Galigo’ di ajang Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group merupakan momentum unjuk kekayaan budaya ke hadapan para pemangku kepentingan bidang finansial yang sangat istimewa.

Teater musik yang terinspirasi puisi epik ‘Sureq Galigo’ dari masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan ini hanya dipentaskan empat kali selama perhelatan internasional tersebut, 9, 10, 12, dan 13 Oktober 2018.

Sebuah panggung warna hitam kelam dibangun khusus di Pulau Peninsula, yang merupakan bagian dari The Nusa Dua, kawasan pariwisata khusus yang dikelola Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

Panggung menghadap samudera raya ini dilengkapi tata suara dan tata cahaya canggih untuk mendukung 10 adegan yang diawali prolog dan berakhir dengan epilog, selama lebih dari 2 jam.

Penonton seakan terpaku menyaksikan jalinan cerita, adegan per adegan, dengan iringan musik yang terkadang menyihir, penuh magis, kemudian berubah mengentak. Sesaat kemudian berganti ritme, didukung visualisasi yang selaras suasana adegan.

Para pemeran membawa babak demi babak mulai dari mitos penciptaan dunia hingga perjalanan heroik Sawerigading.

Sutradara Robert Wilson dalam katalog menyatakan kesukaannya bekerja untuk pemanggungan epik ini karena memori tentang para pahlawan masih ada dalam masyarakat. Ini adalah dunia yang surealis tetapi nyata.

Mata dan tangan para pemain menjadi terjemahan konkret dengan warna, suara, dan bisikan misteri dan yang ilahi. Kata dia, itulah sensualitas dan keindahan. Tema yang sangat modern dalam mitos, tetapi tontonan utamanya adalah tentang ledakan kreativitas: tarian, musik, dan visual.

Percakapan minim seperti doa imam Bissu yang memegang rahasia tradisi lisan ‘Sureq Galigo’ yang memandu peristiwa antara langit dan bumi.

‘Sureq Galigo’ ditulis antara Abad Ke-13 dan Abad Ke-15. Manuskrip sastra kuno ini diyakini sebagai epos terpanjang di dunia, memiliki ketebalan sekitar 6.000 halaman atau 300.000 baris teks, lebih panjang dari epos ‘Mahabharata’.

‘Sureq Galigo’ pada 2011 diakui sebagai Memory of the World dari badan kebudayaan PBB, Unesco.

Sebagai pertunjukan teater, I La Galigo pertama kali ditampilkan pertama kali di Esplanade, Singapura pada 12-13 Maret 2004. Kemudian pentas keliling dunia di antaranya Amsterdam, Madrid, Revenna, New York, Melbourne, Milan, dan Taipei.

Beruntung teater musikal ini pernah dipanggungkan di Teater Tanah Airku, Jakarta (2005) dan Fort Rotterdam, Makassar (2011). Restu Imansari Kusumaningrum, Produser dan Koordinator Artis I La Galigo mengaku terkejut ketika Bekraf meminta memanggungkan teater musik itu di ajang IMF-WBG.

Dalam waktu relatif mepet ia pun menghubungi para kolaborator yang menghidupkan epos kuno itu ke panggung di antaranya Robert Wilson (AS), produser Franco Laera dan Elisabetta di Mambro (Italia), adaptasi teks Rhoda Grauer, dan komposer Rahayu Supanggah di Solo.

Belum lagi menghimpun 57 pemain dan 20 pemusik yang tersebar di Sulawesi Selatan, Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, Sumatra Barat, dan Papua Barat. Restu yang juga pendiri Bali Purnati itu mengatakan profesionalitas tim memudahkan produksi, penyiapan material pendukung hingga mewujudkan panggung.

“Banyak yang harus dilakukan dan waktu berjalan cepat. Ini seperti menavigasi kapal pinisi tua Bugis lintas benua yang melewati laut tenang, tetapi terkadang diadang gelombang alang kepalang,” katanya.

Kendati pertunjukan ini bersifat pengulangan, I La Galigo tetap dipertahankan dengan standar dan kualitas tinggi. Begitu pula ketika dipentaskan di tengah suasana duka bangsa pascabencana alam.

Ia respek terhadap para pengisi pertunjukan yang 80% dari Sulawesi Selatan tetap bermain dengan baik meskipun seusai pertunjukan, esok paginya mereka bergegas pulang untuk bergabung dengan para korban bencana di Palu dan sekitarnya.

Restu menyebut semangat humanis ini menguatkan rasa kenusantaraan yang ditopang adat dan budaya yang membanggakan.

Restu bercita-cita I La Galigo dapat dikembangkan menjadi seni pertunjukan yang kolosal, maupun dalam bentuk yang lebih sederhana dan bisa dinikmati khalayak luas. Ia ingin pentas ini mendapat dukungan dari pemerintah maupun masyarakat luas agar terus bergulir ke generasi mendatang.

Terkait pementasan di Bali, Restu mengungkapkan kebahagiaannya I La Galigo disaksikan audiens baru delegasi IMF-WBG dari 189 negara. Ia semakin yakin kesenian dan kebudayaan adalah detak jantung bangsa Indonesia yang perlu mendapat perhatian, seperti halnya pembangunan infrastruktur, politik, dll.

Diharapkan kelak ada ‘culture policy’ yang kian menguatkan esensi seni budaya yang harus ditempatkan secara benar dalam sebuah bangsa yang besar ini.

Budayawan Jean Couteau mengatakan I La Galigo menampilkan narasi mistis dari Bugis dalam kemasan teater yang bisa dinikmati oleh penonton dari berbagai bangsa. Indonesia perlu banyak menggarap mitos yang berserak di nusantara menjadi kemasan yang menarik dan kekinian. (Ema Sukarelawanto, pernah dimuat di Bisnis Indonesia, 20 Oktober 2018)
Berbagi Artikel